wawuwalik79

>

Senin, 09 Februari 2015

Selamat Jalan Kawan, Selamat Jalan!

Selamat Jalan Kawan, Selamat Jalan!

Written By PEMBEBASAN JogjaJateng on Rabu, 09 April 2014 | 16.15







Masih terlintas dalam ingatanku raut wajah tangguh, berani, gerutu suaramu, hati bernyanyi lantang, siang itu, saat kau katakan tentang kehidupan yang pahit, ketakutan yang menyelimuti bangsa kita, pundakmu  tertimpa semangat yang begitu besar dan kau harus menyadangnya dengan berjuang tanpa lelah.

Bertahun-tahun jalanan menjadi tumpuhan hidup dan cta-cita kita! Dalam perlawanan yang sunyi kita mengaung sekuat-kuatnya menegaskan perbedaan kita dengan mereka yang sejak lama menjadi penjilat para elit di negeri ini.

Aku ingin mengenang 1 Mei! Saat itu kita bersama mengorganisir massa, membangunkan kawan yang tertidur pulas di kamar tiga kali tiga yang sesak, dipenuhi buku-buku kiri, dengan sabar kita bangunkan mereka dari mimpinya yang indah.

Pagi di kos yang kumuh, suasana begitu meriah, kawan-kawan kita berkumpul dari penjuru desa sekitaran kampus menyatu di depan kos kita, masih ingatkah kau kawan? Saat mereka menyanyikan yel-yel perjuangan. Hidup buruh, hidup petani, hidup mahasiswa, jayalah internasionale. Waktu itu pagi masih begitu buta, kita sudah mempersiapkan peralatan tempur (Bendera, spanduk tuntutan) untuk turun ke jalan bersama kawan-kawan buruh dan petani kita akan berbaris, berteriak bersama, bernyanyi-nyanyi menambah semangat juang!

“Semua sudah berkumpul?” Kau katakan itu, sambil merapikan rambutmu yang lurus dan hitam, satu dari kawan kita menjawab dengan begitu semangat, “semua sudah siap kawan, mari kita berangkat memerahkan jalanan maliaboro.” “Ayo,” kau jawab tanpa ragu!


Kita memulai perjalanan menuju titik kumpul aksi, dengan sepeda motor dan mengibarkan panji-panji perlawanan di sepanjang perjalanan, tak banyak yang dapat aku ceritakan tentang jalanan saat itu, tampak seperti biasa, mobil mewah melaju dengan kencang, para tukang becak mendayung becaknya dengan raut wajah lesuh, hanya itu! Yang dapat aku ceritakan dalam perjalanan menuju titik kumpul aksi.

Awan mendung menghiasi langit-langit kota, ribuan massa sudah menyatu di dalam barisan, kita menggabungkan diri dengan kawan-kawan buruh dan petani yang sudah berbaris rapi. Bendera merah kau genggam dengan gagah, seakan hidupmu menyatu bersamanya, kau tak ingin melespasnya, semangatmu membuat awan mendung lari terbirit-birit berganti panas dari matahari yang cerah di pagi itu.

Pimpinan aksi memulai orasi, mengarahkan massa untuk  bergerak. “Ayo bergerak kawan-kawan, lima langkah Revolusi!” Teriak pimpinan aksi dengan toa yang berada di dalam mobil bak terbuka, suaranya menggema, memanaskan semangat massa aksi, yang sudah siap menuntut pada negara, kesejahteraan buruh, yang sampai hari ini tak menjadi perhatian!


Di dalam barisan kita bernyanyi begitu keras, kau lantunkan lagu perjuangan, ah kau begitu berani, terlihat dari sorot matamu, ada api yang membara menjemput massa depan! Massa aksi dipadati ribuan buruh berbaju merah dengan tulisan semangat persatuan. Buruh bersatu tak bisa dikalahkan. Para buruh itu melihat jalanan begitu semangat, mereka gantungkan harapan dengan terus bergadengan tangan, tanpa henti berteriak, sambil tertawa kecil melihat polisi berjejer rapi seperti badut di dalam pasar malam!

Satu persatu kantor pemerintahan kita singgahi, namun apa daya rakyat kecil tak akan dianggap oleh mereka, itu terlihat jika mereka tidak menghendaki kehadiran kita, mereka mempersiapkan jejeran kawat berduri, ditambah wajah pak polisi berkumis garang, siap menyatap rakyat yang melawan. Yaaa yaaa kau berteriak dengan kencang namun tenang saat menyampaikan orasi kau singgung mengenai para badut itu, "apakah kawan-kawan gentar dengan mereka?" Satu-persatu dari massa aksi bergantian mengatakan tidak, lalu mengumpulkan bunyi suara dengan kuat dan serentak, mereka katakan dengan kejujuran, "lawan siapapun yang menghadang buruh!" Teriak itu membuatmu tersenyum dan memupuk keberanianmu untuk terus bersuara merontah dengan isian yang mengajak massa aksi melawan.

"Jangan pernah sedikitpun gentar dengan mereka para anjing berseragam, mereka berwujud manusia namun berakal binatang," lanjut kau memaki polisi dengan lantunan bunyi menegangkan, namun itu lah kejujuran, walau pedih harus disampaikan.

Setelah bergantian satu persatu orasi dari berbagai gerakan yang terlibat, masuklah kita pada penutupan aksi, dengan bernyanyi lagu yang didengungkan oleh buruh di seluruh dunia. "Internasionale," teriak mu dengan lantang, sambil menghentak-hentakan bambu sanggahan bendera yang kau genggam ke tanah, dan sekeras-kerasnya sesuai yang kau inginkan.

1Mei, atau yang sering disebut May Day oleh buruh seluruh dunia, kita melakukan aksi serentak mengenang kemenangan buruh pekerja di pabrik kayu yang menuntut pada pemerintah Amerika, 8 jam kerja, 8 jam istirahat dan 8 jam rekayasi. Tak beda kita dengan mahasiswa lain di seluuruh dunia yang juga terlibat dengan aksi memperingati kemenangan kecil buruh, sebab sejatinya perjuangan mahasiswa harus bergadengan dengan gerakan buruh, niscaya Revolusi akan sampai ke pangkuan ibunda, yang tersenyum riang di pagi hari mendengar kabar anak di rantau menjadi manusia seutuhnya dalam Revolusi!


Cerita itu sudah lewat ditelan waktu yang bergulir seperti bui di dalam barisan ombak, menyapa daratan dalam senyum, menumpas habis jika saat Revolusi itu tiba, seperti tsunami mempora-porandakan barisan gedung, gedung yang dibangun dari curah keringat buruh yang dicuri oleh paraborjuis di seantero Bumi.  

Kawan, bertahun-tahun kulit coklatmu kau panggang dalam barisan massa di bawa sinar mentari pagi, yang menyulut panas, menenggelamkan warna kulitmu, kau katakan saat itu inilah hasil perjuangan, tapi saat ini semua sudah berubah, warna kulit yang tenggelam kembali muncul, menampakan diri yang memaksa kami untuk tak berjalan di samping perjuanganmu. Cita-cita dan semangat juang kita, jauh dipisahkan kenikmatan yang terpampang dalam kehidupan, memaksamu tunduk pada sebuah kenyataan, mengalah untuk nasi yang belum pasti.

Begitu sulit untuk menceritakan kisah ini, namun ada kewajiban bagiku berbicara sejujurnya, sepahit apapun itu, harus dikatakan, walaupun kelak kita akan menjadi musuh! Di tahun pemilu ini, banyak naluri dibungkam oleh ancaman kesenangan, membuat banyak dari barisan kita meloncat ke lumpur yang berlapis kemewahan, kau pun menjadi korban walau kau bilang ini sebuah paksaan.

Saat malam meninggalkan bulan di hamparan langit, tertutup mendung, bulan dihantam gelisah petir, air menetes pelan-pelan, melambai, membasahi bibir rumah. waktu itu wajahmu terlihat kalut duduk di hadapanku, gelisah tak tentu arah, kau rapikan rambutmu yang berserakan, sambil menyulut rokok yang berada dalam genggaman tangan, kau katakan dengan nada pelan, namun terlihat hati-hati kau bicara dengan bunyi yang ragu,"aku ingin katakan sesuatu, yang membuatmu sedikit kaget!" Kau bercerita padaku dengan tempo yang berlahan, "iya, aku ingin mendengar ceritamu kawan," tandasku.

"Hidup semakin sulit kawan, keluarga di kampung halaman, mempunyai tambahan pengeluaran, karena adekku sekarang kuliah di kota yang sama dengan kita, mau tak mau aku harus pulang, untuk membatu perbaikan ekonomi keluarga," jawabmu dengan menundukan kelopak mata, rambut mengelai tersapu ke bawa.

"Dengan apa kau membantunya? Kau ingin bekerja di sana?" Tanyaku begitu serius ketika mendengar sepenggal cerita sedihmu.

Suasana terasa piluh saat itu, di luar hujan belum juga berhenti menetes membasahi bibir rumah, angin dingin mengedap di ruangan yang kita tempati, tubuh terasa begitu dingin, namun hilang dibawa larut dari ceritamu yang mulai kau rajut secara berlahan, "tidak lek, ada tugas dari keluarga yang harus aku kerjakan, namun sebetulnya kerjaan aku ini akan menghianati keputusan kita," katamu. "Apa yang ingin kau kerjakan? Bukannya kau masih ingin menyelesaikan kuliah? Dan kenapa bisa menghianati keputusan kita yang melihat keadaan di negeri ini menjadi salah satu pondasi kita menentukan sikap politik terhadap Pemilu Borjuis 2014?" Jawabku dengan menaburkan sejumlah pertanyaan curiga, sehabis mendengar perkataanmu yang terpotong. 

"Aku sepakat dengan keputusan kita, itu memang keputusan tepat, tak ada landasan satupun untuk kita tidak menolak pemilu! Selama kaum buruh masih di curi hasil kerjanya, dan para petani masih terus direbut tanahnya oleh kekuasaan bedil, mahasiswa tak berbicara dengan nyanyian lantang, karena ilusi dosen yang membodohkan, para pedagang kaki lima masih bernyanyi kesedihan. Tak ada alasan kita untuk tidak menolak pemilu. Ada musuh berbahaya di dalamnya, kekuatan lama yang mulai bangkit, akan membungkam ruang kebebasan kita, sangat setuju aku dengan sikap poitik kita yang menolak Pemilu Borjuis 2014 dan dengan lantang, tegas Melawan Militerisme. Namun aku tak bisa menolak perintah keuargaku, yang memintaku untuk masuk ke dalam tim kemenangan saudara kadungku yang mencalonkan diri untuk menduduki parlemen. Apa yang bisa diperbuat dalam situasi ini? Jika saat ini aku tidak membantunya, akan berdampak besar dengan hidupku, terutama dengan kuliah yang sampai hari ini belum aku selesaikan kawan. Aku bingung menentukan sikap, paksaan yang begitu besar membuatku tak ada pilihan lain, selain menyeburkan tangan ke dalam lumpur yang sudah aku ketahui dahulunya sebagai kubangan dusta! Apa ndak di kata kawan, sistem Kapitalisme menyiksa kita untuk tak berani dalam bertindak!" Penjelasanmu begitu panjang dalam lantunan bunyi yang bernada pelan, membuat suasana menjadi riuh, hujan di luar sudah berhenti menyisahkan dinginnya angin yang menemanimu bercerita tentang kegelisahan hati.

"Dengan partai apa saudaramu menuju parlemen?" Tanyaku dengan melemparkan pandangan serius kepadamu kawan, dan kau menundukan kepala sambil berkata lesuh, "salah satu partai yang kental watak militerismenya lek, ini juga yang membuatku merasa bersalah besar, jika aku menerima permintaan keluargaku, tapi aku tak bisa berbuat apa-apa, sekali lagi aku katakan, tak ada pilihan lain selain mengorbankan ideologiku."


Malam sudah mulai larut, kita masih juga duduk di lantai bawa, cahaya lampu begitu redup menambah piluh suasana hati kita, tapi apa boleh buat, ini perjuangan! Tak sedikit yang pergi dan datang, "yasudah! Buat surat penguduran diri kawan, tak mungkin kau bertahan di dalam lingkaran kita, yang menolak keras tindakanmu, jika memang tidak ada pilihan lain, maka ada baiknya kau mengudurkan diri kawan!" "Nanti aku akan kirim setelah sampai di kampung halamanku, besok aku akan berangkat kesana, sebelum berangkat aku akan kesini, mungkin esok jabat tangan kita terakhir."

Setelah percakapan itu, kita saling diam satu sama lain, di sekitaran kita tak ada bunyi suara yang terdengar keras, hanya langkah kaki tikus yang merangkat dari satu tempat ke tempat lain, tanpa mengganggu pembicaraan kita, namun saat kita satu sama lain saling diam, tiba-tiba kau berdiri dari tempat dudukmu dan mengucapkan kata pamit untuk kembali ke kos, mempersiapkan barang yang ingin kau bawa ke kampung halaman, "aku pulang dulu, sampai di kampung aku akan kirim surat pengunduran diriku," kata-kata yang terakhir kau ucapkan terasa begitu berat keluar dari bibirmu. "Selamat jalan kawan, selamat jalan!" Aku ucapkan untuk menemani langkahmu keluar dari rumah yang menjadi tempat kita biasa berkumpul, menyusun program untuk rakyat.

Begitu kalut malam itu, aku terdiam sendiri duduk di tempat semula kita memulai cerita, tak sepenuhnya kau bersalah dengan sikapmu, pilihan tegas yang tak berani kau ambil itu juga tak terlepas dari sistem kapitalisme di negeri ini, membuat manusia yang tidak kuat harus saling menyerang satu sama lain, tak usah ditanyakan lagi betapa mengertinya kau dengan kondisi yang terjadi di dalam masyarakat kita, masyarakat kita yang hanyut dibawa gelombang penindasan, seharusnya kita melawan dengan berani dan jujur, namun apa daya, semua itu runtuh dengan kebutuhan diri. Malam ini begitu banyak kekecewaan yang aku dapat dari kenyataan hidup, masyarakat yang menaruhkan harapan kepada cecunguk yang berpura-pura peduli pada rakyat dengan program yang populer, mereka sebut "belusukan." Dari semua kekecewaan itu yang paling tak dapat dimengerti pikiranku, ketika partai yang kau dukung, mewarisi kejahatan pelanggaran HAM di dalam sejarah hidup para petingginya! Saat malam begitu panas dibuat ceritamu tak mengubah rasa ngatukku yang sudah menggila di kepala, ada baiknya aku lentangkan badan sejenak, bermimpi indah di dalam tidur, lalu melanjuti kehidupan dengan menolak kenyataan yang di rekayasa oleh kelompok manusia berhati keji.

Sorotan dari matahari yang berada di balik jendela, membuat kelopak mataku terbuka pelahan-lahan, membangunkan tidur indahku, hingga hiasan mimpi yang bermakna menabur di dalam mimpiku, ingin aku sampaikan itu, taburan kata yang tertuang di mimpiku: Bahwa perjuangan ternyata tak hanya membutuhkan pengetahuan yang luas, ideologi yang kuat, tanpa mental juang ini tak akan bearti, semua akan terhanyut dalam lantunan arus yang menyesatkan, yaa sekali lagi ideologi tak menjadi apa-apa tanpa mental juang, dalam keyakinanku ideologi adalah jalan hidup, sedangkan hidup penuh pertarungan! Jika bersembunyi dan lari maka kehidupan akan pergi dengan nyanyian sedih. Beranilah menghadapi kenyataan, kalau tidak! Kau akan kehilangan madumu!







Catatan Kaki: Berangkat dari kisah nyata yang banyak membelenggu para pejuang jalanan.Pena: Ziwenk ( Kader PEMBEBASAN Kolektif DIY)




































































Tidak ada komentar:

Posting Komentar