Pintu Rumah Dipajang Sajadah.
Written By PEMBEBASAN JogjaJateng on Senin, 16 Juni 2014 | 08.48
Bila sejarah tak diungkap dengan berani dan jujur, lantas bagaimana kita memperbaiki diri?
Oleh: Ziwenk.
Kelap bintang bersembunyi di balik awan hitam, yang menjamur di langit malam, bulan menampaki diri dengan warna redup, angin deruh menyambar setiap pintu rumah di perkampungan, Ibu-ibu menggendong anak dan menenteng secuil harta benda untuk bertahan hidup, para ayah dan pemuda desa berwajah berani melindungi diri dengan alat pentungan, malam itu semua gusar, memikirkan hiruk-pikuk malam, dalam lantunan kabar menyampaikan cuaca buruk menghampiri langit-langit kota, ruko-ruko dan jalanan.
Usiaku tak genap sepuluh tahun, saat kabar petaka menyebar di setiap sudut kota hingga ke perkampungan, peristiwa itu sudah berlalu puluhan tahun, ratusan nyawa bergelimpangan, tak terhiraukan oleh amuk massa, yang datang dari setiap gang kota membakar semua hunian, peristiwa itu menceritakan banyak tangis dan darah tertumpa di Bumi Nusantara. Mengenangnya membakar amarah, melihat sejarah, memastikan kita berada dimana?
Malam itu, masih erat tercatat di ingantanku, tentang Meimei yang meringis tangis, sementara ibunya ketakutakan tak tentu arah, dipaksa menggadaikan keyakinan demi keselamatannya, malam itu semua rumah memajang sajadah! Tragis! Tanahku bertabur pemaksaan.
Berawal dari pagi yang mendung, saat ayah datang dengan wajah kusut, kelopak matanya redup, berisyarat kesedihan, dengan duka ia melangkah masuk rumah dan berkata linglung tentang pekerjaannya. "PHK," (Pemutusan Hubungan Kerja) ucapnya sepenggal dengan geram. Ibu tak bergeming mendengar kabar sepenggal dari ayah, kakak-kakakku terlihat kebingungan dari kerut wajahnya yang mengetat, sementara ucapan ayah tadi tak dapat aku mengerti, bahasanya tak pernah aku dengar, namun wajahnya dan caranya menyampaikan kepada kami, adalah gambaran duka, yang datang bersamanya saat pagi mendung! Tak ada yang menepis sepenggal kata itu, ibu ke belakang menyiapkan air hangat, membuat secangkir teh untuk ayah yang duduk di bangku belakang rumah, memandang lapangan hijau dan sapi-sapi gemuk yang tak henti mengunyah.
Perkataan ayah pagi itu, tak pernah lagi dibahas oleh ibu dan ayah, namun berawal dari perkataannya, ayah tak lagi berangkat kerja, seperti pagi biasanya, saat aku bertanya pada ayah, kenapa ia tak pergi kerja, ia hanya menjawab sedang cuti kerja untuk berapa bulan ke depan, aku tak mengerti apa arti cuti itu, yang pasti bagiku saat tiga huruf itu keluar dari bibir ayah, seisi rumah terasa suram, ditutupi dengan wajah sabar dari ayah saat pagi tiba.
Berhari-hari setelah mendengar sepenggal ucapan dari ayah, suasana malam di desa mulai tak tentram, setiap malam ada saja kabar yang datang mengancam desaku yang terletak ratusan kilo dari ibu kota provinsi, di desaku yang hijau, dihuni berbagai macam ras dan agama, kami hidup rukun tanpa saling mengganggu, tak ada perbedaan kulit, mata dan agama membuat kami saling membenci!
Kabar-kabar angin yang berhembus duka akhirnya memuncak di suatu malam saat pak RT datang mengetuk satu persatu rumah dan menghimbau setiap warga untuk memajang sajadah di pintu rumah! Semua warga keluar dari rumahnya, termasuk kami, yang saat itu panik mendengar kekacauan yang terjadi di kota-kota besar.
Pak RT melanjutkan perjalanan dengan mengetuk pintu rumah tetanggaku, aku perhatikan gerak-geriknya dari depan rumah, pak RT dan tetanggaku beradu cekcok yang berbuntut si Meimei sahabatku menggenggam tangan ibunya dengan erat, memejamkan matanya yang tak henti mengeluarkan air mata. Sehabis mendengar kabar suram dari perkataan pak RT, tak lama kepergian pak RT ibu Meimei mendatangi ibuku dengan wajah penuh harapan, tak begitu jelas aku mendengar perbincangan mereka. Sejenak ibu meninggalkan tetanggaku, lalu keluar dari rumah membawa sajadah dan memberinya kepada ibu Meimei.
Ibu Meimei membawa sajadah itu masuk ke dalam rumahnya, sambil menuntun Meimei ke dalam rumah, lalu keluar dengan membawa lakban dan menempelkanya di atas sajadah yang dilekatkan di depan pintu rumah Meimei. Ibu Meimei yang memajang sajadah di pintu rumahnya membuat aku bingung dan tak mengerti sesungguhnya apa yang terjadi malam itu.
Gelisah bocah yang melihat keganjelan, memetik kenyataan dengan bingung, tak ada yang bertanya kenapa ibu Meimei memajang sajadah di pintu rumahnya, semua warga seakan menuruti himbauan pak RT, saat semua diam, pertanyaan keluar dari bibirku, bertanya kepada ibu yang saat itu menggedong adik bungsuku yang masih balita. "Bu, kenapa sajadah ditempel di depan rumah Meimei dan rumah kita?" Pertanyaan itu membuat aku jadi pusat perhatian keluarga, semua mata menatapku, lalu ibu membelai rambutku berkata dengan lembut, "tak ada apa-apa anakku, itu dipasang agar kita aman," ucap ibu, mendengar perkataan ibu, pikiranku yang lugu pada saat itu hanya memaklumi jawaban ibu dan juga ikut mengamini satu keganjelan di malam itu.
Malam semakin larut di desaku, namun para pemuda masih berpegangkan pentungan, mengelilingi kampung, menjaga setiap pintu masuk, simpang jalan, darmaga kecil dan sungai belakang desa juga menjadi tempat para pemuda berjaga hingga pagi tiba, seluruh warga menyambut pagi dengan kantuk yang sumiringah, karena mampu menjaga keamanan desa, memperkuat kerukunan, hingga tak ada yang terluka di malam itu, yang keesokan harinya aku dengar, ada gerombolan pemuda berbadan tegap dan berambut cepak serta para jantan yang kerjaannya mangkal di persimpangan, ingin ke desa dan mengobrak-abrik rumah Meimei dan keluarganya.
Setelah malam itu, Meimei dan keluarga jarang terlihat keluar rumah, tak seperti sore hari biasanya, kala matahari mulai redup menjelang malam, Meimei dan ibunya pasti berlatih badminton di depan rumah mereka, namun tidak untuk saat ini dan hari-hari esoknya, Meimei dan ibunya mengurung diri di dalam rumah, membangun pintu besi dan pagar yang berhias besi lancip di atasnya. Seperti berada di dalam penjara, bertahun-tahun Meimei tak pernah keluar rumah.
Saat aku duduk di sekolah menengah atas, aku bersekolah di ibu kota provinsi yang menjadi tempat kerusuhan sore hingga malam, terdengar kabar ibu kota provinsiku termasuk dari kota-kota besar yang pada Mei 1998, penuh dengan kabut asap dari pusat-pusat perbelanjaan, ruko, dan teriak tangis perempuan yang menjerit sakit bersenada di setiap gang dan ruko-ruko berpintu besi!
Walau peristiwa itu sudah cukup lama berlalu, aku tak henti mencari kesaksian sejarah, hingga aku mendapatkannya dari seorang pemuda berkepala tiga yang dekat denganku, kedekatakan kami karena memiliki hobi yang sama, mendengar musik dan suara orang bernyanyi dengan seteko susu alam di sore hari, di tempat kami menikmati susu alam, dia banyak bercerita tentang kekacauan itu, ia katakan. “Saat detik-detik pengunduran diri Soeharto, sore hari, angin deras menyelimuti kota, pabrik-pabrik sudah berhenti, para buruhnya di PHK massal, lampu-lampu kota tak menyala, ruko-ruko semua terkunci rapi, hingga malapetaka hadir di langit kota, tiba-tiba puluhan orang berlari-lari menghujat, melempari dengan batu, ruko-ruko di pinggir jalan, warga berbondong-bondong keluar gang rumahnya, diarahkan untuk menjarah ruko-ruko dan pusat-pusat perbelanjaan, semua warga yang ada saat itu di pusat-pusat perbelanjaan dan di gang belakang ruko, mengikuti arahan puluhan pemuda berbadan besar yang membongkar pintu ruko, lalu meminta seluruh warga untuk menjarahnya, dan membakar setiap barang yang berada di dalam rumah." “Sore itu abang dimana?” Tanyaku padanya. Pertanyaanku membuat dia terdiam sejenak, lalu menekan suaranya dan berkata dengan nada bersalah, “aku gerombolan warga yang keluar dari gang samping ruko,” ucapnya dengan raut wajah yang menyesal, mata berbintik kalut, saat bibir keringnya menceritakan satu persatu peristiwa kejahatan kemanusiaan.
Kami saling diam saat perkataan yang keluar darinya kami renungkan bersama, aku tak habis pikir, begitu gila manusia saat itu yang kehilangan rasa kemanusiaannya.
Tak hanya penjarahan, lebih tragis dan memiluhkan saat pemuda berkepala tiga itu menceritakan satu peristiwa yang terjadi, sambil menenggak susu alam yang sudah mulai menguning, satu persatu bait keluar piluh dari bibirnya sambil mendelipkan matanya yang sudah merah dan kelopak mata yang menghitam seperti orang yang tak pernah tidur, namun ia masih asyik bercerita sambil merontah berceloteh kisah hitam masa mudanya. “Ruko dan jutaan uang yang hilang pada saat itu tak menjadi persoalan besar bagi para penghuni ruko, namun kehilangan martabatnya sebagai manusia yang tak dihiraukan oleh para otak kerusuhan itu menjadi trauma besar bagi mereka, aku mengetahui dari tetanggaku, setelah beberapa tahun peristiwa itu berlalu, ia bercerita anak bungsunya menjadi korban kebiadaban pemuda yang berseragam rapi dan memakai penutup wajah bewarna hitam, lima orang dari mereka, tak mempedulikan jerit tangis anaknya, yang tertusuk alat kelamin pemuda rakus yang tak menghargai kemanusiaan, bajunya compang-camping, cakaran kuku berbekas di wajahnya serta kuku lentik yang dimiliki jarinya patah rapu dengan darah yang keluar dari ibu jari, anak bungsunya hingga saat ini tak pernah berani bicara, menoleh melihat jalan di depan rumah yang pada malam itu hadir pemuda-pemuda bangsat yang mencongkel pintu rumahnya, menjarah seisi rumah, dan merampok martabat ia dan keluarganya, gila aku merinding saat itu ia bercerita, memang benar kabar itu, aku juga mendengarnya dari teman-teman seusiaku pada saat itu yang juga asyik menikmati peristiwa detik-detik kejatuhan Soeharto, mereka tak bersalah, warga yang keluar dari gang itu buta pada kenyataan, kami tak mengerti apa yang sebetulnya terjadi, namun satu hal yang pasti, kami tak dapat mencari uang untuk makan, semua pada menyimpan hartanya rapat-rapat hingga kami tersisihkan! Semua tak ada yang tau sebabnya peristiwa itu, semua abu-abu, tak ada persidangan yang jelas, tentang anak bungsu tetanggaku, semua tetangga pada diam, seperti buta dan bisu, tak dapat melihat kesakitan dan menjelaskan kenyataan!” Ia ceritakan begitu panjang dengan akhir kata yang puitis hasil susu alam yang merasuk pelan-pelan mengkerangkeng kepalanya.
Cerita dari pemuda berkepala tiga itu, menutup kisahku di kota besar yang menjadi salah satu pusat kerusuhan, setelah aku menyelesaikan sekolah menengah, aku beranjak menuju pulau padi, di pulau ini aku banyak mendapati cerita dari teman-teman kelas hingga buku-buku yang membeberkan sejarah dengan berani. Banyak pelajaran yang dapat kupetik saat buku-buku yang aku baca menjelaskan persoalan yang mendasar terjadinya keganjelan pada malam itu, dimana etnis Tionghoa harus dipaksa menjadi bukan dirinya demi rasa aman yang tak dijamin negara, krisis melanda Nusantara, Soeharto mengaburkan isu tentang siapa penyebab krisis, dia tutupin tangannya yang berlumuran darah, menjadikan etnis Tionghoa sebagai kambing hitam yang menjadi sasaran amarah rakyat akibat rasa lapar dihasilkan kebijkan Soeharto yang mengeruk sumber daya alam, membuka pintu untuk para maling, memaksa rakyat bekerja dengan upah murah, hingga terjadi penumpukan barang yang tak mampu dibeli masyarakat dan perlawanan kaum muda yang tak henti memperjuangkan kebebasan memaksa Soeharto turun tahta!
Ada satu kisah yang tak ingin aku lepaskan dari deretan kata yang tersimpul dalam cerita pendek ini, tak sengaja aku melihat ibu Meimei bersama gadis jangkung, berkulit putih, hidung mancung dan bulu mata yang lentik, aku melihatnya tanpa aku sadari untuk menegur, hingga ibu Meimei dan gadis yang berjalan bersamanya menghilang dari pandanganku.
Aku tidak memiliki banyak waktu saat itu, untuk mencari ibu Meimei dan gadis jangkung yang bersamanya, karena jam keberangkatanku sudah mendekati waktunya, yang mau tak mau memaksaku untuk memasuki ruang tunggu keberangkatan.
Dalam ruang tunggu, aku perhatikan satu persatu orang yang ada, namun tak aku temukan ibu Meimei dan gadis jangkung itu. Di sela-sela aku mendengar musik, dan membaca buku yang berkaitan dengan sejarah kelam bangsaku, tak sempat aku perhatikan muncul dari mana ibu Meimei dan gadis jangkung yang bersamanya, membuatku heran tiba-tiba sudah ada dihadapanku, membawa dua koper besar dan tas sandang.
Aku dan ibu Meimei saling memandang satu sama lain, saling tatap dengan diam, diakhiri dengan senyuman ibu Meimei yang dalam pandanganku ia mengenalku dan terhentak kaget melihatku sudah menjadi pemuda seperti ini. Kami serentak saling menegur, ibu Meimei memanggilku dengan sebutan bocah harimau, (sebutan anak-anak di desaku) aku membalas sapaannya dengan panggilan Bunda, sebab dari kecil keluargaku dan keluarga Meimei sangat dekat, dan ia sering merawatku saat ibu menitipkan aku padanya.
Kami berdua bangkit dari tempat duduk, namun gadis jangkung itu masih duduk di bangkunya, ibu Meimei menjabat tanganku, bertanya dengan penuh kasih, “bagaimana kabarmu nak?” “Aku baik saja Bunda,” jawabku, lalu aku menanyakan balik kabarnya dan siapa gerangan perempuan jangkung itu, “keadaan bunda bagaimana, dan siapa gadis cantik yang bersama bunda ini?” Tanyaku berdesir malu.
Ibu Meimei tak lansung menjawab pertanyaanku, ia memangil gadis jangkung itu untuk berdiri bersama kami di tengah tempat duduk ruang tunggu, “anak harimau, ini Meimei, sahabat kecilmu, tentu kau tak lupa setelah Meimei bermain badminto dengan bunda, kalian bermain kelereng, berbuntut tangisan Meimei yang kehilangan kelerengnya, Mei ini tetangga kita di kampung dulu, yang bandel dan sering mengerjain kamu kalau kita bermain badminton di depan rumah.” Lanjut ibu Meimei mengingatkan kami berdua tentang masa kecil di kampung halaman.
Mendengar ucapan ibu Meimei, aku bersemi malu, begitu juga Meimei yang terlihat dari pipi putihnya memerah, kami saling berjabat tangan dan saling bertanya kabar, lalu ibu Meimei meminta kami duduk, dan ia permisi meninggalkan kami sebentar untuk membeli kopi di luar ruang tunggu. Aku memulai percakapan, bertanya kepada Meimei teka teki selama ini, tentang keberadaan Meimei dan keluarga setelah keganjelan malam itu, Meimei tidak menjawab lansung pertanyaanku, ucapanku mala membuatnya menundukan kepala, lalu menegakkannya dengan hiasan mata yang sembab, ia katakan dengan tertatih-tatih, saat-saat menebarkan ia dan keluarganya. “Setelah malam petaka itu terjadi di kota-kota besar hingga ancaman bahaya sampai ke perkampungan, kami sekeluarga merasa tidak aman bila keluar rumah, dan memagari rumah dengan pagar besi, untuk menghindari malapetaka yang menumbalkan kami, lalu ibu dan ayah memintaku untuk tinggal dengan adik ibu yang berada di pulau Borneo, disana aku tinggal di pemukiman yang mayoritas etnis Tionghoa, disana kami mendapati kebebasan dan kehidupan yang saling menghormati tanpa pandang warna kulit, mata dan agama, hari ini aku dan ibu ingin kembali kesana, sehabis menjumpai seluruh keluarga yang ada di kota ini, setelah begitu lama kami tak jumpa, rasa haru menyelimuti pertemuan ibu dan keluarga yang terpisah bertahun-tahun.” Jawab Meimei, sambil menegakkan kepalanya, menunjukan bahwa ia dan keluarga cukup tegar menghadapi persoalan yang bukan datang darinya.
Mendengar cerita panjang dari Meimei aku hanya menjawab sederhana, untuk menjelaskan kepadanya apa yang aku tau tentang malam petaka itu. “Betul Mei, malam itu kau dan keluargamu menjadi tumbal dari persoalan kekuasaan yang ada, kau dan keluargamu dituduhkan sebagai penyebab masalah dari krisis yang melanda negeri kita, jika kau percaya, tak ada satupun yang mempunyai niat untuk mengancam kau dan keluarga, serta membakar ruko-ruko di kota, tanpa provokasi dari gerombolan pemuda berbadan tegap yang terorganisir, mereka menjadikan kau dan keluargamu sebagai penyebab kesengsaraan, lalu menyembunyikan kesalahannya dengan menculik, membunuh, memfitnah rakyatnya sendiri!”
Meimei hanya termenung mendengar ucapanku yang juga menggugat kejahatan kemanusiaan yang terjadi, di sela-sela kami saling diam, ibu Meimei menghampiri kami dengan membawa tiga gelas kopi lalu duduk di tengah kami.
Ibu Meimei bertanya tentang pendidikanku, dan kakak-kakaku serta keluarga lainnya, sambil bercanda gurau menceritakan canda tawa kami di sore hari, saat Meimei dan ibunya bermain badminton lalu aku datang sebagai pengganggu mengajak Meimei bermain kelereng.
“Anak harimau, pesawat kami sudah siap berangkat, kami duluan meninggalkan kota ini, kau hati-hati, di pulau yang menjadi pusat ilmu itu, dan sampaikan salam bunda dengan ibu mu.” Ucap ibu Meimei setelah melihat detik jam berputar.
Meimei menjabat kembali tanganku, dan meminta nomer HP, serta alamat email. Alamat email dan nomer HP yang aku punya aku beri ke dia, lalu ia berkata seperti denting piano, menari lembut di telinga dan angan, “nomer HP dan alamat Email yang kau beri, mungkin akan mengurangi rasa rindunku yang bertahun-tahun tidak bertemu denganmu.”
“Ia Mei, kita akan sering berhubungan, bertukar pikiran, bercanda gurau kala anak –anak dulu.” Mendengar jawabanku, Meimei tersenyum dan berkata, “ya, kau masih ingat kelereng bewarna susuh putih bergaris merah dan hijau milikmu yang kau beri saat aku menangis karena kehabisan kelereng, sebab kau mengalahkanku dalam permainan dan tak memberi ruang untukku memenangkan kelereng yang kau punya. kelereng itu masih aku simpan, dan aku bawa kemanapun untuk menghilangkan rasa takutku!" Aku girang mendengar perkataannya hingga memotong Meimei bicara dengan mengatakan, "kisah kita di masa lalu tak mungkin aku lupa, kau simpan kelerengku, jika kelak kita berjumpa, aku akan meminta kau dan kelereng itu untuk tinggal bersamaku tanpa rasa takut." Meimei kembali tersenyum mendengar ucapanku, lalu ia lanjut bicara, "aku akan hubungi kau, dan satu yang ingin aku katakan, aku berterima kasih dengan kau dan keluarga, yang sudah meminjamkan kami sajadah sebagai penjamin rasa aman saat malam petaka itu, dan kami sekeluarga tidak menuntut pada siapapun kecuali penguasa pada saat itu harus bertanggung jawab terhadap kekacauan yang terjadi. Untuk permintaanmu kelak kalau kita berjumpa, aku akan mempertimbangkannya, namun kau harus tau, tak ada orang yang ingin hidup berteman rasa takut!" Ucapan indahnya keluar bersama wajah yang tersenyum, bibir tipis yang ia miliki mengurai kata dengan manis.
Setelah mengucapi kata-kata perpisahan, bunda dan Meimei beranjak meninggalkanku dengan senyuman yang dilepas dengan tenang oleh perempuan jangkung itu, menggelitik hasratku.
Meimei meninggalkanku kembali setelah bertahun-tahun tak ketemu, pertemuan singkat tadi belum mampu menghilangkan rasa rindu kepadanya yang sudah sejak lama tertanam di hidupku. Selama ini aku tak ingin menyerah mencari tau penyebab dan akibat dari kekacauan malam itu, kekacauan itu membuatku melepaskan Meimei sahabat kecilku yang baik.
Lantunan nyanyian di dalam hati, gugatan mengenang kekejian penguasa, mengatarkan pandanganku melihat Meimei yang beranjak menjauh dariku. “Menjadi manusia seharusnya menghargai manusia lainnya, itu sudah hukum alam yang tak dapat dimanipulasi jika tak ingin adanya perlawanan rakyat. Saling menghargai sesama manusia, yang sudah diajarkan oleh nenek moyang, harus dikembalikan kepada masyarakat agar menjadi kebiasaan! Betapa indah kehidupan tanpa saling menindas, satu sama lain, antar manusia dapat bergotong-royong, tak hanya selogan di dalam kitab suci, namun menjadi budaya mendasar kemajuan kita sebagai manusia. Tentu keindahan tak jatuh dari langit, ia harus direbut dengan perjuangan!” Tutupku di hati.
*Kader PEMBEBASAN.
Refrensi Gambar:
Mbah Google!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar