wawuwalik79

>

Kamis, 29 Januari 2015

Tepuk Tangan Para Guru

Tepuk Tangan Para Guru

Rabu, Desember 03, 2008


Selasa, tanggal 2 Desember 2008 kemarin, kami, para guru yang ikut lomba nasional kategori porseni, naskah pembelajaran, serta penulisan naskah buku bahan bacaan, berkumpul di gedung tenis indoor Senayan untuk mengikuti acara peringatan Hari Guru Nasional dan HUT PGRI yang ke-63 dengan tema "Guru yang Profesional, Bermartabat, Sejahtera dan Terlindungi, Mewujudkan Pendidikan Bermutu". Upacara ini sedianya jatuh pada tanggal 25 Nopember 2008 sebagaimana yang ditetapkan.

Para hadirin yang umumnya terdiri dari guru-guru, tenaga pendidik dan kependidikan, sangat bergairah di ruangan besar itu. Hal ini dibuktikan dengan tidak henti-hentinya tepuk tangan yang bahkan sangat mengganggu kekhidmatan acara: bagaimana tidak mengganggu, belum selesai bicara sudah ditepuktangani, berisik jadinya! Belum lagi gaya mereka guru-guru bahasa Indonesia yang tidak mengerti bahasa Indonesia: bagaimana tidak akan disebut tidak mengerti bahasa Indonesia, mereka tetap mengatur suara dering ponselnya keras-keras meskipun pembawa acara sudah memohon dengan hormat kepada hadirin agar ''dering'' diganti pada ''getar'', atau ponsel dimatikan.

Acara dimulai...

Himne guru yang dinyanyikan oleh paduan suara siswa dari berbagai sekolah SMP di Jakarta, bergema memenuhi dome tenis indoorSenayan yang megah itu. Catatan: ada yang berubah pada akhir lirik lagu itu sekarang: guru sebagai ''pahlawan tanpa tanda jasa'' diubah menjadi ''pendidik insan cendekia". Hal ini, mungkin agar selaras dengan tema yang telah disebut di atas, yaitu ''profesional dan sejahtera".

Mana para ustad yang datang memakai sarung ke ruang-ruang kelas di kampung? Mereka tidak tampak hadir di ruangan ini. Kemana gerangan? Ada di kursi pojok manakah mereka yang mengajar tanpa santunan/dengan tunjangan namun tidak memadai? Mereka tidak ada di sini karea korp Persatuan Ustad Seluruh Nusanrara (PUSN) belum terbentuk. Sedih deh...

Tepukan paling keras terdengar manakala presiden SBY, dengan suara yang mantap, mengumumkan bahwa sejak tahun 2009 nanti, guru akan duduk sejajar dengan manusia ''profesional dan sejahtera'' seperti dokter dan notaris. Dengan tercapainya alokasi dana 20% untuk pendidikan, para guru akan digaji minimal 2 juta per bulan untuk masa kerja "nol tahun" alias di tahun pertama bekerja. Uang sejumlah itu mungkin wajar jika mengingat, dari 210 T dana pendidikan, 110 T-nya untuk gaji guru, fantastis. Dalam pidato ini, saya merasakan betapa SBY tampak yakin, pendukungnya akan melimpah jika dia kembali mencalonkan diri untuk menjadi presiden yang kedua kalinya.

Ada hal penting yang patut kita perhatikan sekarang; akan terjadi sebuah pergeseran persepsi dan pandangan masyarakat terhadap guru! Demikian pula, banyak/tidak, akan ada guru yang akan mengubah, atau berubah, cara pandangnya terhadap pendidikan terkait profesionalisme dan kesejahteraannya. Akan kembali hangat pembicaraan dan pertimbangan zakat profesi. Bahkan, petugas akta dan catatan sipil, juga akan bersiap-siap untuk menambah jenis pekerjaan baru di dalam KTP: "Guru".

Acara selesai. Rasa capek tersisa di badan, rasa gelisah tersangkut di pikiran: maukah pemerintah menganggap ustad (yang mulang Ta'limul Muta'allim dan Alfiyah Ibnu Malik misalnya) sebagai guru berjenis pekerjaan profesional yang tentunya kelak juga BISA dicantumkan dalam KTP sehingga mereka tidak melulu dibuat tidak jelas nasib dan statusnya dengan selalu dianggap "wiraswasta"? Soalnya, dalam banyak hal, wiraswasta terkadang menjadi ameliorasi, kata penghalus bagi "pengangguran".

Hai orang-orang yang berselimut, bangunlah! Jangan terus-menerus melungker dengan selimutmu. Hai orang-orang yang bersarung, bangkitlah. Jadilah, satu orang saja di antara kalian, seorang presiden, atau paling tidak menteri pendidikan nasional, agar dapat membuat keputusan penting bagi dunia pendidikan (pesantren).

Kenapa jadi Mendiknas dan tidak jadi Menag saja? Iya, ya, kenapa, ya? Saya kok baru nyadar... Tapi, kalau di Depag, rekan-rekan kalian itu sudah terlalu banyak di situ. Cari tempat lain saja. Soalnya, kalau ngumpul ''sesama jenis'', cenderung memunculkan ide untuk ...

(bersambung)

Mujaer, Bandeng, Kucing

Mujair, Bandeng, Kucing

Selasa, Juli 21, 2009



Manusia adalah hewan yang berakal; hayawan an-nathiq, atau, meskipun tidak sepenuhnya searti,homo sapiens, lah… Kucing adalah hewan yang tidak nathiq. Ia menjadi terkenal karena merupakan hewan piaraan pada banyak keluarga.

Di rumahku, kucing tidak dipiara, tetapi jumlahnya cukup banyak. Kemarin, saat aku teledor tidak menutup pintu, seekor kucing dari lingkungan rumahku sendiri mengembat bandeng dalam kardus pemberian saudara sepupuku yang dihadiahi tunangannya dari pesisir utara Jawa. Padahal, dalam kardus tersebut, terdapat bandeng dan mujair. Namun, mengapa sang kucing lebih memilih bandeng daripada mujair? Pilihan sang kucing ini nyaris sama dengan pilihan hampir semuahayawan an-nathiq pada umumnya.

Dalam kasus ini, adakah unsur seentah-berapa-persen “nathiq” dalam kucing atau hanya kebetulan belaka? Sementara saya tidak memikirkan hal ini karena saya telah mekasa puas dengan memakan mujair sebagai ‘ashobah dari “peninggalan” kucing itu. Sekarang, saya sedang menimbang nilai “kepasrahan ketika barang itu telah hilang” jika dibanding sejajar dengan “pasrah diberikan ketika kita sedang memilikinya dalam keadaan berlimpah”? 



“Pasrahkan saja!”
Mengapa “pasrahkan saja!” sering kali muncul setelah barang itu hilang dan pada saat kita masih sedang menyayanginya?

Diskusi dan Debat

Diskusi dan Debat

Sabtu, Maret 21, 2009



DISKUSI adalah tukar pendapat, berbagi ide untuk menemukan kesimpulan. Jika santai, maka diskusi dapat berlangsung tanpa moderator. Jika diskuis ilmiah, biasanya diskusi dipandu oleh seorang moderator. Moderator berfungsi sebagai pengatur lalu lintas arah pembicaraan.

Sedangkan …

DEBAT: juga berarti tukar pendapat, tetapi cenderung lebih mengutamakan adu argumen yang logis, memiliki acuan. Sedangkan "KUSIR", disebut juga sais, adalah pengemudi/sopir dokar (roda dua) atau andong (roda empat). Di suatu kantor polisi resor, tahun 1997 dulu saat ambil SIM A pertama kali, saya lihat ada brosur SIM-D, SIM untuk sais. Sekarang kok gak ada saya tidak tahu.

DEBAT KUSIR adalah kumpulan dua kata (debat dan kusir) yang telah memiliki makna baru; disebut frase. Debat jenis ini biasanya cenderung mengedepankan argumen dan kurang mempedulikan simpulan. Ciri-cirinya: 1.mengabaikan moderator; 2.tensi tinggi; 3.kata-kata yang sering terlontar antar lain adalah "pokoknya", dst. Debat kusir bukanlah debat yang direncanakan. Ia muncul di tengah perjalanan. Sejenis 'ashi fis safar, maunya pergi ziarah/silaturrahmi, tapi karena ada bis yang diparkir sendirian lengkap dengan kunci kontaknya, dicurilah bis itu (Curanbis). Debat kusir umumnya muncul karena salah satu penyaji/pemateri tidak memperhatikan tata tertib, seperti berjidal dengan alasan yang tidak masuk akal, keluar konteks, disertai pemojokan, dan bahkan bisa sampai pada ancaman kekerasan (fisik).

Ciri lain dari debat kusir adalah: argumen-argumen yang dipertaruhkan dan diadu lebih banyak unsur kormeddal-nya daripada ilmiahnya! Cokop.

Al-Hujarat dan Ar-Rahmah


DI SUATU SAAT:

“Mendekati tengah malam, hujan deras yang mengguyur sejak adzan Isya tadi, mulai mereda. Tak ada orang keluar rumah. Jalanan sepi. Suara kodok, sisa gerimis, serta sisa tetes air di pancuran menambah suasana semakin sunyi. Dari kejauhan, di arah timur laut rumahku, aku mendengar sebuah resital sesayup sampai, dipancarkan dari sebuah loudspeaker yang kuyakin mereknya TOA. “Surat Al-Hujurat dengan qari’ bersuara tebal itu…” Dan malam, seperti semakin menemukan warna gelapnya. Membeku, semua yang tersimpan di masa lalu, datang kembali: ta’ perna (tidak kerasan)

Pernahkah Anda punya pengalaman seperti ini? Atau mungkin Anda pernah "merasakannya seolah-olah" hingga berulang-kali (déjà vu)?

Tersebutlah Syaikh Mahmud Khalil Al-Khusari, seorang qari’ Mesir. Di Indonesia, di Jawa Timur khususnya, beliau sangat terkenal. Shalawat dan adzan-nya telah direkam oleh PT Lokananta Solo (biasanya, kaset berwarna kombinasi kuning-hitam atau kuning-oranye: [Izin Deperind. No. 172/5. 3m/S. IV/76 // 3960/135. 7/5] No.001/ASIRI/78) dan telah tersebar ke mana-mana, ke masjid-masjid, mushalla-mushalla. Di sana, Syaikh Al-Husari membaca secara tartil (pembacaan ayat tidak diulang-ulang), meskipun pelaguannya bergaya mujawwad.




Kaset tersebut berisi Adzan-Shalawat, Al-Hudjurat (oleh Al-Husari), lalu Ath-Thoriq dan Al-A’la (oleh Ustadz Abdul Aziz Muslim yang bergaya cengkok Abdul Basith Abdusshomad) di side A; sementara di side-B, berisi Surat Ar-Rahman (Al-Husari) dan Al-Hadid (Noor Asyiah Jamil). Yang hebat adalah, bahwa kaset ini hampir dimiliki oleh setiap mushalla/masjid yang--terutama--ber-loudspeaker TOA, bertapePhilips tepa’ (segi empat dan tipis), dan ber-amplifier "Matahari". Di tempatku, setiap mau adzan Maghrib, selalu memperdengarkan shalawat “Ash-shalatu wassalamu ‘alaik. Ya, imamal Mujahidin… Ya Rasulallah….”-nya Al-Husari ini.

Pada usia 63 tahun (1917-1980), syaikh mangkat. Dia tidak tahu, atau mungkin “tahu”, kalau pemutaran resital Al-Hujurat dan Ar-Rahman di sekitar kampungku, konon kata si empunya cerita, selalu mengacu pada “referensi khusus” bagi undangan jamaah syarwah/kompolan/kamrat. Jika tuan rumah memutar Al-Hujurat, maka berkat/oleh-olehnya nanti akan berisi, antara lain, dudul (dodol siwalan) dan tettel (wajik gurih berwarna putih); sedangkan jika memutar Ar-Rahman, berkatnya akan berisi kocor (penganan berbahan baku gula merah, bentuknya seperti "piring terbang"-nya U.F.O) dannangginang (rengginang).



Jika butuh sensasi tertentu, di saat-saat tertentu, aku selalu memutar murattal ini. Nah, bagi yang ingin mendengarkan atau memiliki koleksi tartil beliau (dengan lagu yang seperti saya ceritakan), silakan hubungi saya, bawa flashdrive. Atau jika hanya ingin mendengar/mengunduh, silakan klik DI SINI

[jika berkenan, mohon mengirim al-fatihah untuk beliau selepas membaca artikel ini]
NB: sumber gambar: http://sukolaras.files.wordpress.com/2008/10/kaset-tari.jpg

Berita Bernasib Malang (2)

Berita Bernasib Malang (2)

Sabtu, Juni 14, 2014


Memang, hanya butuh beberapa menit saja untuk mengetik ulang berita ini, dan tentunya jauh lebih singkat daripada si wartawan saat dia membuatnya. Ini penting untuk diketahui bahwa saat ini kita semakin sulit menemukan orang yang bekerja serius di bidangnya. Wartawan adalah pemburu berita tetapi juga diburu tenggat (deadline). Akan tetapi, harus diingat, ia harus menjaga etika jurnalistiknya dan menjaga profesionalitasnya.

Saya tidak mengerti mengapa ada "berita bernasib malang" dengan penulisan seperti ini. Berikut saya transkrip dengan tanpa mengubah ejaan, apostrof, bahkan juga huruf kapitalnya. Saya tuliskan sepersis-persisnya (kecuali nama koran dan wartawan yang saya rahasiakan. Sumber gambar dari sebuah akun di Facebook):


“H.Imam Mahdi sebagai kepala desa pragaan laok kec. pragaan kab Sumenep memang pantas di juluki sebagai lurah jelma’an jokowi. karena tingkah lakunya dan kepribadiannya persis seperti gayanya jokowi (Gubernur DKI Jakarta yang lebih kondang capres dari PDIPerjuangan).

H.Imam Mahdi sukanya blusu’an dan sering turun ke kampung-kampung untuk mengajak masyarakat petani biar lebih semangat lagi untuk bekerja. Bisa dibayangkan kades ini sudah dua periode menjadi kepala desa tapi kenyataannya dan keada’an dia nasih biasa biasa saja malahan kendara’annya yang biasa di pakai sepeda motor lawas yang sudah tidak ada nilai nya lagi.

Wartawan *DIRAHASIAKAN* sempat menemui sekdesnya. Yang menjelaskan kalau pak lurah saya patut di ajungi jempol karna pribadinya apa adanya, seperti adanya proyek yang sekarang ini dikerjakan (PPIP-BKD) panjangnya melebihi ukuran RAB yang ada. kenapa sampai lebih?. 

Sang sekdes Menjawab “Karena semua proyek yang di garap sekarang ini agar bisa nyampek ke plosok perkampungan atau ke pemukiman masyarakat, sisanya jalan tanggung”ujar sekdes. Jadi H. Imam Mahdi memang tegas dalam mengawasi agar cepat di selesaikan sampai ke plosok kampung, hingga yang terjadi tak ada untung, yang ada malah rugi Alias tekkor “Tapi P. Lurah sangat puas, yang penting rakyatku makmur sentosa” tuturnya (*RAHASIA*)"

Bagaimana pendapat Anda? 

Rapor Makan

Rapor Makan

Selasa, Agustus 19, 2014


Di depan saya, ada semangkok sup kepala kakap. Saya ambil piring bersih dan memindah satu kepala untuk mencabik-cabiknya. Di sampingnya, terdapat menu udang pedas manis. Masih dalam sepejakangkauan tangan, tampak kerang serta cumi-cumi dalam wadah yang lain. Posisi sajiannya menantang untuk diembat. Hanya gule berikut satenya, entah ayam entah daging, yang berada di luar batas panjang lengan. Tentu norak kalau harus saya mendekatkannya ke piring dan apalagi saya yang mendekat ke arahnya sebab di acara itu kami sedang makan dengan cara lesehan.

Akan tetapi, baru ¾ nasi putih yang saya telan, lauk-pauk sudah habis. Saya sadar, bukan saja dalam akuntansi, dalam hal hitung-hitungan suapan nasi agar imbang dengan lauk yang tersaji, ternyata saya gagal. Ikan habis sementara nasih masih ada. Karena nilai cara makan ini tidak akan dimasukkan ke dalam rapor, maka sejatinya saya masih punya banyak kesempatan untuk nambah lauk atau ganti selera lagi, walaupun itu nanti saya akan dianggap gelojoh dan tidak sopan.

Saya masih ingin gule dan sate. Eh, tidak, saya ingin gule dan sate, dihabiskan dulu, lalu mencoba cumi-cumi karena dalam kesempatan itu semuanya cuma-cuma. Tapi, itu tidak jadi saya lakukan karena terdengar sebuah bisikan agar saya menghabiskan nasi putih tanpa lauk apa pun, hanya bersama sedikit kuah yang tersisa dari sup kepala kakap tadi.

“Tahan! Makan saja yang tersisa, atau yang ada di dekatmu.” Saya melihat sekilas sumber suara itu, melihat wajahnya; wajah dengan air muka yang datar; seorang lelaki yang sejak tadi hanya makan nasi tanpa lauk sama sekali. Mungkin ia mengidap kencing manis atau kolesterol tinggi. “Menahan ingin dalam situasi serbamungkin itu lebih berat daripada ketika kita tidak punya kesempatan atau terlarang sama sekali.”








Acara acara

Min Amin Pendek

Sabtu, Oktober 11, 2014


Pernahkah Anda mendengar istilah ‘min-amin pande’ atau istilah sejenis di sekitar tempat Anda tinggal? ‘Amin yang pendek’, begitulah maksudnya. Ini merupakan acara tanpa acara, tanparundown, tanpa senarai acara apa pun selain datang-doa-makan.

Umumnya, acara-acara pernikahan atau selamatan itu relatif beragam. Ada yang versi komplit dan ada pula yang versi hemat. Ciri-ciri acara yang komplit biasanya ditandai dengan—salah satunya—acara pembacaan ayat suci Alquran bil mujawwad. Acaranya kurang lebih seperti ini:

1. Pembukaan (Pembacaan Surah Al-Fatihah)
2. Pembacaan Ayat Suci Alquran.
3. Aqad Nikah
4. Shalawat bil Julus wal Qiyam (duduk dan berdiri)
5. Sambutan pemasarahan (dari mempelai pria)
6. Sambutan (dari tuan rumah; mempelai perempuan)
7. Hikmatun Nikah
8. Doa (bisa satu-3 orang)

Nah, adapun yang disebut dengan min-amin pande’ itu adalah rangkaian acara untuk kegiatan yang sama namun tidak banyak ini-itunya. Acara dimaksud dirangkai sesingkat mungkin, seperti pembukaan-shalawat-doa. Yang lebih singkat lagi ada: acaranya hanya satu, yaitu doa, dan setelah itu langsung makan lalu bubar.

Min-amin pande' ini biasanya dilangsungkan di rumah mempelai pria (beberapa menit sebelum berangkat ke rumah mempelai wanita) ataupun di rumah mempelai perempuan (untuk akad nikah yang sudah berlangsung lama dan untuk undangan khusus). Oleh karena itu, disebut pande’ (pendek) adalah untuk mengistilahkan kalau acara ini sangat singkat. Dan karena adanya unsur 'pendek' ini, terkadang hanya dibutuhkan kisaran waktu 5 menitan saja untuk merampungkan acara.

Benar dan Pantas

Benar dan Pantas

Sabtu, November 22, 2014


Hari condong ke barat. Tampak seorang lelaki sedang shalat di sebuah ‘wakaf’. Yang dimaksud wakaf adalah mushalla kecil yang biasanya berada di dekat kali/sungai, dekat sawah (di Madura). Ia hanya mengenakan sarung, tanpa baju. Di sampingnya ada kolor dan cangkul. Sarungnya digulung agak tinggi agar menutupi pusar namun tetap menutupi lutut, mirip kemben. Sepintas, dari busana dan perlengkapannya, terduga ia seorang petani.

Penggambaran ini bukan soal mengapa dia tidak mengenakan baju di saat shalat. Apakah bajunya basah karena terkena lumpur atau lupa dibawa saat pagi hari dia pergi ke sawah, padahal ketika itu  waktu shalat Duhur sudah hampir habis dan ia harus menunaikan kewajibannya? Yang pasti, gambaran ini menjelaskan bahwa dia sudah cukup syarat menutupi aurat untuk shalat. Orang yang kebetulan lewat di kejauhan akan menganggapnya pantas-pantas saja.

Akan tetapi, tentu tidak demikian kesan yang akan muncul jika dengan pakaian dan dandanan seperti itu dia sedang mengimami shalat Jumat di sebuah masjid agung. Shalatnya sah, sih, sah, dan mungkin juga tidak ada masalah karena hubungan tersebut adalah hubungan pribadi seseorang dengan Tuhannya. Tapi, mana mungkin ia akan lakukan itu di masjid?

Tiga paragraf di atas hanyalah sebuah ilustrasi tentang sesuatu yang benar dan pantas dan juga tak pantas. Saya tambahkan tiga ilustrasi lainnya di bawah ini.

Seseorang dengan dandanan pemulung sampah sah-sah saya turun dari Mercy SLK lalu masuk ke warung dan makan siang. Sepanjang ia membayar setelah makan, pemilik warung tentu tidak akan mempermasalahkannya; mobil sport itu ia peroleh dari hasil memulung di mana atau pinjam milik siapa. Atau, ini lagi: ada perempuan sangat cantik bergandengan tangan dengan lelaki tua yang miskin. Apakah ini juga pantas?

Tunggu, saya tambah satu lagi: kalau kamu buat cerita dan kamu jadi tokohnya; seorang pemuda desa yang miksin menikah dengan anak presiden yang cantik, pintar, kaya, dan dihormati, itu bisa saja terjadi dan dipantas-pantaskan. Tapi, cobalah tawarkan cerita kamu itu. Di koran mana pun ia tak akan dimuat, dijual di asongan pun tak akan laku. Mengapa? Meskipun itu semua benar dan nyata, tapi ya, itu tadi, semua itu ada pantas-pantasnya. Perkecualian hanya terjadi secara tak terduga dan jarang, sedangkan manusia cenderung membaca, melihat, dan menyaksikan sesuatu yang lumrah dan kaprah di sekitar mereka.

Facebook addict

Facebook addict

Memang merepotkan ketika memiliki teman yang addict pada facebook. Kemana-mana bawaannya facebook mulu. 

Saya punya teman (teman sekelas tapi ngga' berteman di facebook). Setiap beberapa menit pasti dia update status. Yang masuk sekolah-lah, yang bosen-lah, yang lapar-lah, yang ke pasar-lah, yang mau tidurlah, bahkan sebelum ke wc-pun masih sempat (ato menyempatkan) update status khas anak-anak alay: "duch, peerud gag enaG nich, pengen bokerr.." berapa detik kemudian, kaburlah dia ke wc. 

Benar-benar fesbuk addict.

Rabu lalu, guru sejarah ngadain uts dadakan. Ketika saya sibuk putar otak hingga jungkir-balik, teman saya yang facebook addict ini malah sibuk mengomentari status temannya.

Saya-pun hanya bisa geleng-geleng kepala. Dari pada sibuk mikirin dia, mending mikirin soal uts yang ada didepan mata, mikirin soal-soal terlaknat yang bikin sakit kepala...