wawuwalik79

>

Senin, 09 Februari 2015

Pentingnya Organisasi Gerakan Perempuan

Pentingnya Organisasi Gerakan Perempuan.

Written By PEMBEBASAN JogjaJateng on Kamis, 15 Mei 2014 | 23.57







Soekarno pernah mengatakan di dalam Sarinah bahwa, soal wanita adalah soal masyarakat, dan itu terbukti adanya dengan kondisi saat ini. Bagaimana kondisi bumi dengan keadaan kaum perempuan saat ini. Jumlah kaum perempuan Indonesia misalnya, diperkirakan mencapai 49,7% dari 237.641.326 total penduduk, atau dengan perbandingan 1000:986 antara laki-laki dan perempuan. Dari data tersebut menunjukan adanya kondisi di mana perempuan tidak menjadi jumlah minoritas di negara ini, hampir ada keseimbangan jumlah. Namun, melihat realitanya bisa dikatakan ada ketimpangan antara kuantitas dengan kualitas. Bagaimana negara membangun konstruk perempuan yang di dalamnya terselip bentuk-bentuk diskriminasi, bentuk-bentuk penjajahan terhadap seks.



Semestinya perempuan sebagai individu maupun kolektif adalah merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kolekif sosial masyarakat, karena melihat dari sejarahnya apabila tidak ada perempuan maka tidak ada peradaban manusia. Bagaimana dengan abad saat ini? Teringat apa yang disampaikan oleh Pramoedya Ananta Tour tentang  Perempuan adalah lautan kehidupan maka hormatilah ia. Ini merupakan himbauan Pram atas kenyataan bahwa perempuan tidak berada dalam posisi setara sebagai manusia dengan manusia lainnya yang berbeda jenis seksualnya dalam masyarakat. Hal-hal yang berbau diskriminasi begitu banyak dialami perempuan.




Seperti apa perempuan mengalami diskriminasi?


Banyak hal yang dapat dengan mudah dilihat dari bentuk-bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Mencoba melihat dari segi perekonomian, di mana sistem perekonomian yang menganut sistem Kapitalisme, membawa dampak besar terhadap kesejahteraan ekonomi perempuan. Persoalan mendesak kaum perempuan di seluruh dunia  saat ini adalah kemiskinan. Lagi-lagi kondisi ini tak lepas dari adanya sistem Kapitalisme dalam ekonomi politik yang berdampak kepada kesejahteraan masyarakat khususnya perempuan. Ini menjadi hal yang tidak dapat dipungkiri apabila melihat data dari jumlah kependudukan yang sudah disebut sebelumnya.  Dari data yang ada diperkirakan 70% diantaranya adalah kaum tani, dan dari total penduduk yang ada. Dari jumlah tersebut kaum perempuan merupakan bagian penduduk yang terbesar di pedesaan, yaitu sekitar 58%.



Melihat data tersebut secara logika semestinya perempuan sebagai penyumbang proses produksi terbesar, karena memang menjadi buruh tani satu-satunya cara untuk mempertahankan hidup. Namun, tetap saja perempuan tidak diperkenankan menjalankan pertanian mulai dari penyiapan produksinya seperti benih, bibit, pupuk dan obat-obatannya sampai pada pengolahan. Memang masih ada perempuan-perempuan desa yang ikut mengolah lahan meskipun hanya 5% dari jumlah yang ada, dan mereka hanya sebatas tukang gepyok. Benih, pupuk dan pestisida diambil paksa oleh perusahaan-perusahaan besar penyedia input produksi  seperti Monzanto, Zingenta dll. Dan proses pengolahannya diambil oleh mesin-mesin pemilik modal, dan dengan dalih mesin-mesin itu maka dibangunlah konstruk perempuan tidak dapat menggunakan mesin tersebut.



Selain itu dalam sektor industri, dalam hal ini adalah buruh perempuan dimana buruh perempuan seringkali menjadi korban diskriminasi. Bisa dilihat di Indonesia misalnya, mayoritas buruh dalam sektor industri adalah kaum perempuan, mereka dibayar murah, tidak adanya hak cuti haid dan melahirkan, serta tunjangan yang semestinya menjadi hak para buruh tidak mereka terima. Ditambah dengan pemberlakukan sistem kerja kontrak yang disahkan oleh negara melalui UU Ketenagakerjaan No. 13/2001, ini semakin merugikan buruh perempuan.



Misalnya kewajiban pengusaha untuk memberikan cuti dan tunjangan melahirkan bagi perempuan buruh yang sedang hamil, dengan pemberlakuan sistem kontrak maka para perempuan buruh yang hamil malahan di-PHK sebelum waktu mereka melahirkan dengan alasan sudah habis kontrak. Ini hanya menjadi alasan bagi pengusaha agar mereka dapat mangkir dari kewajibannya untuk memenuhi hak-hak sosial ekonomi para buruhnya, khususnya buruh perempuan yang hari ini menjadi mayoritas di dunia industri di Indonesia.



Dan sangat disayangkan sekali ketika melihat kondisi yang ada, masih banyak perempuan yang tertidur lelap dan berpura-pura nyaman. Baik dari kalangan buruh perempuan ataupun mahasiswa perempuan. Padahal masih banyak hal yang bisa dilihat dan dirasakan adanya ketertindasan perempuan selain akibat dari adanya sistem ekonomi Kapitalisme.



Meskipun Kapitalisme lahir mempunyai kepentingan penyebaran budaya liberal untuk menyokong produksinya, tapi tetap saja budaya patriarki dan sisa-sisa feodal masih bercokol di Bumi Manusia ini dan masih menjadi penjara bagi perempuan. Apalagi di Indonesia merupakan tempat di mana feodalisme belum tuntas, budaya patriarki masih mengakar kuat di dalamnya, disini sisa-sisa feodal dalam lapangan budaya menyokong dan membenarkan pandangan patriarki. Bagaimana perempuan diposisikan sebagai seorang yang lemah dan tidak mendapat akses dilapangan produksi. Pekerjaan perempuan hanyalah di dapur, kasur dan sumur. Apalagi di pedesaan yang mana budaya patriarki feodal ini masih sangat kental, yang paling banyak menanggung adalah perempuan miskin pedesaan.



Begitu kuatnya budaya patriarki dan sisa feodal sangat menghambat perkembangan tenaga produktif yang salah satunya adalah perempuan, karena ada batasan-batasan dalam perkembangan perempuan. Batasan-batasan itu seperti pembatasan pengembangan kapasitas intelektualnya dalam hal ini adalah pendidikan, pembatasan terhadap keterlibatan dalam proses produksi, dan lainnya. Yang semuanya merupakan bagian penting untuk peningkatan kualitas tenaga produktif.



Diskriminasi pendidikan yang juga merupakan dampak dari budaya patriarki, menganggap pendidikan untuk kaum perempuan tidaklah penting, karena setelah perempuan menikah dia hanya sebagai ibu rumah tangga, yang pekerjaannya hanya di domestik. Sehingga presentase perempuan dalam pendidikan sangat rendah. Misalnya untuk tingkat SLTA presentase perempuan yang mengenyam pendidikan pada jenjang tersebut hanya mencapai 12,4%, lebih rendah dari laki-laki yang mencapai 16,9%. Hal serupa juga terjadi pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi, yaitu tingkat akademi dan S1 hingga S3. Untuk tingkat akademi dan S1-S3, persentase perempuan yang mengenyam jenjang pendidikan tinggi ialah 2,8%, lebih rendah dari laki-laki yang mencapai 3,7%.




Lalu apa yang harus dilakukan?


Masalah-masalah yang dihadapi perempuan saat ini sebenarnya adalah masalah yang sudah tumbuh sejak lama, namun tidak kunjung tumbang. Sudah banyak pula kalangan yang mencoba mencari jalan keluar dari permasalahan yang ada, namun sampai saat ini masih tetap saja perempuan terpenjarakan. Begitu kuatnya akar-akar kapitalis, patriarki dan feodal tertancap di tanah ini, sehigga perlu perjuangan keras untuk pembebasan perempuan. Akan tetapi, semua ini bukanlah takdir Tuhan yang tidak bisa dirubah, Kapitalisme bisa dilawan dan dikalahkan dengan persatuan massa.




Sudah saatnya kaum perempuan bangkit dan melawan segala bentuk penindasan yang dialaminya. Kita tidak bisa melupakan sejarah kita, bagaimana perempuan juga terlibat dalam perjuangan pembebasan nasional. Ketika sebelum Orde Baru ada Gerwani, satu-satunya organisasi perempuan pada masa itu. Organisasi sebagai alat para perempuan ikut berjuang melawan penjajahan. Dengan mewarisi semangat Clara Zetkin dalam merintis perjuangan perempuan, Gerwani melakukan banyak kegiatan pendidikan dan pencerahan bagi perempuan, semua itu tidak terpisahkan dari perjuangan demi kamajuan bangsa Indonesia secara keseluruhan. Namun sayangnya perjuangan perempuan melalui organisasi hilang ketika orde baru. Perempuan dibungkam dengan dibentuknya organisasi perempuan yang hanya sekedar mengkampanyekan perempuan yang baik dengan dia pandai merias dirinya, pandai memasak, yang dibentuk karena suaminya sebagai aparatur negara, dan lainnya yang justru semakin mengentalkan penindasan terhadap perempuan.



Selain melihat sejarah perjuangan perempuan pada masa sebelum Orde Baru, kita bisa melihat perjuangan perempuan di salah satu Negara di Amerika selatan, misalnya di Bolivia, ketika privatisasi air digalakkan, perempuan menjadi unsur paling dinamis dan paling maju dari gerakan sosial. Justru bukan dengan diam dengan keadaan ini semua, perempuan perlu adanya ketegasan sikap terkait kondisi yang sedang terjajah.



Menghancurkan dan merombak sistem yang ada, perlu alat perjuangan dalam hal ini adalah organisasi. Semoga bisa menjadi kesepakatan bersama bahwa adanya organisasi selain sebagai alat perlawanan, juga sebagai wujud dari kesadaran politik suatu masyarakat. Kesadaran massa untuk berorganisasi di negeri yang tanpa sadar sedang dijajah memang masih minim, apalagi kaum perempuan sebagai objek jajahan yang dominan. Dalam organisasi, kaum perempuan akan secara bersama memperjuangkan kepentngan sosial, ekonomi, dan politiknya yang selama ini selalu diabaikan dan direpresif. Apabila selama ini propaganda feodal menempatkan kaum perempuan sebagai mahluk yang lemah, tidak rasional, dan tidak mampu memimpin. Maka dalam organisasi Revolusioner, perempuan akan menemukan ruang untuk belajar, melatih diri dan berjuang bersama barisan rakyat yang tertindas.



Namun, jangan menelan mentah organisasi ini. Karena sekarang begitu banyak organisasi yang mempropagandakan perjuangan pembebasan perempuan, akan tetapi terjebak pada satu persoalan yang subjektif. Penggalian sebab-musabab penindasan perempuan yang tidak objektif dan berdampak pada penyalahan salah satu pihak. Ahirnya timbul organisasi gerakan perempuan yang berdiri karena kesadaran palsu atau tidak tepat dengan realita dan salah mengangkat senjata perjuangan.



Memang butuh ketelitian dalam memilih alat perlawanan agar tidak salah angkat senjata. Organisasi gerakan perempuan yang mampu menyadari dengan cermat landasan munculnya persoalan spesifik perempuan melihat dari latar belakang sejarah kehidupan manusia yang objektif. Karena esensi persoalan perempuan juga persoalan manusia seluruhnya. Maka Organisasi yang berkarakter kerakyatan, mandiri, demokratis,  ekologis dan feminis, yang mempunyai program perjuangan yang jelas, program ideologi yang tepat, program ekonomi politik yang dapat menjawab persoalan rakyat dan organisasi yang mampu mewadahi gerak kondisi objektiflah yang perlu dibangun sebagai alat perlawanan.





Penulis: Fullah Jumaynah (Perempuan baik ini selain aktif membuat berbagai macam artikel, dia juga terlibat dalam perjuangan pembebasan perempuan, dan menjadi Kader PEMBEBASAN Kolektif Utara Sleman).





Sumber referensi: 
http://dedisyaputra.wordpress.com/2009/04/08/keadaan-umum-kaum-perempuan-indonesia/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar