wawuwalik79

>

Senin, 09 Februari 2015

Perempuan Dalam Belenggu Neoliberalisme

Perempuan Dalam Belenggu Neoliberalisme

Written By PEMBEBASAN JogjaJateng on Minggu, 05 Januari 2014 | 05.46





Oleh: Dwi marta.*


Kritisnya kondisi perempuan sama artinya dengan ambruknya bangunan masyarakat dan Negara. Sementara kaum perempuan Indonesia, yang menempati lebih dari separuh populasi, masih merupakan korban dari berbagai belenggu sosial, ekonomi, dan politik di negeri ini. Artinya, bila kemerdekaan dianggap sebagai pembebasan rakyat dari segala bentuk belenggu (ekonomi, politik, dan sosial budaya), maka sebagaian besar perempuan Indonesia belum merdeka. Sebab, belenggu sosial, ekonomi, dan politik itu masih menyisakan ruang bagi terjajahnya kaum perempuan.



Pada akhir abad 19, ketika Kartini muncul sebagai salah satu perempuan progresif di Hindia Belanda (Indonesia), musuh utama bagi kaum perempuan adalah sistem sosial patriarki dan kolonialisme. Ketika itu, kedua belenggu ini menjelma sebagai kekuatan besar yang menghisap dan menindas perempuan. Sekarang ini, bagi gerakan feminis di berbagai belahan dunia, neoliberalisme dipandang sebagai rezim baru yang menindas perempuan. Neoliberalisme, yang oleh banyak orang dikatakan kapitalisme tanpa sarung tangan, sangat agresif dalam menempatkan perempuan sebagai tenaga kerja ber-upah murah, hingga menjadikan perempuan sebagai komoditi yang diperdagangkan.



Sementara itu, bagi sejumlah gerakan feminis di dunia ketiga, neoliberalisme dianggap sebagai ekspresi penjajahan di era modern. Penyebabnya, menurut mereka, neoliberalisme telah merampas segala sumber daya potensial, dan karenanya, tidak menyisakan sedikitpun bagi perempuan dan generasi mendatang.Akibat Perdagangan dan Investasi.



Kepatuhan Rezim SBY untuk mencabut kuota produk perdagangan, mengakibatkan penutupan pabrik –khususnya manufaktur– yang buruhnya mayoritas perempuan menjadi pengangguran. Ancaman krisis ekonomi semakin nyata seiring dengan disahkannya UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal Asing (PMA), yang memberikan kemudahan bagi investor untuk memberlakukan sistem outsourching, penghapusan hak-hak normatif, serta kemudahan pemindahan aset dan bisnis (relokasi), dan pemberlakuan status lajang bagi buruh perempuan.



Sebagai tenaga kerja outsourcing, buruh perempuan tidak akan mendapatkan tunjangan melahirkan. Buruh perempuan diasumsikan berstatus lajang, agar tidak memperoleh jaminan sosial keluarga. Contohnya, buruh perempuan yang berusia 40 tahun merupakan target utama PHK untuk digantikan buruh yang baru lulus dari SMP, SMU dan masih lajang, dan ini akan mengakibatkan pengangguran bagi para perempuan semakin banyak.



Akibat Penghapusan Subsidi. Dalam rangka kebijakan fiskal ketat, dilakukan pencabutan subsidi terhadap pelayanan kesehatan, pendidikan, dan BBM serta bahan pokok pangan. Kebijakan ini mengakibatkan anggaran untuk Bidan Desa dan obat-obatan dicabut sehingga layanan kesehatan menjadi mahal. Kenaikan harga BBM dan gas telah memberikan efek domino terhadap naiknya harga bahan pokok pangan dan biaya transportasi. Kenaikan ini tentu diikuti oleh harga susu formula untuk bayi, harga pakaian, biaya pendidikan melonjak tinggi. Padahal keseluruhan elemen ini merupakan kebutuhan dasar rakyat demi kelangsungan hidup masyarakat yang akhirnya diurus dan ditanggung oleh perempuan (ibu rumah tangga).



Privatisasi. Dalam rangka liberalisasi perdagangan, Pusat Kesehatan Masyarakat (PUSKESMAS), sekolah, PLN, perusahaan air, yakni sektor yang menyangkut pemenuhan kebutuhan dasar diswastanisasi. Privatisasi Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dan Puskesmas yang diharuskan berkontribusi mengisi kas daerah untuk Pendapatan Asli Daerah (PAD), mengakibatkan perempuan miskin diwajibkan membayar. Kebijakan Asuransi Kesehatan bagi orang Miskin (Askeskin) dan Kartu Keluarga Miskin (Gakin) juga belum bisa memberi layanan, apalagi ketentuannya sangat diskriminatif karena pembagian kartu ini berdasarkan kedudukan sebagai warga tetap, yang harus memiliki kartu keluarga.



Kondisi ini pada akhirnya menurunkan kualitas kesehatan perempuan dan anak, meningkatkan angka kematian balita dan anak, termasuk meningkatnya angka kematian ibu melahirkan. Sekitar 19.000 perempuan Indonesia meninggal setiap tahunnya akibat komplikasi di saat kehamilan dan persalinan. Tegasnya, setiap ½ jam ada seorang ibu yang  meninggal karena terkait dengan proses kehamilan, persalinan dan pasca persalinannya. 



Kebijakan yang di keluarkan pemerintah melalui regulasi anti rakyat (UU PT-UKT) melegalkan privatisasi di sektor pendidikan yang mengakibatkan tingginya biaya pendidikan. Sehingga kesempatan anak- anak untuk memperoleh pendidikan lebih tinggi dari pendidikan dasar dan menengah menjadi sangat kecil, terutama anak-anak perempuan. Masih terdapat sekitar 10 persen buta huruf di kalangan anak-anak perempuan di pedesaan. Masih terdapat anak perempuan dikawinkan pada usia dini untuk meringankan beban keluarga atau membayar utang keluarga. Ada banyak dari mereka yang dipermadukan (korban poligini). Anak-anak perempuan ini pada akhirnya bekerja sebagai pekerja rumah tangga yang jumlah mencapai 688.132 jiwa atau 34.82 persen dari jumlah total 2.593.399 jiwa Pekerja Rumah Tangga (PRT) yang tersebar di seluruh Indonesia.



Beberapa kaum feminis berpendapat bahwa perempuan terkena dampak neoliberal lebih keras dibanding laki-laki. Dengan alasan  pertama, perempuan sangat lemah aksesnya terhadap sumber daya ekonomi, akibat masih bercokolnya sistem patriarki, sehingga mereka begitu bergantung kepada negara. Ketika negara menghapus peran sosialnya, maka perempuan akan mendapatkan dampak cukup jauh. Kedua, sekarang ini perempuan masih mengalami penindasan berlapis; patriarkhi dan kapitalisme, karena hal itu, perempuan sangat bergantung kepada perlindungan negara, dan adanya sebuah regulator yang berpihak kepada perempuan, terutama perempuan pekerja.



Di Indonesia, misalnya, potret kemiskinan memperlihatkan bahwa kaum perempuan masih menempati kelompok sosial paling miskin di Indonesia, mengutip studi ADB (2005), mencapai 70%. Sementara, kaum perempuan yang tidak tertampung dalam industri dimobilisasi menjadi buruh tani dan buruh kebun (69,32% dari 47,67% tenaga kerja di pedesaan), buruh migran (71.433). Sementara itu, jumlah perempuan Indonesia yang terseret pada perdagangan (tracficking) dan bisnis pelacuran mencapai 650 ribu hingga satu juta orang per-tahun.



Akan tetapi Neoliberalisme bukanlah takdir dari Tuhan yang tidak bisa dirubah, Neoliberalisme bisa kita lawan dan dikalahkan dengan kita bersatu, sama–sama menentang system keserakahan ini. Di negara tetangga kita misalnya, Papua New Guinea, perempuan berada di garis depan perjuangan melawan swastanisasi tanah dan reformasi pendidikan, yang dianjurkan oleh IMF dan Bank Dunia. Di Bolivia, ketika privatisasi air digalakkan, perempuan menjadi unsur paling dinamis dan paling maju dari gerakan sosial. Ini merupakan tantangan bagi kita semua untuk  meyakinkan mayoritas perempuan, utamanya kalangan perempuan miskin, bahwa musuh terbesar mereka sekarang ini adalah sistem neoliberalisme.


Hambatan lainnya, perempuan harus sanggup menyakinkan gerakan sosial lainnya, seperti gerakan buruh, petani, rakyat miskin perkotaan, mahasiswa, masyarakat adat, gerakan lingkungan, dan sebagainya untuk bersatu menghadapi neoliberalisme, bahwa sesungguhnya kaum perempuan mempunyai kekuatan yang besar untuk melawannya. 


Salam pembebasan manusia. 




*(Ketua PEMBEBASAN Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta).


Keterangan gambar : Ata bu.


Daftar referensi:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar