wawuwalik79

>

Senin, 09 Februari 2015

Hendak Berdemokrasi, Tapi Dilarang Berdemokrasi

Hendak Berdemokrasi, Tapi Dilarang Berdemokrasi.








Kamis (3/4), PEKAT (Persatuan Aksi Tolak Pemilu Borjuis 2014)  menggelar aksi unjuk rasa di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY). PEKAT Pemilu Borjuis 2014 ini adalah persatuan dari PEMBEBASAN Yogyakarta dan IMM Fakultas Hukum UMY. Atas dasar kesadaran kerakyatan dan melihat kembali sejarah bangsa pasca 65 aksi ini digelar. Sebelum aksi pada hari itu, PEKAT Pemilu Borjuis 2014 telah membuka Posko Tolak Pemilu Borjuis 2014 dan Lawan Militerisme selama dua hari dari tanggal 1 sampai 2 April 2014.


Tidak ada maksud lain front ini menggelar aksi tersebut dan menolak pemilu bukan berarti anti terhadap Demokrasi, hanya saja pemilu kali ini adalah lahan pemilihan para calon penipu rakyat. Mereka justru sangat menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi, demokrasi kerakyatanlah yang kami inginkan bukan demokrasinya para penipu seperti demokrasi yang ada di negeri ini sekarang (Demokrasi prosedural). Memang rakyat dan mahasiswa muak dengan watak pemerintah, seenak dengkulnya mereka melepas tanggung jawabnya. Bukankah setiap warga Negara Indonesia berhak mendapatkan pendidikan, kesejahteraan, keamanan, kesehatan, dll yang semuanya sudah tertuang jelas didalam pembukaan UUD 1945.



Tapi ketika melihat realita, apa yang ada dalam UUD 45 tidaklah ada dalam realita saat ini. Pendidikan dan kesehatan saat ini hanya menjadi lahan komoditi penguasa, golongan masyarakat akar rumput tak dapat menikmatinya. Keamanan di negeri ini juga hanya dimiliki oleh para penguasa, buruh dan petani tak boleh mendapatkan keamanan. Kondisi negeri yang seperti inilah yang membuat banyak  rakyat tidak percaya terhadap pemilu, dan lebih memilih apatis terhadap pemilu borjuis 2014 ini. Tak lupa pula para mahasiswa yang menolak pemilu ini adalah mahasiswa yang menolak lupa sejarahnya. Masih teringat jelas catatan luka masa ORBA, peristiwa pelanggaran HAM terhadap 13 aktivis mahasiswa yang diculik oleh militer saat penggulingan rezim Soeharto.


Menjadi hal yang wajar ketika mahasiswa dan rakyat menolak pemilu borjuis 2014. Karena rakyat dan mahasiswa tak dapat meninggalkan catatan luka yang ada di negeri ini dengan menggantungkan diri pada partai borjuis dan militerisme, yang saat ini sedang menghamburkan uang rakyat untuk kampanye.  Benar-benar tidak ada partai dan sosok yang dapat menjadi sandaran rakyat dan mahasiswa pada situasi kali ini.



Namun sangat disayangkan ketika rakyat dan mahasiswa hendak berdemokrasi di negeri ini, ternyata dihalangi oleh sekelompok anak buah penguasa militerisme yang sudah tak asing lagi yaitu polisi. Aksi tolak pemilu ini berjalan dengan damai ketika aksi di setiap loby fakultas yang ada di UMY, meskipun banyak mata jahat yang mengintai (Banyak intel menjamur di kampus). Ya, berbeda ceritanya ketika aksi hendak dilanjutkan di jalur Ring Road Bantul, karena gerbang UMY sudah dipenuhi oleh polisi. Entah apa yang salah dari aksi ini, sehingga masa aksi tidak diperbolehkan melanjutkan hak berbicaranya. Gerbang UMY menjadi saksi sikap represif penjahat berseragam ini, masa aksi dipukul mundur dari barisan.


Masa aksi yang berjumlah sekitar 40 mahasiswa ini berpegangan erat sesama kawan, dan dengan langkah revolusinya mencoba menerobos barisan blockade polisi. Namun apadaya mahasiwa yang mungil ini, kejahatan polisi masih mengalahkannya. Bukan kesuksesan menembus barisan penjahat, yang ada hanya luka dan sakit pinggang karena terjatuh dari dorongan polisi. Satu, dua kali  para mahasiswa dan rakyat itu mencoba menembus barisan polisi, tapi tetap saja polisi-polisi itu menyakitinya dengan mendorong barisan masa dan memukul dengan tongkat hitamnya.


Untuk mengurangi rasa sakit dan mengumpulkan tenaganya kembali, masa aksi mencoba duduk bersama dihadapan polisi. Tidak hanya duduk diam dan memandang polisi yang kejam itu, tapi disampaikanlah orasi-orasi politik untuk membakar semangat masa aksi. Kawan yang mengenakan topi bernama Ziwenk mengawali orasi politik di hadapan massa aksi dan polisi, dia mampu membakar semangat masa sekaligus membuat bingung polisinya. Ya, polisi itu hanya bisa diam tak tahu apa yang mahasiswa itu bicarakan, apa ini sebagai tanda bahwa polisi-polisi itu sangatlah bodoh? Mereka yang dengan senang hati ditindas oleh penguasanya, menjadi robot penguasa negeri ini.


Begitu panjang dan semangat orasi yang disampaikan kawan Ziwenk , dan ajakannya untuk tidak takut dengan aparat polisi mampu membuat massa aksi bersatu dan berdiri lagi. Gandengan tangan yang kuat mencoba kembali mengambil hak berbicara massa aksi, lagi, lagi dan lagi, massa aksi terjatuh atas dorongan dan pukulan polisi. Polisi tak memperdulikan luka yang dialami salah satu massa aksi, tak memperdulikan betapa sakitnya jatuh didorong olehnya.


Kondisi yang tak memungkinkan untuk terus melawan barisan polisi membuat massa aksi kembali duduk dan terus melakukan orasi-orasi politik. Sembari berjalannya orasi-orasi, beberapa kawan mencoba memanggil kawan-kawan mahasiswa yang lain untuk ikut bersolidaritas bersama menolak pemilu borjuis 2014 dan melawan militerisme. Di dalam massa aksi itu juga tak luput dari adanya perempuan-perempuan yang pemberani, dia berani menyuarakan dengan lantang penindasan-penindasan yang terjadi di negeri ini, dan mengambil sikap menolak pemilu. Perempuan-perempuan itu juga berani melawan polisi-polisi mata keranjang itu. Berbicara perempuan dan militer, ada kawan perempuan yang berkacamata dan memakai jaket merah yang berorasi dan mengatakan, bahwa ada perempuan yang sedang melakukan aksi di Makasar justru diperkosa oleh aparat polisi. Selain itu ada juga perempuan yang bertubuh kecil menyampaikan orasinya tentang sejarah perempuan dengan militerisme pada masa 65. Dimana Gerakan perempuan pada masa itu yaitu Gerwani di fitnah oleh para militer. Dengan tuduhan anggota Gerwani adalah pelacur dan pembunuh TNI, dimana korbannya dibunuh dan disilet-silet serta dipotong alat kelaminnya. Ini adalah pembohongan sejarah yang dilakukan militer pada masa itu.


Nampaknya sejarah palsu itu melekat sampai keakar-akarnya di dalam otak para polisi yang ada di hadapannya. Sehingga sangat pantas jika kacung militer itu justru melontarkan senyum jahat ketika perempuan-perempuan meneriakan keadilan dan pembelaan atas rakyat yang tertindas. Bahkan  ada hal yang menggelitik dan menjijikan dari sikap kacung militer tersebut ketika salah satu perempuan berorasi, justru memfoto wajah perempuan itu.


Masa aksi semakin bertambah, beberapa mahasiswa yang tadinya diam dan tidak peduli dengan kawan-kawannya akhirnya masuk dalam barisan masa. Dan masa aksipun kembali bergenggaman tangan dengan erat dan mencoba menerobos kembali barisan polisi. Karena gagal menembus barisan, akhirnya masa aksi langsung membacakan tuntutan-tuntutannya yang dibacakan oleh kawan Adli selaku kordum aksi. Setelah selesai membaca tuntutan, masa aksi meminta barisan poilisi bubar dan aksi unjuk rasapun akan ikut bubar. Namun lobi antara polisi dan masa aksi terasa alot, polisi tidak mau mundur sebelum masa aksi mundur terlebih dahulu. Dengan kekuatan lobi dan keyakinan masa aksi akan kemenangan aksi pada hari itu, akhirnya barisan polisi bubar dan massa aksi pun ikut bubar dari unjuk rasa.



Untuk mahasiswa dan rakyat yang terus melawan, merebut keadilan nyata, dan yang merindukan demokrasi kerakyatan. Tetaplah berada digaris perlawanan, menolak pemilu borjuis 2014 dan lawan militerisme. Jangan biarkan rakyat dan mahasiswa terus ditindas. Pram dalam Rumah Kaca  pernah mengatakan , “Kita semua harus menerima kenyataan, tapi menerima kenyataan saja adalah pekerjaan manusia yang tak mampu lagi berkembang. Karena manusia juga bisa membikin kenyataan-kenyataan baru. Kalau tak ada orang mau membikin kenyataan-kenyataan baru, maka “kemajuan” sebagai kata dan makna sepatutnya dihapuskan dari kamus umat manusia”. Maka yakinlah akan adanya Revolusi.





Pena: Fullah (Kader PEMBEBASAN Kolektif Utara)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar