Militerisme Musuh Perempuan!
Written By PEMBEBASAN JogjaJateng on Senin, 02 Juni 2014 | 11.16
Tidak hanya patriarki yang menindas perempuan, tidak hanya kapitalis yang menghambat perkembangan perempuan, dan tidak hanya Neoliberalisme yang menyulitkan perempuan, militerisme juga melanggengkan penindasan perempuan. Selain watak militerisme yang menghalalkan segala cara dan menggunakan senjatanya sebagai alat penindas rakyat untuk mendapatkan apa yang diinginkan, tetapi militerisme juga menghambat perkembangan perempuan. Di Indonesia kaum borjuisnya bergantung kepada militerisme sehingga bisa tumbuh dan berkembang melalui berbagai kebijakan dan struktur kekuasaan tak hanya itu di Indonesia, struktur-struktur militer bisa ditemukan di kota-kota, di desa-desa maupun di kampus (melalui MENWA). Sedangkan Di eropa, tempat bagi militer adalah di daerah-daerah perbatasan untuk menjaga batas-batas kekuasaan Negara Borjuis.
Mengapa militerisme ?
Militerisme menghambat perkembangan perempuan karena militerisme menutup ruang demokrasi bagi perempuan dan masyarakat. Sebaliknya, militerisme yang menopang kekuasaan Orde Baru menutup ruang demokrasi bagi rakyat untuk berpartisipasi. Pada masa awal kekuasaannya Orde Baru menghancurkan partisipasi perempuan dengan membubarkan organisasi-organisasi perempuan, salah satunya adalah Gerakan Wanita Indonesia (GERWANI). Setelah menghancurkan Gerakan Wanita Indonesia (GERWANI), rejim orde baru kemudian menciptakan organisasi-organisasi perempuan yang baru, Dharwa Wanita– bagi istri pegawai negeri sipil, Dharma Pertiwi –bagi istri yang suaminya bekerja di salah satu cabang angkatan bersenjata. Satu organisasi lagi adalah untuk program kesejahteraan keluarga, yaitu PKK (Pembinaan Kesejahteraan Keluarga)—di luar organisasi perempuan bikinan pemerintah ada juga organisasi perempuan yang berbasis keagaman seperti Aisiyah dan Fatayat.
Semua organisasi ini, digunakan sebagai alat bagi rezim Orde Baru untuk mengontrol kehidupan kaum perempuan. Agar mudah dikontrol, ketua dari organisasi-organisasi ciptaan Orde Baru itu dipegang oleh birokrat kaki tangannya. Di tingkat desa, ketua PKK adalah istri kepada desa, di tingkat kecamatan ketuanya istri camat, di tingkat kabupaten diketuai istri bupati, di tingkat provinsi diketuai oleh istri gubernur.
Aktivitas-aktivitas organisasi perempuan hanya dibatasi dalam aktivitas yang non politis, seperti membuat taman, masak memasak, jahit menjahit, merawat anak tanpa isian politis. Bahkan paradigma yang dibangun bahwa fungsi organisasi perempuan (misalnya: Dharma wanita) adalah menyokong karier suaminya. Wanita dianggap berguna dan bermartabat apabila bisa menyokong kesuksesan suaminya. Maka, munculah pandangan kolot, yang sampai saat ini melekat di masyarakat: "setiap kesuksesan pria ada wanita yang menyokongnya." Miris!
"Orde Baru juga menghancurkan kesempatan perempuan untuk mendapatkan pengetahuan yang lebih luas, bahkan dihancurkan ingatannya pada sejarah perjuangan pembebasan perempuan sebelumnya melalui pembakaran buku-buku, materi-materi kiri maupun pemutarbalikan sejarah. Perempuan dan organisasi perempuan yang ada kehilangan kekuatan intelektualnya karena dihilangkan kaitannya dengan sejarah masa lalu dan pasokan materi ideologi-politiknya. Negara melalui berbagai aparatusnya telah melakukan tindakan pelanggaran hak asasi manusia kepada kaum perempuan." (commission)
"Militerisme melakukan penindasan lebih keji kepada kaum perempuan, mereka juga memerlihatkan kejahatan HAM dari apa yang dilakukan tentara di negeri ini, sebut saja tragedi 1965, Poso, Aceh, Timor-Timur, Talangsari, Kedung Ombo, Nipah, Marsinah, Tanjung Priok, Belangguhan, Kaca Piring, Pandega, Semanggi, Trisakti, penculikan aktivis, Tasikmalaya, Situbondo, Haur Koneng, Papua Barat, Semanggi II, Lampung, Mozes Gatotkoco, 27 Juli 1996, kerusuhan 1998 dll –biang keladinya dari semuanya hanya satu yaitu tentara. Kaum perempuan menjadi korban keganasan militer, banyak perempuan menjadi korban pembunuhan, pemukulan, pelecehan seksual, ataupun pemerkosaan. Militerisme memperlihatkan bahwa Negara melakukan kekerasan struktural yang dilegitimasi atas nama Daerah Otonomi Militer (DOM), Daerah Operasi Militer, Status Darurat, dll. Dan negara membiarkan kekerasan ini berlangsung."
(Commision) Hingga saat ini pelaku-pelaku kekerasan tersebut masih bercokol dan ikut dalam pemilu 2014 ini.
Jika Militerisme dibiarkan menguasai negeri ini maka tak hanya demokrasi yang dibungkam tapi perempuan akan sangat tertindas dan terdomestifikasi. Tetapi, keberpihakan perempuan sekarang sangat minim dalam memerjuangkan negeri ini tanpa militerisme, berbeda dengan zamannya Soekarno ada sosok perempuan revolusioner yang berjuang sampai akhir hayatnya untuk bangsa yaitu Fransisca Fanggidaej.
Siapa Fransisca Fanggidaej? Fransisca adalah perempuan revolusioner yang ikut memperjuangkan bangsa ini yang berlatar belakang borjuis birokrat, ayahnya adalah seorang pegawai tinggi pemerintah kolonial Hindia Belanda. Akan tetapi, secara keberpihakan, ia memilih berpihak pada posisi klas tertindas yang dalam hal ini adalah bangsa jajahan kolonial Hindia Belanda, yaitu Indonesia. Awalnya memang dari diskusi yang mencerahkan di rumah Geit Siwanbessy. Setelah itu Fransisca memilih bergabung dengan PESINDO, salah satu organisasi pemuda revolusioner yang berideologi kerakyatan.
Jalan revolusioner yang dipilih Fransisca memang berliku, dari mulai pengejaran terhadap dirinya dan kawan-kawan seperjuangannya pasca peristiwa Madiun oleh tentara dan para aktivis Murba. Peristiwa Madiun juga membuat dia harus kehilangan suami pertamanya yang dieksekusi mati oleh tentara. Sampai peristiwa G30S/1965, yang berakibat terpisahnya dirinya dan keluarga yang disayanginya (suami kedua dan ketujuh anaknya). Walaupun demikian, Fransisca tetap konsisten di garis perjuangan anti imperialisme, pasca G30S, dia juga sempat menghadiri sebuah konferensi di Kuba, yang resolusinya mengutuk pembantaian massal yang terjadi pasca peristiwa G30S.
Perjuangan Fransisca untuk memperjuangkan bangsa ini sangat panjang, terlihat ketika Fransisca dalam keadan hamil pun dia masih berjuang dalam peristiwa madiun, dan karena dalam keadan hamil itu juga Fransisca kemudian dibebaskan dari penjara Gladak oleh sekelompok anggota PESINDO yang berhasil selamat dari “teror putih” peristiwa Madiun dan ia juga tidak dieksekusi mati oleh tentara.
Begitupun di Kuba, ada sosok perempuan revolusioner yaitu Vilma Espin, dia mengabdikan hidupnya untuk memperjuangkan hak-hak kaum perempuan, ketika di Kuba banyak perempuan terdiskriminasi sebagai manusia, seperti di tempat lain di seluruh dunia, dengan hanya pengecualian terhadap sejumlah perempuan revolusioner yang terhormat. Dia juga mahasiswa pada saat itu yang menentang Batista melakukan kudeta. Sejak itu ia mulai bersentuhan dengan gerakan politik. Ia berkenalan dengan seorang aktivis kiri bernama Frank País. Sampai 1 Januari 1959, kediktatoran Batista berakhir. Sejak itu, Negara revolusioner Kuba berdiri. Di bawah Kuba yang baru, Vilma mendedikasikan tenaga dan keahliannya untuk kemajuan negerinya. Vilma Espín Dia adalah salah satu perempuan Kuba yang terjun dalam Revolusi Kuba.
Hal ini membuktikan bahwa perempuan juga bisa ikut berperang dan memperjuangkan hak-hak rakyat yang tertindas bahkan memimpin revolusi, kita ketahui perempuan di Indonesia dari zaman feodalisme sampai sekarang selalu mengalami penindasan. Terlihat ketika Orde Baru berkuasa perjuangan perempuan sangat alot, bahkan di masa itu perempuan mengalami dua kali penindasan yang sangat keji, di mana milterisme memerlakukan perempuan dengan semana-mena. Sampai sekarang pun watak militerisme yang selalu menghalalkan segala cara dan menggunakan senjatanya untuk melakukan apa yang dia inginkan masih kerap dilakukan, terbukti ketika mahasiswa berdemonstrasi direpresif oleh polisi, tak hanya itu ketika kaum buruh memperjuangkan hak-haknya dihadang dan dihantam oleh militerisme, ini membuktikan sisa-sisa watak Orde Baru masi melekat di miterisme sekarang.
Apa lagi dengan ditambah Narsisme politik yang sangat membosankan, di samping partai-partai yang bertarung sebagai kontestan pemilu 2014 adalah partai-partai pro modal, yang paling berbahaya adalah ancaman dari partai-partai militeristik. Sudah saya katakan di atas bagaimana watak militerisme ini, dan apa jadinya jika militerisme itu yang memimpin negeri ini? Tentu hal ini akan sangat melanggengkan penindasan perempuan. Maka dari itu sebagai perempuan yang sadar, mengajak perempuan-perempuan di manapun berada untuk menolak dan melawan militerisme sebagai jalan yang harus ditempuh, demi menjaga kebebasan!
Pena: Dwi Marta, (Saat ini aktif di PEMBEBASAN, sebagai pengurus KPP Yogyakarta).
Daftar Rujukan:
- http://www.berdikarionline.com/dunia-bergerak/20130914/vilma-espin-pejuang-perempuan-revolusioner-kuba.html
- http://www.berdikarionline.com/sisi-lain/20140216/olga-benario-kisah-hidup-seorang-perempuan-revolusioner.html
- http://koranpembebasan.wordpress.com/?s=perempuan
- http://pembebasanjogja.blogspot.com/2014/04/tolak-pemilu-borjuis-2014-lawan.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar