wawuwalik79

>

Senin, 09 Februari 2015

Kurang Pesangon Budaya

Kurang Pesangon Budaya.

Written By PEMBEBASAN JogjaJateng on Selasa, 10 Juni 2014 | 07.34





Oleh: Danial Indrakusuma



Bila budaya juga bisa dipahami sebagai nilai-nilai (values) positif yang menjadi pegangan kemanusiaan dalam bertindak maka, di dalam sejarahnya, bangsa yang maju adalah yang bisa memiliki semangat nilai-nilai positif, baik yang dipertahankan dari warisan masa lalunya ataupun hasil dari kreativitas penemuan masa yang sedang dijalaninya. Dan dengan adanya perluasan/pemerataan teknologi komunikasi dan transportasi maka nilai-nilai positif cenderung menjadi tak berkebangsaan, bangsa-bangsa saling menyempurnakan, dunia menjadi satu—sehingga, secara budaya, status “bangsa” cendrung bertransformasi menjadi “warga” (dunia) (nikmati lagu John Lennon, Imagine) yang, kini, kadar kebaikannya masih berupa tuntuan keadilan global. Namun nilai-nilai positif yang disumbangkan warga negara juga bisa dihambat, dimanipulasi, oleh (salah satunya) administrasi negaranya.



Bila saja bangsa-bangsa Eropa bisa mempertahankan nilai positif kehendak bebasnya, sebagai hasil introspeksi atas perang saling-jajah di antara mereka, maka mereka bisa menenggang rasa sejarahnya—tak akan ada imperium Romawi, merkantilisme Spanyol dan Portugis, serta kolonialisme (terutama) Inggris, Prancis, Jerman, dan Belanda; bila saja Amerika Serikat (AS) bisa menjadi takzim terhadap perjuangan kemerdekaannya (melawan kolonialisme Inggris), atau khusuk terhadap serangan Jepang atas Pearl Harbour, maka tak akan ada invasi-invasi militer, ultimatum-ultimatum (baca: tarik-ulur) utang guna memaksakan cara-cara perdagangan, investasi dan keuangan internasional yang tak adil, yang menyengsarakan dan merendahkan martabat (dignity) negeri-negeri berkembang; bila saja negeri-negeri Barat geram akan apartheid Afrika Selatan—yang sedemikian lama dipertahankan karena menyangkut kepentingan dagang New York, Paris, London—maka mereka tak akan berlama-lama mengunci kemerdekaan bangsa Palestina dan membiarkan apartheid Israel terus menerus mengoyak-ngoyak martabat dan menyengsarakan ekonomi rakyat Palestina; dan bila saja bangsa Israel hatinya pedih saat mengingat holokus Nazi, mereka akan menghormati rakyat Palestina dan kembali (paling tidak) pada kesepakatan tahun 1967.


Selain itu, ada beberapa nilai-nilai positif lain yang sangat berguna dalam memajukan satu bangsa, misalnya: kita lihat AS—kepeloporan (pioneer), yang diwariskan oleh masa pergerakan penduduk AS dari Timur ke Barat untuk mencari kehidupan yang lebih baik; kehendak unggul melebihi Inggris dalam manajemen (Division of Labour) produksi massal, atau fordisme; gairah swasta menyerap inovasi dan invensi yang dihasilkan dari badan penelitian dan pengembangan komplek-komplek militer; pertaruhan martabat bangsa dalam kedigjayaan teknologi ruang angkasa dan komputerisasi, melebihi Uni Sovyet; haru biru perjuangan kaum hitam menentang diskriminasi rasial dan kenikmatan mereka saat meningkatkan kreativitas musik-musiknya; kita lihat negeri-negeri lainnya—kebanggaan Uni sovyet dan Jepang, yang bisa mencapai teknologi maju dalam hitungan waktu puluhan tahun, ketimbang ratusan tahun yang dibutuhkan Inggris dan Amerika; namun, rakyat Inggris tetap saja bisa berbusung dada sebagai satu negeri pencetus revolusi industri dan yang bisa bertahan dari gempuran habis-habisan Jerman; sedangkan Prancis merasa memiliki hak sejajar dengan bangsa-bangsa maju lainnya karena memiliki tradisi politik yang matang, terutama revolusi borjuisnya, yang menghasilkan konsep demokrasi, negeri Republik dan Trias Politika; militansi tanpa batas dalam bentuk perlawanan tak henti-hentinya (sampai sekarang) dari rakyat Amerika Latin terhadap campur tangan asing; sukses bangsa Yahudi mempertahankan identitas kebudayaannya walau sebelum memiliki negara, sukses memajukan setiap negeri yang dihuninya, dan sukses sebagai penjual teknologi maju sesudah bernegara Israel; kecintaan akan buku dan teknologi bangsa Jepang, dalam rangka mengungguli Barat—(dahulu) secara militer, (sekarang) secara teknologi dan pasar.



Namun, sering sekali kebijaksanaan administrasi satu negara, yang menyakiti rakyat dan bangsa negeri lain, bertentangan dengan nilai positif (welas asih) yang dimiliki rakyatnya; rakyat Rusia menetang perang antar para penjajah yang diputuskan administrasi T’sar; rakyat Belanda yang berpemaham sosial-demokrat dan komunis menentang kebijaksanaan administrasi monarki (konstitusional) untuk tetap menjajah Hindia Belanda; rakyat Prancis menentang administrasi Republiknya dalam menjajah Alzazair dan Indocina; rakyat Amerika, terutama generasi mudanya (salah satu generasi muda Barat, generasi bunga tahun 60-an, yang menentang kemapanan dan kemunafikan gernerasi tuanya), menolak keputusan adiministrasi negaranya terlibat dalam perang Vietnam. Bahkan, hingga sekarang, generasi muda Barat, dimulai dengan perlawanan Seatle, mengutuk campur tangan Barat dalam urusan ekonomi-politik-militer negeri-negeri lain dan kerakusan memperkaya negeri-negerinya (terutama pengusaha-pengusaha Amerika) dengan memaksakan kebijaksanaan perdagangan, keuangan, dan investasi dalam skala internasional.


Bangsa dan rakyat Indonesia punya nilai-nilai positif apa? Dan bisa kah bangsa serta rakyat Indonesia mengambil hikmah dari sejarahnya sendiri dan dunia? Coba kita lihat nilai-nilai positif apa yang bisa diambil hikmahnya dari masa sebelum dan sesudah bangsa-negara Indonesia terbentuk:

Sentralisasi tenaga produktif, nyaris universal, merupakan landasan bagi peningkatan kuantitas dan kualitas produksi material (serta, bila memang diinginkan, bisa dijadikan landasan kemajuan mental), seperti yang dicoba dicapai Majapahit, yang bahkan terus maju mengemban proyek sentralisasi Nusantara—mulai nampak, memang, bahwa kemajuan bergerak dari Selatan ke Utara, diangkut layar-kemudi Majapahit. (Sayang, cara sentralisasi tersebut sering dilakukan dengan paksaan dan distribusi wewenang serta material yang tidak adil.) Dan perang menuntut kemandirian serta blokade merkantilis Spanyol, Portugis, Inggris, kemudian Belanda, menggagalkan proyek Nusantara, mengerdilkannya menjadi enklave-enklave (kedaerahan)—dengan demikian, juga mengkerdilkan budayanya, mengarus-balik kemajuan menjadi dari Utara ke Selatan, hingga sekarang belum bisa disembuhkan; keniscayaan sentralisasi tenaga produktif pula yang mengharuskan belanda menyatukan Hindia Belanda, dan mengajarinya baca-tulis—hingga mengerti dan mau dipimpin Soekarno untuk memperjuangkan martabat agung (great dignity) menjadi suatu bangsa, merdeka serta bernegara. Baca-tulis, menjadi landasan untuk gairah berorganisasi, aksi, rapat akbar (vergadering), menyebarluaskan media cetak dan elektronik, berdebat, pidato, hasrat berideologi (Islam, Pan-islamisme, Islam soislais dan Islam Komunis, Sosial-demokrat, Komunisme), dan sebagainya, mulai hidup-meluas sejak awal abad ke-20, bahkan banyak yang masih hidup hingga tahun 1965; pembangunan Orde Baru tak punya nyawa nilai-nilai positif bila landasan, pintu gerbangnya, adalah kekejian 1965, apalagi hanya menghasilkan nilai-nilai negatif ulangan kekerasan, ‘njilat ke atas, nginjek ke bawah, gila hormat, konsumsi gila-gilaan (extravagance), oportunisme, KKN, yang hingga sekarang belum bisa disembuhkan; kaum muda lah yang berhasil mengangkat dan menghidupkan kembali nilai-nilai positif (yang sebenarnya pernah dimiliki rakyat Indonesia sejak awal abad) yang dapat menjatuhkan Soeharto dan membuka pintu reformasi. Ada enam pintu menuju demokrasi yang sudah berhasil dibuka generasi muda 1980-an hingga 1990-an. Pertama, kata rakyat dimaknai kembali. Kedua, budaya bisu dihancurkan. Ketiga, militansi rakyat (dalam melawan) ditingkatkan dan diperluas. Keempat, gairah berorganisasi diwadahi. Kelima, kesadaran akan hak dan keadilan dijadikan bagian kehidupan. Keenam, tuntutan akan pemerintahan alternatif dimatangkan.



Dan sesudah pintu reformasi terbuka, apakah nilai-nilai positif berhasil dilengkapi, diperluas? Apakah rakyat dan bangsa Indonesia masih dikategorikan sebagai rakyat dan bangsa yang kurang pesangon budaya? Jawabnya: sudah kah kita menjujurkan sejarah dan, kemudian, menyemarakkan (baca: mendemokratiskan) berbagai cara pandang dalam memahami sejarah.



II. Bebunyian untuk Kesakitan Rakyat dan Perlawanan Rakyat, Demi Menjadi Manusia.







Kesakitan rakyat dan perlawanan rakyat sebagai alasnya:

Bila budaya berkehendak membebaskan rakyat (manusia), maka merenunglah dengan welas asih di sisi kesakitan rakyat (manusia)—bahkan sebagai imbalannya, kesakitan rakyat akan menghaturkan kehalusan budi bagi yang merasakannya dengan tulus—agar kita tahu secara benar dan kongkrit garda-garda keji yang menghalanginya menjadi manusia, manusia yang dicintai manusia (dan bumi). (Memang, tugas manusia adalah menjadi manusia, manusia yang berguna bagi manusia lainnya (dan bumi) dan bagi dirinya, memanusiakan manusia sebagaimana keharusan yang diketemukan dalam tahap sejarahnya, membudayakan manusia dalam tahap sejarahnya.) Dalam renungan Marxisme, sejarah memberikan suguhan cerita tentang bagaimana suatu sistem, hukum, tata-tata cara satu masyarakat mengatur—walau sering bukan masyarakat, tapi sekelompok manusia keji atau tak berbudi—bagaimana menjerumuskan rakyat (manusia) ke kegelapan kejahatan terhadap manusia lainnya (tiada tara brutalitasnya, bagai hewan yang pandai) namun, selain itu, renungan Marxisme juga bisa memahami bahwa bukan saja warisan buruk yang diwariskan sejarah, tapi juga warisan bahan-bahan (termasuk bahan-bahan budaya) yang memberikan harapan bagi pembebasannya, yang dapat dijadikan senjata (yang disempurnakan) untuk membebaskan. Negatif dan positif, kegelapan kejahatan dan pembebasannya—saat didialektikan, dikontradiksikan (secara politik), siapa yang menang. Itulah juga tugas budaya: membudayakan politik dan mempolitikan budaya, bertarung (membebaskan) dengan indah.  
 
 
 
Selanjutnya, merkantilisme (kemudian kapitalisme-kolonial)—sering dengan memanipulasi warisan negatif feodal—di ujung masanya, bahkan memberikan hak pada pribadi pedagang/pengebun/pabrikan/calo, dalam memusatkan tenaga produktif tanah dan manusia guna penumpukan kesejahteraan pribadi dan negeri kolonial. Kelaparan, buruh perempuan tanam paksa melahirkan di jalan, menjilat mandor mengkhianati kawan, takut, melacur, pelacuran, nyai, mabok, maling, rampok, geng bandit, pemerkosaan, pembunuhan, penyiksaan dan penghinaan pada perempuan, takhayul, dan sebaginya, bahkan bebunyian pun hanya demi kesenangan dekaden (walau isian persembahan pada feodal semakin berkurang. Bebunyian feodal dipakai rakyat untuk dekadensi kesenangan); namun, di ujung abad-20, ada harapan berkilau: modernisasi—padahal modernisasi sebenarnya diberikan oleh kapitalisme-kolonial agar bisa lebih besar menumpuk lebih banyak lagi kekayaan—dalam makna baca-tulis, organisasi, percetakan, gagasan sosial-demokrat, sosialisme, komunisme, PanIslamisme, Islam sosilisme/komunisme, debat, persatuan, rapat akbar (vergardering), partai, serikat, perjuangan bersenjata, dan lain sebagainya, bahkan bebunyian dihaturkan pada rakyat di lapangan terbuka, dalam rapat akbar. Tumpas (sesaat) dalam bui, buang, dan bunuh. Tak berapa lama, perlawanan bangkit hingga mencapai tahap budaya perlawanan dalam bentuk partai, bangsa Indonesia, sosialisme, komunisme, sosial-demokrat, Islam, kombinasi perjuangan diplomasi dan bersenjata (gerilya, bahkan perempuan terlibat), persatuan, dan lain-lain melanjutkan tradisi budaya posistif sebelumnya, bahkan saat itu bebunyian seni-perjuangan lebih berwarna-warni, beragam, beraneka membantu meningkatkan semangat perjuangan—dan, terlebih-lebih:


"Ketika sastra mulai akan di-INDAH-kan oleh strategi-taktik revolusi;
Saat strategi-taktik revolusi mulai akan di-INDAH-kan oleh sastra;
terjadilah pembantaian '65. Kapan dilanjutkan?"




Namun, revolusi nasional juga memproduksi budaya buruk, pembunuhan semena-mena (tanpa proses hukum), pemerkosaan, bandit, garong, jago, merasa punya senjata, penculikan, penyiksaan, pembantaian, tak toleran terhadap ideologi kelompok lain, dan sebagainya.


1965. Sekarang ini, hatiku sedang tak sanggup menceritakan kebrutalannya. Yang jelas: semua warisan budaya positif masa lalu dihancurkan raga dan jiwa—sampai mati potensi sebagai manusia; sampai-sampai manusia dihilangkan dimensi, ingatan, sejarahnya, layaknya binatang; penculikan, pembunuhan, pembantaian (hampir 3 juta manusia), kebohongan, pemalsuan sejarah, kemunafikan, menghidupkan kembali budaya feodalisme, konsumerisme, extravaganza, pelacuran intelektual, korupsi, penghinaan pada kaum perempuan, pemenjaraan, pembuangan, penyiksaan, perkosaan, kediktatoran, integralistik dan penyeragaman kehidupan bernegara, kepatuhan, imperialisme, kemunafikan dan sebagainya dan sebagainya, bahkan bebunyian hampir seluruhnya profan, dekaden, cengeng, munafik. Namun, di masa inilah gagasan sosialisme dapat dihidupkan lagi, dengan aksi massa, dengan menghancurkan budaya diam dan patuh serta feodalis, kelompok belajar, organisasi dan partai alternatif, reformisme yang seiiring sayup-sayup suara revolusi, keterlibatan perempuan dalam perjuangan, bakan bebunyian seni-perjuangan hidup kembali walau penuh resiko pemenjaraan dan pembunuhan. BRAVO!


Jiwa (semangat) budaya bebunyian seni:

  • Landasan sejarah tersebut di atas lah yang harus mengalasi, mengisi jiwa (semangat) budaya bebunyian seni kita, budaya seni yang mau merenung, tergores, dan tergetar oleh kesakitan rakyat (manusia) yang, seharusnya, membuat kita takzim berpikir dan membakar semangat pembebasannya—sekali lagi, pembebasan rakyat (manusia).

  • Bebunyian itu—syair, prosa, musik, tinta, cat, tarian, teater, cerita, roman, novel, seni lokal, seni dunia, dan lain sebagainya—akan begitu indah bermartabatnya bila berada dalam jalur kesatuan manusia-manusia yang berjuang untuk pembebasan rakyat (Manusia) dan pembebasan seni itu sendiri [agar bisa mencapai kemajuan teknis estetika tanpa batas, karena pembebasan rakyat (manusia) itu sendiri akan mengembalikan syarat-syarat material dan spiritual bagi pengembangan potensi kapasitas masyarakat/individu untuk berseni, disebabkan kepemilikan pribadi atas syarat-syarat tersebut telah dihapuskan, dihancurkan, diberangus oleh pembebasan (baca: revolusi).


  • Bebunyian yang prihatin terhadap kesakitan rakyat dan berpikir, berpolitik militan, untuk pembebasan rakyat (manusia) memiliki tugas kemanusiaan menghancurkan budaya-budaya buruk warisan sejarah (agar jangan menjadi tradisi buruk) dan mengembangkan budaya-budaya benar dan indah warisan lama (agar menjadi tradisi manusia seharusnya).


  • Tentu saja, perjuangan tersebut penuh resiko—yang akan menumpaskan raga dan melelahkan jiwa kita—karena itu, tak ada kata-kata lain untuk mengatasinya: belajar Marxisme dan militan (tanpa pamrih dan tanpa batas).




Strategi dan taktik bebunyian pembebasan:


  • Bebunyian pembebasan harus ada di jalur-jalur agitasi-propaganda yang sudah ada; bahkan dan, karena ia bebunyian, maka ia berpotensi untuk menciptakan sendiri jalur agitasi-propagandanya.


  • Jalur bebunyian itu sendiri adalah rangka jalur manusia-pejuang untuk berbicara lebih pandai, lebih luas, kepada rakyat (manusia) di pabrik, di kampung, di desa, di kampus, di tempat-tempat kerja, di jalanan, di radio, di televisi, di udara (spanduk udara), di panggung, di lapangan rapat akbar, di tembok-tembok (mural), di kaos, di perayaan-perayaan (bahkan perayaan sunatan dan perkawinan), di koran, di selebaran dan sebagainya dan sebagainya.


  • Penindasan meraksuk ke masyarakat sampai-sampai membuat manusia berbeda kapasitas berbunyi-bunyian, tak adil—ada yang pandai berbunyian, ada yang tidak; ada yang sanggup mengumpulkan berbagai bebunyian dalam satu kelompok, ada yang tidak. Karena itu, berangkat dari yang nyata, yang kita punya, maka kita harus menentukan bebunyian apa saja yang diunggulkan (diprioritaskan) untuk masuk ke jalur-jalur agitasi-propaganda—sastra kah, musik kah, lukis kah, silakan.



Organisasi:


  • Organisasinya harus mencakup bidang-bidang bebunyian (termasuk bidang pengamen jalanan) yang sanggup, nyata, ada sekarang, jangan mengada-ada dahulu—karena perkembangan bidang-bidang bebunyian tegantung dari panen (nyata) perjuangan perluasan bebunyian tersebut.


  • Selain itu, harus ada bidang pengkajian budaya, sebagai sumber mata air yang jernih untuk mengisi pemahaman yang lebih maju atas ideologi, politik (baca strategi dan taktik), dan organisasi (baca: jalur agitasi-propaganda berbicara pada rakyat secara luas) bebunyian tersebut.




Demikian lah, semoga bermanfaat untuk menyayangi rakyat (manusia) dan bumi.

  

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar