Selasa, tanggal 2 Desember 2008 kemarin, kami, para guru yang ikut lomba nasional kategori porseni, naskah pembelajaran, serta penulisan naskah buku bahan bacaan, berkumpul di gedung tenis indoor Senayan untuk mengikuti acara peringatan Hari Guru Nasional dan HUT PGRI yang ke-63 dengan tema "Guru yang Profesional, Bermartabat, Sejahtera dan Terlindungi, Mewujudkan Pendidikan Bermutu". Upacara ini sedianya jatuh pada tanggal 25 Nopember 2008 sebagaimana yang ditetapkan.
Para hadirin yang umumnya terdiri dari guru-guru, tenaga pendidik dan kependidikan, sangat bergairah di ruangan besar itu. Hal ini dibuktikan dengan tidak henti-hentinya tepuk tangan yang bahkan sangat mengganggu kekhidmatan acara: bagaimana tidak mengganggu, belum selesai bicara sudah ditepuktangani, berisik jadinya! Belum lagi gaya mereka guru-guru bahasa Indonesia yang tidak mengerti bahasa Indonesia: bagaimana tidak akan disebut tidak mengerti bahasa Indonesia, mereka tetap mengatur suara dering ponselnya keras-keras meskipun pembawa acara sudah memohon dengan hormat kepada hadirin agar ''dering'' diganti pada ''getar'', atau ponsel dimatikan.
Acara dimulai...
Himne guru yang dinyanyikan oleh paduan suara siswa dari berbagai sekolah SMP di Jakarta, bergema memenuhi dome tenis indoorSenayan yang megah itu. Catatan: ada yang berubah pada akhir lirik lagu itu sekarang: guru sebagai ''pahlawan tanpa tanda jasa'' diubah menjadi ''pendidik insan cendekia". Hal ini, mungkin agar selaras dengan tema yang telah disebut di atas, yaitu ''profesional dan sejahtera".
Mana para ustad yang datang memakai sarung ke ruang-ruang kelas di kampung? Mereka tidak tampak hadir di ruangan ini. Kemana gerangan? Ada di kursi pojok manakah mereka yang mengajar tanpa santunan/dengan tunjangan namun tidak memadai? Mereka tidak ada di sini karea korp Persatuan Ustad Seluruh Nusanrara (PUSN) belum terbentuk. Sedih deh...
Tepukan paling keras terdengar manakala presiden SBY, dengan suara yang mantap, mengumumkan bahwa sejak tahun 2009 nanti, guru akan duduk sejajar dengan manusia ''profesional dan sejahtera'' seperti dokter dan notaris. Dengan tercapainya alokasi dana 20% untuk pendidikan, para guru akan digaji minimal 2 juta per bulan untuk masa kerja "nol tahun" alias di tahun pertama bekerja. Uang sejumlah itu mungkin wajar jika mengingat, dari 210 T dana pendidikan, 110 T-nya untuk gaji guru, fantastis. Dalam pidato ini, saya merasakan betapa SBY tampak yakin, pendukungnya akan melimpah jika dia kembali mencalonkan diri untuk menjadi presiden yang kedua kalinya.
Ada hal penting yang patut kita perhatikan sekarang; akan terjadi sebuah pergeseran persepsi dan pandangan masyarakat terhadap guru! Demikian pula, banyak/tidak, akan ada guru yang akan mengubah, atau berubah, cara pandangnya terhadap pendidikan terkait profesionalisme dan kesejahteraannya. Akan kembali hangat pembicaraan dan pertimbangan zakat profesi. Bahkan, petugas akta dan catatan sipil, juga akan bersiap-siap untuk menambah jenis pekerjaan baru di dalam KTP: "Guru".
Acara selesai. Rasa capek tersisa di badan, rasa gelisah tersangkut di pikiran: maukah pemerintah menganggap ustad (yang mulang Ta'limul Muta'allim dan Alfiyah Ibnu Malik misalnya) sebagai guru berjenis pekerjaan profesional yang tentunya kelak juga BISA dicantumkan dalam KTP sehingga mereka tidak melulu dibuat tidak jelas nasib dan statusnya dengan selalu dianggap "wiraswasta"? Soalnya, dalam banyak hal, wiraswasta terkadang menjadi ameliorasi, kata penghalus bagi "pengangguran".
Hai orang-orang yang berselimut, bangunlah! Jangan terus-menerus melungker dengan selimutmu. Hai orang-orang yang bersarung, bangkitlah. Jadilah, satu orang saja di antara kalian, seorang presiden, atau paling tidak menteri pendidikan nasional, agar dapat membuat keputusan penting bagi dunia pendidikan (pesantren).
Kenapa jadi Mendiknas dan tidak jadi Menag saja? Iya, ya, kenapa, ya? Saya kok baru nyadar... Tapi, kalau di Depag, rekan-rekan kalian itu sudah terlalu banyak di situ. Cari tempat lain saja. Soalnya, kalau ngumpul ''sesama jenis'', cenderung memunculkan ide untuk ...
(bersambung)
Para hadirin yang umumnya terdiri dari guru-guru, tenaga pendidik dan kependidikan, sangat bergairah di ruangan besar itu. Hal ini dibuktikan dengan tidak henti-hentinya tepuk tangan yang bahkan sangat mengganggu kekhidmatan acara: bagaimana tidak mengganggu, belum selesai bicara sudah ditepuktangani, berisik jadinya! Belum lagi gaya mereka guru-guru bahasa Indonesia yang tidak mengerti bahasa Indonesia: bagaimana tidak akan disebut tidak mengerti bahasa Indonesia, mereka tetap mengatur suara dering ponselnya keras-keras meskipun pembawa acara sudah memohon dengan hormat kepada hadirin agar ''dering'' diganti pada ''getar'', atau ponsel dimatikan.
Acara dimulai...
Himne guru yang dinyanyikan oleh paduan suara siswa dari berbagai sekolah SMP di Jakarta, bergema memenuhi dome tenis indoorSenayan yang megah itu. Catatan: ada yang berubah pada akhir lirik lagu itu sekarang: guru sebagai ''pahlawan tanpa tanda jasa'' diubah menjadi ''pendidik insan cendekia". Hal ini, mungkin agar selaras dengan tema yang telah disebut di atas, yaitu ''profesional dan sejahtera".
Mana para ustad yang datang memakai sarung ke ruang-ruang kelas di kampung? Mereka tidak tampak hadir di ruangan ini. Kemana gerangan? Ada di kursi pojok manakah mereka yang mengajar tanpa santunan/dengan tunjangan namun tidak memadai? Mereka tidak ada di sini karea korp Persatuan Ustad Seluruh Nusanrara (PUSN) belum terbentuk. Sedih deh...
Tepukan paling keras terdengar manakala presiden SBY, dengan suara yang mantap, mengumumkan bahwa sejak tahun 2009 nanti, guru akan duduk sejajar dengan manusia ''profesional dan sejahtera'' seperti dokter dan notaris. Dengan tercapainya alokasi dana 20% untuk pendidikan, para guru akan digaji minimal 2 juta per bulan untuk masa kerja "nol tahun" alias di tahun pertama bekerja. Uang sejumlah itu mungkin wajar jika mengingat, dari 210 T dana pendidikan, 110 T-nya untuk gaji guru, fantastis. Dalam pidato ini, saya merasakan betapa SBY tampak yakin, pendukungnya akan melimpah jika dia kembali mencalonkan diri untuk menjadi presiden yang kedua kalinya.
Ada hal penting yang patut kita perhatikan sekarang; akan terjadi sebuah pergeseran persepsi dan pandangan masyarakat terhadap guru! Demikian pula, banyak/tidak, akan ada guru yang akan mengubah, atau berubah, cara pandangnya terhadap pendidikan terkait profesionalisme dan kesejahteraannya. Akan kembali hangat pembicaraan dan pertimbangan zakat profesi. Bahkan, petugas akta dan catatan sipil, juga akan bersiap-siap untuk menambah jenis pekerjaan baru di dalam KTP: "Guru".
Acara selesai. Rasa capek tersisa di badan, rasa gelisah tersangkut di pikiran: maukah pemerintah menganggap ustad (yang mulang Ta'limul Muta'allim dan Alfiyah Ibnu Malik misalnya) sebagai guru berjenis pekerjaan profesional yang tentunya kelak juga BISA dicantumkan dalam KTP sehingga mereka tidak melulu dibuat tidak jelas nasib dan statusnya dengan selalu dianggap "wiraswasta"? Soalnya, dalam banyak hal, wiraswasta terkadang menjadi ameliorasi, kata penghalus bagi "pengangguran".
Hai orang-orang yang berselimut, bangunlah! Jangan terus-menerus melungker dengan selimutmu. Hai orang-orang yang bersarung, bangkitlah. Jadilah, satu orang saja di antara kalian, seorang presiden, atau paling tidak menteri pendidikan nasional, agar dapat membuat keputusan penting bagi dunia pendidikan (pesantren).
Kenapa jadi Mendiknas dan tidak jadi Menag saja? Iya, ya, kenapa, ya? Saya kok baru nyadar... Tapi, kalau di Depag, rekan-rekan kalian itu sudah terlalu banyak di situ. Cari tempat lain saja. Soalnya, kalau ngumpul ''sesama jenis'', cenderung memunculkan ide untuk ...
(bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar