Di depan saya, ada semangkok sup kepala kakap. Saya ambil piring bersih dan memindah satu kepala untuk mencabik-cabiknya. Di sampingnya, terdapat menu udang pedas manis. Masih dalam sepejakangkauan tangan, tampak kerang serta cumi-cumi dalam wadah yang lain. Posisi sajiannya menantang untuk diembat. Hanya gule berikut satenya, entah ayam entah daging, yang berada di luar batas panjang lengan. Tentu norak kalau harus saya mendekatkannya ke piring dan apalagi saya yang mendekat ke arahnya sebab di acara itu kami sedang makan dengan cara lesehan.
Akan tetapi, baru ¾ nasi putih yang saya telan, lauk-pauk sudah habis. Saya sadar, bukan saja dalam akuntansi, dalam hal hitung-hitungan suapan nasi agar imbang dengan lauk yang tersaji, ternyata saya gagal. Ikan habis sementara nasih masih ada. Karena nilai cara makan ini tidak akan dimasukkan ke dalam rapor, maka sejatinya saya masih punya banyak kesempatan untuk nambah lauk atau ganti selera lagi, walaupun itu nanti saya akan dianggap gelojoh dan tidak sopan.
Saya masih ingin gule dan sate. Eh, tidak, saya ingin gule dan sate, dihabiskan dulu, lalu mencoba cumi-cumi karena dalam kesempatan itu semuanya cuma-cuma. Tapi, itu tidak jadi saya lakukan karena terdengar sebuah bisikan agar saya menghabiskan nasi putih tanpa lauk apa pun, hanya bersama sedikit kuah yang tersisa dari sup kepala kakap tadi.
“Tahan! Makan saja yang tersisa, atau yang ada di dekatmu.” Saya melihat sekilas sumber suara itu, melihat wajahnya; wajah dengan air muka yang datar; seorang lelaki yang sejak tadi hanya makan nasi tanpa lauk sama sekali. Mungkin ia mengidap kencing manis atau kolesterol tinggi. “Menahan ingin dalam situasi serbamungkin itu lebih berat daripada ketika kita tidak punya kesempatan atau terlarang sama sekali.”
Akan tetapi, baru ¾ nasi putih yang saya telan, lauk-pauk sudah habis. Saya sadar, bukan saja dalam akuntansi, dalam hal hitung-hitungan suapan nasi agar imbang dengan lauk yang tersaji, ternyata saya gagal. Ikan habis sementara nasih masih ada. Karena nilai cara makan ini tidak akan dimasukkan ke dalam rapor, maka sejatinya saya masih punya banyak kesempatan untuk nambah lauk atau ganti selera lagi, walaupun itu nanti saya akan dianggap gelojoh dan tidak sopan.
Saya masih ingin gule dan sate. Eh, tidak, saya ingin gule dan sate, dihabiskan dulu, lalu mencoba cumi-cumi karena dalam kesempatan itu semuanya cuma-cuma. Tapi, itu tidak jadi saya lakukan karena terdengar sebuah bisikan agar saya menghabiskan nasi putih tanpa lauk apa pun, hanya bersama sedikit kuah yang tersisa dari sup kepala kakap tadi.
“Tahan! Makan saja yang tersisa, atau yang ada di dekatmu.” Saya melihat sekilas sumber suara itu, melihat wajahnya; wajah dengan air muka yang datar; seorang lelaki yang sejak tadi hanya makan nasi tanpa lauk sama sekali. Mungkin ia mengidap kencing manis atau kolesterol tinggi. “Menahan ingin dalam situasi serbamungkin itu lebih berat daripada ketika kita tidak punya kesempatan atau terlarang sama sekali.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar