wawuwalik79

>

Senin, 09 Februari 2015

Perspektif Pembebasan Perempuan Terhadap Pemilu Borjuis 2014

Perspektif Pembebasan Perempuan Terhadap Pemilu Borjuis 2014

Written By PEMBEBASAN JogjaJateng on Senin, 14 April 2014 | 01.27


Eksploitasi kelas dan penindasan seksual terhadap perempuan muncul bersamaan dengan tujuan  melayani kepentingan system kepemilikan pribadi dan itu berlaku hingga saat ini (sistem Kapitalisme), Engels.




Dalam hitungan beberapa hari ke depan ada dua momentum besar politik nasional partai-partai dan elit borjuis yang sangat penting untuk dianalisa agar diketahui ke arah manakah kecenderungan pengaruh kemenangan kekuatan politik partai dan elit borjuisnya terhadap kehidupan rakyat Indonesia, sehingga elemen pelopor gerakan politik memiliki suatu pegangan sebagai landasan kepentingan berjuang melawan secara kritis dan analitik terhadap politik Pemilu borjuis. Melawan dengan semangat militansi yang tahan lama dan kokoh di periode sejarah perjuangan yang panjang di masa mendatang dalam kerangka kerja pembangunansuatu program kekuatan politik alternatif rakyat. Momentum politik tersebut adalah pesta politik suara segelintir elit borjuis dalam bingkai demokrasi prosedural yaitu Pemilihan Umum Legislatif  di 9 April dan Pemilihan Umum Presiden di 9 juli 2014 nanti.



Di bawah demokrasi prosedural segala aturan hukum diproduksi menurut mekanisme keterwakilan di dalam parlemen. Sementara produk hukum dari parlemen  merupakan suatu bentuk ekspresi dari watak partai-partai dan elit partai borjuis yang ada di dalam system parlemen tersebut yang sangat pro terhadap system ekonomi kapitalisme yang sudah barang tentu berkonsekuensi pada penghancuran seluruh sumber penghidupan rakyat terutama kaum perempuan yang hidup di bawah garis kemiskinan. Karenanya demokrasi prosedural tidak memberikan manfaat yang signifikan bagi perkembangan sumber daya manusia dan  lingkungan hidupnya.



Dalam sejarah pemilu pertama kali di Indonesia 1955, perempuan bukan hanya punya hak pilih dan memilih, tetapi bahkan ada partai perempuan yang turutbertarung, yakni Partai Wanita Indonesia/Partai Wanita Rakjat. Dalam pemilu itu, ada 19 perempuan yang terpilih sebagai anggota parlemen (DPR): 4 dari PNI, 4 dari Masyumi, 5 dari NU, 5 dari PKI, dan 1 dari PSI. Dalam pemilihan umum pada tahun 1955 tersebut, 6,5 persen dari anggota parlemen adalah perempuan. Kemudian, representasi perempuan Indonesia di parlemen mengalami pasang surut, dan mencapai angka tertinggi sebesar 13,0 persen pada tahun 1987 di bawah kekuasaan rezim Soeharto.



Sejak pasca reformasi hingga sekarang ini, keterwakilan perempuan di parlemen terus mengalami kenaikan pada pemilu 1999, ada 45 perempuan yang berhasil sebagai anggota DPR. Lalu, pada tahun 2004, jumlahnya menjadi 65 orang. Dan pada pemilu 2009 lalu, ada 103 perwakilan perempuan yang berhasil duduk sebagai anggota DPR. Di tahun 2014 sekarang dari 6.607 caleg yang akan bertarung untuk merebut kursi DPR RI, sebanyak 2.467 di antaranya adalah caleg perempuan, akan tetapi representasi kelas mereka lebih tinggi persentasenya dari kelas pengusaha dan swasta, sebagaimana hasil survey data oleh Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), sebanyak 41,9% caleg perempuan berasal dari latar-belakang pengusaha dan swasta. Sementara yang berasal dari latar-belakang aktivis hanya berjumlah 3,3% semisal Nuraini Hilir, aktivis perempuan yang maju sebagai Caleg melalui PDI Perjuangan yang juga mantan aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD) era 1997-1998. Saat ini, jumlah perempuan yang duduk di kursi parlemen hanya mencapai 8,8 persen dari seluruh anggota perwakilan terpilih.



Di bawah pengaruh kooptasi sistem kapitalisme, perempuan-perempuan yang menang dalam Pemilihan legislative sekalipun justru tidak akan mampu  memberikan energi pembebasan terhadap rakyat terutama terhadap kaum perempuan itu sendiri. Dalam kenyataannya demokrasi prosedural hanya dijadikan instrument klas oleh segelintir elit partai yang berkuasa di dalam  parlemen untuk meloloskan segala macam kepentingan partai dan kelasnya, dan lebih membahayakan lagi adalah menerima proyek kapitalisme masuk ke dalam negeri Indonesia.



Pengaruh Kapitalisme terhadap system demokrasi Indonesia saat ini yang sudah berumur 16 tahun sama sekali belum memberikan kontribusi konkrit terhadap kesejahteraan kaum perempuan. Demokrasi hanya dikembangkan sebatas bentuknya yang paling formal, semacam mengisi politik  kuota kursi 30 persen di dalam  parlemen atau memperjuangkan  produk undang-undang atau aturan perlindungan terhadap kaum perempuan sebagai tameng legal, misalnya dari maraknya perda-perda Syariah atau Perda yang mendiskriminasi perempuan, seperti di Aceh yang masih mengabdikan praktek akumulasi modal.



Tidak ada tempat bagi partisipasi rakyat dan kaum perempuan yang melawan kehendak modal. Kapitalisme, dalam bentuk tertingginya yakni penjajahan modal asing (imperialisme), lewat proyek globalisasi (neoliberalisme) saat ini, adalah penghambat utama kesetaraan sejati kaum perempuan di seluruh dunia, khususnya kaum perempuan di negeri-negeri miskin (dunia ketiga) yang terjajah secara ekonomi. Di negeri-negeri miskin, hanya segelintir perempuan kelas atas yang berpengetahuan dan bisa bersekolah hingga Perguruan Tinggi, mayoritas lainnya merupakan penderita buta huruf paling tinggi; berpendidikan rendah; hingga rentan terhadap pekerjaan-pekerjaan tidak produktif dan tidak bermartabat.



Proyek kapitalisme tersebut lahir dalam bentuk program-program semacam Penyesuaian Struktural (SAP’s), Konsensus Washington, atau yang dilahirkan oleh desakan pemerintah negeri-negeri maju (utamanya Amerika Serikat/AS), dan Bank Dunia (WB), Dana Moneter Internasional (IMF), yang pada inti logikanya adalah menghendaki liberalisasi/dibukanya pasar negeri-negeri dunia ketiga terhadap komoditi barang dan jasa perusahaan-perusahaan kapitalis internasional negeri-negeri maju; dibebaskannya perusahaan-perusahaan tersebut menguasai berbagai sumber daya alam (bahan mentah) negeri-negeri dunia ketiga.



Sehingga  milyaran dolar keuntungan per hari yang dibawa pulang oleh PT. Freeport dan PT. Exxon Mobile dari tanah Indonesia, bersih dari tanggung jawab untuk membebaskan kaum perempuan Indonesia dari buta huruf; menyediakan lapangan kerja produktif lewat industrialisasi; perumahan yang layak; akses kesehatan yang modern untuk  menanggulangi segala penyakit. Demikian pula milyaran dolar per hari yang dibawa pulang secara bebas oleh Nestle, Unilever, Toyota, Suzuki, Nokia, Danone, Sony Erricsson, ke kantung-kantung para pemiliknya di kampong halamannya  di Amerika Serikat, Jepang, Belanda, Perancis, Jerman, Inggris, yang merupakan negeri-negeri tempat perputaran modal terbesar di dunia.



Karena itulah negeri-negeri itu dinamakan negeri-negeri maju, atau negeri dunia pertama, dengan pendapatan per-kapital rakyatnya jauh di atas 2 dolar/hari, sementara negeri-negeri seperti Indonesia disebut negeri miskin atau dunia ketiga, dengan pendapatan riil per-kapita rakyatnya jauh di bawah 2 dolar perhari.



Oleh sebab itu juga, tidak seperti kaum perempuan di negeri-negeri miskin, kaum perempuan di negeri maju secara politik memiliki syarat untuk dapat lebih maju lagi. Terbukti dengan meningkatnya peran mereka di bidang politik, profesional, maupun akademik dewasa ini (itupun masih timpang jika dibandingkan dengan jumlah seluruh perempuan).



Secara historis, syarat tersebut bisa terpenuhi akibat anarkisme ekonomi kapitalisme pasca perang Dunia ke-2 yang membutuhkan penambahan jumlah tenaga kerja perempuan (walaupun dengan upah yang tidak sama dengan laki-laki, peningkatan karir yang lebih sulit, dan PHK yang lebih mudah), sehingga banyak kaum perempuan diharuskan keluar dari wilayah domestik. Sejak itu pula akses terhadap pendidikan, pengetahuan, serta lapangan pekerjaan terbuka, membuat mereka memiliki kapasitas untuk menjadi lebih setara secara formal.



System kapitalisme semakin mengkiamatkan rakyat terutama kaum perempuan Indonesia. Sebanyak 600 juta kaum perempuan dalam keadaan buta huruf. Setiap tahun tak kurang dari 800.000 orang diperdagangkan dan dieksploitasi secara seksual ke luar negeri, dan 80 persennya adalah kaum muda perempuan. Di tengah kemajuan teknologi reproduksi dan pengobatan di dunia saat ini, tak kurang 500.000 kaum perempuan justru mati melahirkan setiap tahunnya, dan 8 juta lebih menderita sakit jangka panjang akibat komplikasi kehamilan. Sementara sekitar 100 juta kaum muda perempuan di negeri dunia ketiga, yang dalam 10 tahun ke depan, akan menikah sebelum usia 18 tahun. Sehingga, setiap tahun, 14 juta remaja perempuan yang berpotensi melahirkan, berkonsekuensi meninggal, terkait komplikasi kehamilan yang resikonya 2 hingga 5 kali lebih tinggi dibanding perempuan berusia dua puluhan.



Sementara untuk  menuju kesetaraan formal di seluruh sektor publik pun, kaum perempuan di negeri-negeri miskin harus  berjuang keras  untuk mendapatkannya. Karena syarat-syarat utama kemajuan tenaga produktif seperti akses atas pendidikan, kesehatan, dan lapangan pekerjaan, menjadi semakin sulit terpenuhi jika sebagian besar anggaran negara digunakan untuk membayar hutang luar negeri. Belum lagi akses terhadap kesehatan, pendidikan, air bersih, telekomunikasi (sebagai sumber informasi), bahkan sumber makanan sehat, menjadi semakin mahal akibat liberalisasi dan privatisasi yang lebih banyak apalagi di bawah kekuasaan seorang  Presiden Megawati sebagai wakil dari  kaum Perempuan pada waktu itu; usaha-usaha menengah-kecil hancur  akibat masuknya barang-barang asing; dan akibat liberalisasi keuangan, lalu lalang arus modal spekulatif lintas negara, terbebas dari tanggung jawab untuk membangun sektor-sektor produktif, sumber lapangan pekerjaan di suatu negeri. Di tengah situasi ini kesetaraan hanya menjadi ilusi di segala pidato para elit partai borjuis saja.



Di negeri miskin seperti Indonesia, kesetaraan yang diperoleh lewat jalur formal untuk perempuan di berbagai bidang hanya mampu dijangkau oleh segelintir elit perempuan (umumnya berasal dari keluarga kapitalis dalam negeri dan sebagian klas menengah). Sementara mayoritas lainnya harus berjuang mati-matian untuk sekadar bertahan hidup dari kemiskinan akibat penjajahan modal asing. Kaum perempuan lah yang menjadi korban terbesar dari kemiskinan.



Kemiskinan perempuan harus menjadi isu politik utama dalam perjuangan pembebasan perempuan, karena tidak mungkin ada kesetaraan politik mayoritas perempuan di tengah kemiskinan masyarakat. Namun sekali lagi hingga saat ini para elit perempuan yang duduk di DPR RI yang berjumlah 103 yang terwakil tersebut belum memberi solusi konkrit untuk mengatasi problem pokok (system kapitalisme dan demokrasi borjuis) perempuan tersebut secara mendasar. Sehingga agenda emansipasi perempuan dalam aspek apapun tidak akan tercapai dengan maksimal kalau seluruh elemen gerakan perempuan masih meletakkan kepercayaan agenda emansipasinya di dalam kerangka logika demokrasi prosedural (borjuistik) yang telah terkooptasi oleh system kapitalisme.






Penulis: Che Gove (Staff Nasional Kolektif PEMBEBASAN Pusat).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar