wawuwalik79

>

Senin, 09 Februari 2015

Perempuan Dipertengahan Zaman Kapitalisme ( Reailitas Corak Hidup Perempuan Modern )

PEREMPUAN DI PERTENGAHAN ZAMAN KAPITALISME (Realitas Corak Hidup Perempuan Modern)

Written By PEMBEBASAN JogjaJateng on Rabu, 19 Februari 2014 | 07.14



Oleh: Kawan Erwin (Pembebasan Kolektif Tengah Yogyakarta).



Sebelum era modern, kaum perempuan tidak memiliki gaya hidupseperti: beraktivitas di luar rumah penuh dandan, memamerkan pesona dan kecantikan, melepaskan diri dari nilai-nilai luhur akhlak terpuji, dari tata krama, dari ikatan keluarga serta agama. Sebelum adanya revolusi industri terjadi.Dewasa ini kaum laki-laki banyak memandang rendah kaum perempuan, perempuan dianggap penuh kekurangan. Padahal kehormatan itu adalah penghargaan yang seharusnya dijaga oleh setiap manusia. Telah dimaklumi bahwa sex bebas diharamkan oleh agama manapun itu. Kita tidak akan menemukan masyarakat manapun yang tidak mengutamakan akhlak terpuji, sekalipun tidak beragama islam yang tidak mengharamkan sex bebas.



Pada sejarahnya di Eropa berada dalam cengkraman gereja dan hukum pendeta yang telah menyimpang dari ajaran nasrani dan menggonta-gantinya. Akan tetapi kesewenang-wenangan dan sikap tirani para pendeta melahirkan kebencian terhadap gereja dan tokoh-tokoh agama dalam diri orang Eropa pada masa itu.Ketika terjadi revolusi Prancis, Barat memberanguskan agama, mengeksekusi para pendeta yang menyimpang. Naasnya di antara perkara yang mereka tumpas adalah aturan penjagaan standar kesucian dan perlindungan kepada perempuan.



Maka para perempuan pun keluar meninggalkan benteng yang sebelumnya melindungi mereka dari setan-setan dan segala tipu dayanya, selanjutnya melepaskan dirinya dari segala ikatan akhlak dan tatanan keluarga. Ini merupakan salah satu penyebab terjadinya revolusi industri.



Seiring dengan revolusi industri, kebanyakan para laki-laki dari desa hijrah ke kota mengais rezeki, mengadu untuk membangun kehidupan yang lebih baik. Banyak kaum perempuan yang ditinggalkan oleh suami, ada pula dari kaum perempuan yang akhirnya mereka ikut hijrah ke kota dengan alasan yang sama. Di sinilah kesempatan para pemilik modal mengeksploitasi kaum perempuan-perempuan dan laki-laki untuk dipekerjakan menjadi buruh di pabrik-pabrik, sampai akhirnya mereka menyerah kepada tuntutan kebutuhan ekonomi, kaum perempuanlah yang rela bekerja dengan sepenuh gaji laki-laki dengan beban pekerjaan yang sama. Pada saat-saat seperti itulah perempuan mendapati dirinya tertindas, merasa jauh dari keluarga di desa dalam mempertahankan hidupya seorang diri, karena masing-masing disibukan dengan dinamika kehidupan kota.



Perempuan hidup berusaha dengan bekerja seorang diri menjalani hari-hari sebatang kara, berusaha mandiri menopang hidupnya sendiri, berusaha memenuhi kebutuhan mereka dengan usaha sendiri, termasuk kebutuhan terhadap laki-laki yang akan melindungi dan akan menjaganya, serta memuaskan keinginan-keinginanya terhadap kekasihnya atau suaminya. Namun dengan kondisi persaingan dan mobilitas kehidupan perkotaan yang semakin panas dan persaingan semakin ketat serta kebutuhan hidup sehari-hari semakin tinggi, hal ini membuat perempuan jarang mendapatkan kasih sayang dari seorang lelaki yang tulus dan utuh, laki-laki yang akan menjadi miliknya dan ingin memilikinya seutuhnya.



Sehingga untuk  mendapatkan kekasih atau suami seperti yang diharapkan setiap perempuan semakin sulit, ditambah lagi dengan biaya pernikahan yang semakin membuat para laki-laki merasa terbebani. Sementara itu pergaulan laki-laki dan perempuan yang nyaris tanpa batas mereka jalani di tempat-tempat kerja, sehingga mereka pun terperangkap pada pola pergaulan dan pergaulan yang merendahkan martabat dan derajat serta kehormatan perempuan, perempuan sudah tidak sungkan mencari dan bergonta-ganti kekasih atau pasangan sesukanya. Situasi ini diperparah lagi dengan ketiadaan undang-undang yang tegas melarang atau menghukum hal tersebut.



Selain para kaum perempuan yang bekerja dengan cara tersebut, banyaknya terdapat kelompok perempuan lain yang tidak mendapatkan pekerjaan yang jelas. Dalam situasi itulah membuka pintu kesempatan para pemilik modal mengeksploitasi para perempuan yang menganggur itu ke tempat prostitusi, pembantu rumah tangga, serta dijadikan buruh lainnya dengan gaji yang sangat rendah. Maka hal ini menjadi faktor lain yang merusak perempuan di perkotaan yang semakin modern.



Waktu terus berlalu, perempuan betul-betul melepaskan diri dari ikatan agama, tuntutan akhlak dari tatanan keluarga. Sudah menjadi suatu kelumrahan seorang perempuan meninggalkan rumah dari desa ke kota (urbanisasi). Dia berhak bergaul dengan siapa saja yang dikehendakinya, keluarga bahkan siapa pun tidak berhak melarang. Bahkan dia dapat mengadukan dan menuntut orang tuanya ke pengadilan jika menghambat atau membatasi kebebasan pribadinya (HAM). Dalam hal ini kebebasan untuk mencari dan memiliki kekasih. 



Sesungguhnya dia telah tertipu dengan apa yang dia dapatkan, keleluasan dan kebebasan yang hanya menyenangkan egonya semata tanpa ada landasan ideologis yang baik dan benar. Dia telah menganggap memiliki dirinya sendiri, dia menyangka telah mendapatkan haknya yang terampas, sekarang dia dapat pergi sesuka hati, terlepas dari segala ikatan, dapat melakukan apa saja yang dia kehendakinya. Lalu apa hasilnya ?



Perempuan dapat berbuat sesuka hati, berinteraksi sama siapapun yang disukainya, berkomunikasi dengan siapapun karena didukung kemajuan teknologi yang amat pesat warna-warni kemajuan perkembanganya. Kemudian tanpa dia sadari para lelaki pun mengeksploitasinya untuk kepuasan syahwat mereka, menjadikannya sebagai umpan dan daya tarik dalam film-film, iklan-iklan, majalah-majalah, model, tempat-tempat prostitusi dan semacamnya. Dewasa ini kaum perempuan sangat rentan menjadi korban pelecehan dan kekerasan, kasus pemerkosaan merajalela bahkan dari keluarga mereka sendiri.



Sering pemilik modal menjadikan hubungan intim sebagai syarat untuk mendapatkan pekerjaan, perempuan sering menjadi korban penculikan, perampokan, bahkan sampai pada pembunuhan. Sementara itu dia tidak mendapatkan perlindungan dan penjagaan kecuali dari undang-undang yang memiliki banyak celahnya itu. Dengan cara apa pun kita memandang realitas, perempuan akan menyebabkan hati kita bersedih dan sakit karena ketamakan dan kezaliman manusia pemilik modal dan sistem negara yang tidak tegas melindungi hak-hak perempuan. Secara lahir mereka bebas, akan tetapi pada hakekatnya mereka terbelenggu. Mereka hanya keluar dari ikatan kebebasannya lalu masuk ke dalam perangkap dan belenggu kehinaan dan kenistaan. Kemiskinan dan buta huruf pun merajalela.



Ikatan aturan dalam sistem pemilik modal sangat identik dengan perbuatan tercela, setiap manusia harusnya memiliki batasan-batasan yang mengatur perilaku dan tindak-tanduknya, melindungi dirinya dari sifat-sifat dan kecenderungan negatif dirinya, dari hawa nafsunya manusia-manusia di sekitarnya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar