Rembulan Tak Lagi Bersamamu.
Written By PEMBEBASAN JogjaJateng on Rabu, 26 Februari 2014 | 06.04
Oleh: Ziwenk.
Awalnya tak ingin aku menulis tentang ini, sebuah cerita yang tentunya akan mengabarkan kejahatan manusia atas manusia lainnya, sebagian orang mungkin akan jengah mendengar cerita ini. Tapi tak aku pikirkan sebagian orang itu, keteguhanku bukan untuk mereka, hanya saja mereka juga perlu membaca kisah ini, walaupun mereka anggap ini tak penting, karena kejahatan itu jauh dari dekap lingkungan mereka, yang setiap harinya dikawal para jawara berseragam rapi. Tapi sesungguhnya kisah ini untuk kalian yang terbelenggu ketakutan, atas kuasa terhadap tubuh, dan tergerusnya naluri keberanian pada diri kalian, yang dirampas oleh sekolompok manusia berhati keji dan berhianat pada kemanusian.
Kereta mulai berjalan meninggalkan stasiun tempatku menunggu keberangkatan menuju kota yang dikenang dalam catatan sejarah, sebagai tempat yang menyimpan peristiwa penting dari negeriku yang kaya raya, kota pelajar yang dikenal penghuninya haus akan pengetahuan, namun masih tunduk pada kekuasaan feodal, daerah yang aneh, ilmiah dan kolot menyatu padu tanpa ruang, bergelut mencari kesamaan, hingga perbedaan dianggap tak penting di banyak mata orang. Perbedaan Raja yang duduk manis dengan buah-buahan segar menemani, di kursi maha kuasanya yang berlapis emas dari butiran jerit tangis rakyat. Sementara rakyatnya menjerit histeri mempertahankan tanah lelulur dari rampasan pemodal besar di ujung Selatan sana. Sebuah tempat yang berkisah dongeng kejayaannya Nyai ‘Perempuan Hebat!' dijuluki masyarakat setempat penguasa pantai Selatan.
Gerbong kereta yang aku tumpangi penuh sesak, tak ada bangku yang tersisa, semua dipadati para pemudik yang ingin kembali dari kota kelahiran menuju gelanggang pertarungan di Jakarta, dan aku nanti akan turun di pertengahan jalan kereta, tepatnya di daerah yang menghapus perbedaan tadi, yang aku katakan di atas. “Panas banget ini kereta." Bersit salah satu temanku yang duduk di sampingku, sambil mengipas-ngipas wajahnya dengan beberapa kertas yang dia ubah fungsi menjadi kipas, agar dia nyeyak tidur dalam perjalanan panjang menuju negeri dongeng tidurnya.
Anak-anak penumpang lain berlari-lari dari satu bangku ke bangku lain mengintip dari jendela kereta, melihat sawah yang tinggal beberapa petak di hadapannya, ribuan hektarnya sudah berubah menjadi pabrik, corong asap mengepulkan kabut hitam yang hanya terlihat di mata anak-anak itu, masa kecilnya sudah diperlihatkan oleh hitamnya corong asap yang pekat merampas tanah petani di pinggiran rell kereta.
Asap hitam yang keluar dari corong asap pabrik, mengelilingi spanduk-spanduk caleg (calon legislatif), yang tegak berdiri di setiap gapura desa. Sepertinya asap itu mengabarkan satu sandi yang harus diketahui petani desa. Orang-orang yang menempel di spanduk itu hanyalah boneka setan, yang ditutup manisnya songkok, dan indahnya jilbab bila dipakai dengan lipstik merah delima, mempesona siapa saja yang melihatnya, para perempuan kaya yang menggelontorkan banyak uang, untuk wajahnya menempel di sepanduk caleg (calon legislatif), dan semoga rakyat tak tertipu oleh kerudung merah jambu yang menutup kepala boneka itu! Gerutuku di dalam hati.
Payah! Para temanku sudah tertidur pulas di dalam gerbong yang begitu panas, mesin pendinginnya mati, mungkin karena ini kelas terendah kereta api, perawatannya pun sangat minim diperhatikan, sudah menjadi hal biasa di negeriku yang alamnya kaya raya. Harga murah, kualitas parah!
Rasa ngantuk tak menyelimutiku, untuk mengusir jenuh di dalam gerbong, aku mengambil sebuah buku yang berada dalam tas. Buku yang ditulis oleh sastrawan terkemuka negeriku berjudul. “Perawan remaja dalam cengkraman militer." Buku yang beraliran novel ini mampu membuatku bertahan dari rongrongan panas yang menetap di gerbong kereta.
Pelan melambai satu persatu lembar kertas di dalam buku betakjub novel ini aku lumat hingga di akhir cerita, sehentak mataku terpejam, mengiang-ngiang kesengsaraan yang diceritakan novel ini. Tak perlu banyak waktu untuk membacanya, alur cerita dan estetika tulisannya mampu merasukku untuk tenggelam bersama ceritanya. Air mata tak aku harapkan menetes dari mataku, yang masih setia terbuka melihat kesengsaraan di negeriku saat ini, masa lampau dan masa depan yang aku harap jauh lebih indah, alam dan manusianya menyatu tanpa merusak secara brutal seperti yang dilakukan para petinggi negeri. Novel ini menceritakan sejarah kelam bangsa Indonesia, bangsa baru yang bertempat di Nusantara, sebuah bangsa yang berkali-kali menjadi tempat basah untuk dijajah dan dikeruk buminya. Sejarah bangsaku yang begitu tragis, seperti bola yang dioper dari satu penjajah ke penjajah lainnya. Penulis novel begitu dettail menggambarkan sejarah dalam kurun 1943-1945 menimpa sebagian besar anak bangsa, yang saat itu punya cita-cita besar membangun bangsanya, namun pada akhirnya berganti dengan kesengsaraan karena hilang kuasa atas tubuhnya.
Di tahun itu, saat para penjajah fasis Jepang berhasil menguasai Nusantara, mereka menyebarkan rayuan segar untuk bangsa kita, sebagian besar tertipu dengan rayuan itu, termasuk para tokoh negeri. Ada juga sebagian kecil yang meragukan rayuan itu, namun telah kalah oleh ancaman bedil, dengan kesedihan para orang tua melepas anak-anak remajanya untuk terbawa arus rayuan dusta dari fasis Jepang.
Rayuan itu berbunyi seperti ini: Jepang dengan niat baik akan memberi kemerdekaan kepada Hindia Belanda (Indonesia), dalam mempersiapkan pemimpin bangsa maka Jepang akan memberi keleluasaan untuk para remaja putri sekolah di Tokyo dan Singapoer. Tak lebih begitu rayuan dusta fasis Jepang yang dibumingkan ke dalam telinga pribumi, tapi apa yang terjadi sesungguhnya, kesedihan dan kekalahanlah yang bertaburan di Bumi Nusantara.
Kemerdekaan yang dikatakan para penjajah dari negeri Matahari terbit itu adalah kemunafikan belaka yang tertuang di dalam misi pengerukan sumber daya alam dan sumber daya manusia pribumi yang mereka paksa untuk bekerja dalam sistem biadap romusha.
Jutaan rakyat tersiksa oleh sistem itu, tak sedikit yang mati kelaparan, kesengsaraan itu akhirnya membuat mata para tokoh bangsa terbuka, menyadari bahwa negerinya tetap di dalam kubangan sampah yang terus didaur ulang penindasannya.
Tetapi novel ini hanya fokus menceritakan remaja perempuan tertipu janji Jepang, ribuan orang dari remaja Nusantara harus angkat kaki dari rumahnya dengan terpaksa menyerahkan dirinya untuk masuk di dalam cengkraman penjajah.
Sekolah tak mereka dapati, para perawan remaja ditipu mentah-mentah oleh penjajah bengis. Mereka bukan ke Jepang! Sebagian besar dari mereka diungsikan ke pulau yang jauh dari kampung halamannya, untuk dijadikan pemuas nafsu, yang harus setia melayani para perajurit Jepang. Biadap, negeriku diregut kehormatannya!
Ribuan orang dari mereka berasal dari Pulau Padi, mereka dibawa oleh kapal-kapal Jepang. Tanpa membawa bekal yang cukup, para perawan remaja itu memasuki gedek kapal dengan rasa was-was yang menggila. Berhari-hari mereka di dalam gedek kapal, dalam perjalanan lautan yang begitu panjang, membuat sebagian mereka jatuh sakit, namun tak ada yang peduli, mereka sendiri yang harus berpikir bagaimana cara untuk bertahan hidup hingga sampai tujuan.
Setelah beberapa hari berlayar di lautan bebas, akhirnya dengan badan yang sakit-sakittan, kapal mereka menyandar di suatu pulau yang berada di timur Nusantara. Pulau Buru namanya tempat yang biasa dipergunakan para penguasa untuk mengasingkan orang-orang yang tak sepaham padanya.
Para perawan itu turun satu persatu dari kapal yang mengangkut mereka dari tanah leluhurnya, tak sedikit dari mereka yang kebingungan melihat sekelilingnya, pulau yang sepi dan balatentara fasis yang sumuringah wajahnya menyambut kedatangan mereka, gadis malang, perawan remaja negeriku.
Dengan sergap balatentara fasis Jepang menyambut remaja yang baru saja selesai mengarungi lautan luas dalam perjalanan yang jauh, satu persatu balatentara belarian mengejar remaja-remaja Nusantara, seperti kucing yang ditawarkan ikan, dengan kumis tebal balatentara Jepang menyantapnya.
Remaja-remaja itu belarian tak tentu arah, berteriak-teriak menangis tak henti-henti di dalam tenda tentara, seluruh tubuhnya dipaksa terbujur kaku, ditindih para tentara biadap dari negeri Matahari. Mereka dijadikan pemuas nafsu, nenek moyangku yang kehilangan kuasa atas tubuhnya, remaja hebat yang sanggup menahan luka kesengsaraan akibat dari keliruan para tokoh negeri saat itu.
Jeritan berasal dari dalam tenda tentara itu hampir setiap hari terdengar, remaja-remaja lugu itu tak pernah dibiarkan menghirup udara segar, hanya nafas bau busuk mulut tentara Jepang yang dia hirup setiap kali tentara Jepang memaksa mereka untuk jadi korban budak nafsu.
Perang dunia kedua ketika Jepang menyerah dari Amerika dan sekutunya, terjadi kekosongan kekuasaan di Hindia Belanda. Jepang pergi kembali ke negerinya sementara para ribuan remaja itu dibiarkan terlantar di pulau yang sama sekali tak ia kenal. Kepergian Jepang belum menyelesaikan kesengsaraan mereka, keterbatasan mengenal lingkungan di sekitarnya membuat mereka begitu gampang dijadikan istri oleh masyarakat pribumi di Pulau Buru, suku Alifuruh yang paling banyak menikahi para remaja Pulau Padi itu, dengan catatan dia harus menghilangkan identitas bangsanya, dan kuasa terhadap tubuhnya. Tak pernah remaja-remaja itu bicara dengan orang lain kecuali masyarakat asli setempat, bahasa dari nenek moyang mereka juga tak boleh dipergunakan! Para remaja harus patuh mengikuti perintah suaminya! Tubuhnya setelah dirampas oleh tentara Jepang juga tak kembali seutuhnya. Para remaja itu masih hidup di dalam tubuh yang dikuasai oleh suaminya, sebab di dalam masyarakat setempat, istri adalah harta, yang terserah mereka dipergunakan untuk apa saja, lagi-lagi para remaja itu kehilangan kuasa atas dirinya.
“Ayok turun." Ucap temanku yang sudah terbangun dari tidurnya. Kereta yang aku tumpangi sudah sampai tujuan, di negeri keraton.
Novel itu aku kembalikan ke dalam tas sampingku, yang selalu aku bawa kemanapun, saat aku sedang beraktivitas layaknya manusia.
“Sampai juga di jogja." Kata-kata dari salah satu temanku, yang badannya terasa sakit sehabis tidur dalam perjalanan kereta yang begitu panas.
“Taksi mas." Tawaran dari supir taksi.
“Tidak pak," jawab teman ku dengan lembut.
Kami memang sudah janji dengan teman baikku di kota ini untuk meringankan kakinya menjemput kami di stasiun. Sembari menunggu temanku, ada baiknya aku berpikir saat itu, untuk membaca habis novel yang sudah di ujung cerita. Novel ini begitu halus mengantarkan aku untuk mengingat masa lalu yang tercatat dalam perjalanan hidupku. Aku dan perempuan hebat dalam gelutan malam yang mengais kegundahan sampai saat ini.
Perempuan hebat itu bernama Sari, berumur 21 tahun saat kenal denganku. Dia datang dari daratan Pulau Padi. Wajahnya lembut, membuat mata siapa saja jatuh hati dengannya, matanya sedikit sipit, dengan kelopak mata yang melengkung, dibalut kulit putih yang cerah. Perempuan hebat itu aku kenal beberapa tahun lalu, saat aku masih menjadi mahasiswa baru di kampusku yang membosankan.
Tepat pada tanggal 8 Maret 2011 aku mendapati telepon dari kakak perempuan itu, dengan terseduh-seduh kakaknya bicara, tak begitu jelas aku mendengarnya, kata terakhir yang aku dengar darinya. “Cepat kemari, di hotel dalam kota." Dengan motor tua yang aku miliki, kaki aku pacu menuju alamat yang diberikan. Sampai di hotel itu, kerumunan orang padati mobil jenajah, dan polisi sebagian sibuk memeriksa kamar hotel dan sebagiannya mengawasi lalu lintas, dengan bingung aku bertanya pada salah satu polisi itu. “Ada apa ini pak?” Tanyaku pada salah satu polisi yang berjaga. “Baru saja ada pemerkosaan dan pembunuhan." Jawabnya. Darahku mengalir turun mendengar jawaban polisi itu, rasa penasaran memaksaku mendekatkan diri dengan mobil jenajah, dan bersusah payah melihat mayat yang ada di dalamnya.
Kudapati dalam mobil jenazah, kakak sari berada di dalamnya dengan tangisan yang merontah-rontah. “Kak ada apa?” Aku tanya kakak sari yang menangis. “Sari dek, hidupnya begitu sengsara." Setelah bicara dia buka kain penutup jenajah itu. Di balik kain putih itu ternyata Sari dengan luka bekas sayatan compang-camping di wajah dan tubuhnya, kembali darahku berdesir turun, rasa marah di dadaku seperti api yang ingin membakar siapa saja di depannya. “Siapa melakukan ini kak?” “Pelanggannya dek." Ia jawab sambil menangis.
Seluruh tubuh terasa lemas mendapati kabar dan melihat lansung perempuan hebatku mati terbujur kaku dengan sayatan botol di wajah dengan baju yang kusut.
Aku tinggalkan lokasi hotel itu, berlari sekencang mungkin meninggalkan tempat itu, lari dari kenyataan, yang baru aku sadari saat ini, itu adalah kejahatan.
Sudah berapa tahun peristiwa berlalu, namun sedikitpun belum dapat aku hapus dari ingatanku. Perempuan hebat itu banyak menyisahkan sejarah dalam kehidupanku, betul dia perempuan panggilan, yang tentu berbeda dengan anak gedongan yang centil di dalam Istana megah. Perempuan hebat itu bukanlah anak dari siapa-siapa di negeri ini, dari umur 11 tahun ia sudah ditinggal oleh kedua orang tuanya karena longsor melanda rumahnya, ia dan kakaknya mencari makan sendiri dengan menawarkan jasa menyuci di kampung tempat ia tinggal. Berjalan dewasa perempuan hebat itu berangkat ke kota, dengan niat melanjutkan sekolah ke jenjang sarjana walau ia harus menggadaikan tubuhnya kepada laki-laki yang kekurangan dahaga dari istrinya sendiri. Dia begitu bertekat menjadi seorang penolong untuk keluarganya, sebab dia masih memiliki dua adik yang dia titipkan kepada bibinya di kampung. Untuk membiayai adik-adiknya, ia menggadaikan dirinya, sekaligus untuk memenuhi tekatnya meluluskan jenjang sarjana! Pertarungan yang sengit dia lalui di muka Bumi ini, dengan selogan yang selalu ia sebut di hadapanku, untuk menyakinkan aku, pekerjaannya tak membahayakan untuknya. Rembulan itu harus diraih, sebab dia tak pernah datang sendiri.Selogan itu sebagai amunisinya untuk meluluhkanku, setiap aku ingin melarangnya menjumpai para pelanggan jasanya.
Perempuan hebat itu kekasihku, harus terjerumus ke tempat yang mengerikan untuk dilalui, bukan dia tak peduli terhadap moral, tapi keluarganya perlu makan, dia juga mempunyai cita-cita yang tak diberi penguasa negeri. Jangan bicara moral dengannya! Dia hidup penuh moral, yang setiap harinya berpikir bukan untuk dirinya, tak seperti para perempuan kaya yang selalu sibuk berdandan cantik agar dikatakan seksi di depan kerumunan orang-orang munafik.
Perempuan hebat itu teman hidupku, yang selalu menceritakan tentang sebuah negeri yang terpenjara kebohongan! Dia juga selalu mengabarkan kalau rembulan tak lagi bersama kaumnya, sejak lahirnya kepemilikan peribadi, perempuan dianggap barang dagangan yang dapat dimiliki bersama. Di akhir pertemuan kami, malam terakhir saat aku menemuinya ia katakan padaku. ”Sebentar aku keluar," “kau mau kemana?" “Mengejar rembulan." Ia jawab. “Aku akan mengejarnya dengan keberanian yang jujur." Kata-katanya di akhir pertemuan kami.
“Woy boy." Teguran temanku saat mendapatiku sedang melamun. “Itu dia boy udah datang, ayo cabut." Lanjut temanku. Jemputanku sudah sampai, dengan rasa duka, aku buang kertas yang sempat aku tulis beberapa sajak puisi untuk kupu-kupu bajaku.
*Kader PEMBEBASAN.
Rujukan :
Buku "Perawan Remaja Dalam Cengkeraman Militer". Penulis Pramodya ananta toer.
http://tikusmerah.com/?p=119 (Sisterhood dan sekerat roti)
http://pembebasanjogja.blogspot.com/2014/02/rangkuman-untuk-pengatar-sederhana-asal.html?spref=fb
http://pembebasanjogja.blogspot.com/2014/01/fenomena-perempuan-menjadi-caleg-calon_3873.html?spref=fb
http://pembebasanjogja.blogspot.com/2014/01/perempuan-dalam-belenggu-neoberalisme.hhttp:
//politik.kompasiana.com/2014/02/23/kami-warga-parang-kusumo-634123.htmltml?spref=fb
Keterangan Gambar : https://fbcdn-sphotos-h-a.akamaihd.net/hphotos-ak-prn2/v/t34/1656444_14768148425
Tidak ada komentar:
Posting Komentar