Kisruh Ahli Waris Obor Revolusi
Soekarno pernah memberikan testamen politik dan naskah proklamasi kepada Tan Malaka. Testamen itu belakangan dibakarnya.
--------------------------
SAYUTI Melik mengemban tugas penting. Tiga pekan setelah proklamasi, ia diminta Soekarno mencari Tan Malaka. Bung Karno mendengar desas-desus tokoh pergerakan itu ada di Jakarta.
Untungnya, Sayuti tahu di mana mencari Tan. Beberapa hari sebelumnya, Menteri Luar Negeri Ahmad Soebardjo mempertemukannya dengan penulis buku Naar de Republiek Indonesia itu.
Pertemuan pun diatur. Soekarno meminta Soeharto, dokter pribadinya, menyediakan ruangan. Tapi ia merahasiakan siapa tamu yang akan datang. Dengan bersepeda, Sayuti menjemput Tan. Keduanya kemudian menuju rumah Soeharto—sekarang Apotek Titimurni—di Jalan Kramat Raya.
Kepada Soeharto, tokoh yang hidup 20 tahun dalam pelarian itu mengaku bernama Abdulradjak. Soeharto lalu membawa ”Abdulradjak” ke kamar belakang. Di sana Soekarno sudah menunggu. Sayuti ikut masuk, Soeharto menunggu di luar. Semua lampu di rumah itu dimatikan. Pertemuan dua tokoh dalam gelap itu terjadi pada malam Lebaran, 9 September 1945.
Soekarno membuka pembicaraan. Ia bertanya tentang Massa Actie—buku yang ditulis Tan pada 1926. Kemudian keduanya bicara tentang nasib revolusi Indonesia. Dalam pertemuan dua jam itu, Tan mendominasi pembicaraan, sementara Soekarno lebih banyak diam. ”Tan lebih berpengalaman dalam perjuangan,” kata Sayuti Melik. Kata-kata Tan tentang revolusi, kata Sayuti, belakangan hari sering dikutip Soekarno.
Ada pernyataan Tan yang sangat mengusik perhatian Bung Karno. Tan mengatakan, Belanda, dengan menumpang Sekutu, tidak lama lagi akan datang. Tan yakin, Jakarta akan jadi medan pertempuran. Itu sebabnya ia mengusulkan pemerintahan harus dipindahkan ke pedalaman.
Khawatir akan kemungkinan itu, Soekarno pun berkata, ”Jika nanti terjadi sesuatu pada diri kami sehingga tidak dapat memimpin revolusi, saya harap Saudara yang melanjutkan.” Sebelum menutup pertemuan, ia memberi Tan sejumlah uang. Kesaksian Sayuti itu ditulis dalam kolom Sekitar Testamen untuk Tan Malaka, dimuat di harian Sinar Harapan, September 1979.
Beberapa hari kemudian, Tan dan Soekarno bertemu lagi. Kali ini di rumah dokter Mawardi di Jalan Mampang. Mawardi adalah pemimpin Barisan Pelopor di masa pendudukan Jepang.
Seperti biasa, Sayuti ikut dalam pertemuan, tapi hanya boleh mendengarkan. Mereka bicara lagi tentang perjuangan kebangsaan. Di ujung percakapan, Soekarno berjanji akan menunjuk Tan sebagai penerus obor kemerdekaan.
Tan tidak bereaksi sepatah kata pun mengenai testamen itu. Dalam memoarnya, Dari Penjara ke Penjara, ia menganggap usul itu sebatas kehormatan dan tanda kepercayaan. ”Saya sudah cukup senang bertemu Presiden Republik Indonesia, republik yang sudah sekian lama saya idamkan,” katanya.
l l l
NIAT mengeluarkan testamen diucapkan Soekarno dalam rapat kabinet pada pekan ketiga September 1945. Bila Sekutu menawannya, ia akan menyerahkan pimpinan revolusi kepada salah seorang yang mahir dalam perjuangan. Siapa orang itu, masih ia rahasiakan.
Ahmad Soebardjo tahu yang dimaksud Bung Karno tak lain adalah Tan Malaka. Ia tahu karena Tan pernah membicarakannya. Namun kelanjutan pembicaraan ihwal testamen baru terlaksana setelah Inggris akan mendarat. Juga ada selentingan, Sekutu akan menangkap Soekarno karena dianggap berkolaborasi dengan Jepang.
Situasi itu mendorong Soekarno bertemu dengan Tan Malaka, Iwa Koesoemasoemantri, dan Gatot Taroenamihardjo, di rumah Ahmad Soebardjo. Iwa dan Gatot saat itu Menteri Kesehatan dan Jaksa Agung. Pada 30 September, mereka sepakat menunjuk Tan sebagai ahli waris revolusi bila terjadi sesuatu pada Soekarno-Hatta.
Kemudian Soekarno pergi ke rumah Hatta. Setelah menceritakan pertemuan itu, Bung Hatta memberikan jawaban: ”Kenapa tidak bicara dulu kepada saya? Engkau mestinya kenal baik siapa itu Tan Malaka.”
Hatta menolak hasil pertemuan dan mengusulkan jalan keluar. Tongkat revolusi akan diteruskan kepada pemimpin dari empat kutub. Tan Malaka mewakili aliran paling kiri, Sutan Sjahrir dari kelompok kiri-tengah, Wongsonegoro wakil kalangan kanan dan feodal, serta Soekiman representasi kelompok Islam.
Soekarno puas dengan jalan tengah ini. Ia menelepon Soebardjo mengajak bertemu. Soebardjo, bersama Tan dan Iwa, menyambut Soekarno-Hatta besoknya. Di rumah Soebardjo, Hatta memaparkan pendapatnya.
Ia mengatakan bahwa keberadaan Tan di kalangan kiri bisa menyulut kontroversi karena Partai Komunis Indonesia tidak menyukainya. Hatta juga mengusulkan agar Tan melakukan perjalanan keliling Jawa. Selain memperkenalkan diri pada rakyat, juga untuk mengukur seberapa besar pengaruhnya. Usul Hatta disetujui.
Dalam pertemuan 1 Oktober itu, mereka juga setuju mengganti Soekiman dengan Iwa. Alasannya, Iwa sahabat Soekiman dan dekat dengan kelompok Islam. Soekarno lalu meminta Tan menyusun kata-kata testamen. Setelah semuanya setuju, naskah diketik Soebardjo dan dibuat rangkap tiga. Soekarno-Hatta lalu menandatanganinya. Soebardjo ditugasi memberikan teks itu kepada Sjahrir dan Wongsonegoro.
Belakangan terungkap, Soebardjo tidak pernah menyampaikan salinan teks itu kepada Sjahrir dan Wongsonegoro. Keduanya baru tahu setelah Hatta memberi kabar. Wakil presiden pertama itu menduga Soebardjo dan kubunya kecewa, wasiat batal diberikan kepada Tan seorang. Tapi, dalam bukunya Kesadaran Nasional, Soebardjo berdalih gonjang-ganjing revolusi menghambat penyampaian teks itu.
l l l
TAN memasukkan testamen ke tasnya. Ia lalu pergi keliling Jawa. Menurut Hadidjojo Nitimihardjo, putra Maruto Nitimihardjo—salah seorang aktivis Menteng 31, markas perjuangan pemuda setelah Proklamasi dan kini Gedung Joang 45 di kawasan Cikini, Jakarta— amplop yang dibawa Tan tak hanya berisi wasiat politik, tapi juga teks proklamasi yang diketik Sayuti Melik. Bung Karno, menurut Hadidjojo, memberinya satu paket.
Pada saat di Surabaya, Tan dikawal Laskar Minyak pimpinan Suryono. Atas usul Djohan Syahruhzah—belakangan menjadi Sekretaris Jenderal Partai Sosialis Indonesia—Tan kemudian dikawal Des Alwi selama sepekan. Des waktu itu bergabung dengan laskar Pemuda Republik Indonesia dan sedang menjalankan tugas intelijen melancarkan perang informasi terhadap Sekutu.
Mereka menginap di Gubeng pada 9 November. ”Malam itu saya sempat memijatnya,” kata Des, saat itu 18 tahun. Tan, yang mengaku bernama Hussein, lalu berkisah tentang pertempuran Shanghai, penyerangan tentara Cina terhadap Jepang pada 1932.
Pengetahuan Hussein membuat Des kagum. Anak angkat Sjahrir itu kemudian membawa Tan ke Sidoarjo. Di sana Des baru tahu, pria yang dikawalnya adalah Tan Malaka. Dari Sidoarjo, Tan berkeliling Jawa ditemani Djohan. ”Saat itu hubungan Tan dengan kubu Sjahrir belum retak,” kata Hadidjojo.
Tapi pertalian itu cuma sebentar. Belakangan hubungan kedua kubu itu rekah akibat Tan menentang politik Sjahrir. Lewat Persatuan Perjuangan—kumpulan 141 organisasi politik—Tan menentang kebijakan diplomasi yang dijalankan triumvirat Soekarno-Hatta-Sjahrir.
Keteguhan Tan yang gencar menentang perundingan berujung penjara. Ia bersama Sukarni, Chaerul Saleh, Muhammad Yamin, dan Gatot Abikusno ditangkap di Madiun pada 17 Maret 1946. Uniknya, berita pencidukan sudah menyebar di radio satu hari sebelumnya. Mereka dituduh hendak melakukan kudeta. Mereka ditahan terpisah, dipindah dari satu penjara ke penjara lain.
Namun Yamin dalam buku Sapta Darma menepis latar belakang itu. Ia mensinyalir, penahanan itu atas desakan Sekutu kepada Perdana Menteri Sjahrir agar perundingan berlangsung lancar. Mereka ”diamankan” sebelum delegasi Indonesia bertolak ke Belanda. Dugaan Yamin belakangan terbukti. Dalam persidangan Menteri Pertahanan Amir Syarifuddin mengatakan Tan dan kelompoknya ditangkap karena sering melancarkan agitasi yang mengacaukan perundingan.
Sewaktu Tan di dalam sel inilah menyebar testamen politik palsu. Isinya menyatakan bahwa Soekarno-Hatta menyerahkan pimpinan revolusi kepada Tan Malaka seorang. Hatta menuding Chaerul Saleh otak dari kebohongan itu. Gara-gara itu, Hatta berniat mencabut keputusan pemberian testamen, tapi batal.
Dari penjara, Tan berhasil menyelundupkan amplop berisi testamen asli dan naskah proklamasi lewat kurir. ”Amplop itu diterima ayah saya,” kata Hadidjojo. Maruto saat itu duduk di Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat di Yogyakarta.
Setelah dua tahun ia ditahan, kejaksaan baru menjatuhkan dakwaan. Tapi bukan atas tuduhan kudeta, melainkan menggerakkan barisan oposisi ilegal. Tan dan Sukarni dibebaskan pada September 1948 dari penjara Magelang, Jawa Tengah.
Setelah Tan bebas, Maruto mengembalikan testamen dan naskah proklamasi kepadanya. Ia juga mengatur pertemuan antara Tan dan Jenderal Soedirman di Yogyakarta. Kepada Pak Dirman, Tan mengatakan akan bergerilya ke Jawa Timur sekitar November 1948. Soedirman lalu memberinya surat pengantar dan satu regu pengawal.
Surat dari Soedirman itu diserahkan ke Panglima Divisi Jawa Timur Jenderal Sungkono. Oleh Sungkono, Tan dianjurkan bergerak ke Kepanjen, Malang Selatan. Tapi ia memutuskan pergi ke Kediri. Di sinilah, kata sejarawan Belanda Harry Albert Poeze, Tan dieksekusi pada 21 Februari 1949.
Sejak itu kasak-kasuk ihwal testamen meredup. Baru pada Mei 1972, polemik ahli waris revolusi mencuat di media massa. Moekhardi, mengutip buku George McTurnan Kahin dalam Nationalism and Revolution in Indonesia (1952), mengemukakan bahwa perancangan testamen itu taktik Tan Malaka merebut kekuasaan. Satu bulan kemudian, Sayuti menolak pendapat Kahin. Menurut dia, pertemuan dan pembuatan testamen atas prakarsa Soekarno.
Pekan berikutnya, giliran Soebagijo I.N.—atas hasil wawancara dengan Hatta—menulis, naskah testamen sudah diberikan Tan tapi belum ditandatangani. Soekarno akan memarafnya bila Bung Hatta setuju. Sedangkan Hatta menilai, sosok Tan di mata rakyat tidak populer. Buktinya, dalam perjalanan di Jawa, Tan beberapa kali hendak ditangkap.
Silang pendapat terus bermunculan. Perang pena di surat kabar reda setelah S.K. Trimurti—istri Sayuti—menulis surat pembaca di harian Sinar Harapan, akhir Oktober 1979. Trimurti membuka rahasia, Syamsu Harya Udaya menemuinya pada akhir 1964. Tokoh Murba, partai yang didirikan Tan, itu mengaku menyimpan testamen dan naskah Proklamasi. Syamsu memang sering menemani Tan sebelum sang tokoh tewas.
Daripada terus memercikkan perselisihan dan jadi rebutan, Trimurti menganjurkan testamen dihancurkan. Keduanya lalu menemui Aidit, yang dikenal dekat dengan Soekarno. Ketua Partai Komunis Indonesia itu mengatur pertemuan.
Soekarno kemudian mengundang ketiganya. Di Istana Negara, Trimurti menyerahkan seluruh naskah. Sementara teks proklamasi disimpannya, Bung Karno merobek-robek testamen dan membakarnya. ”Setelah itu kami pulang dengan perasaan lega,” kata Trimurti. Kisruh surat wasiat padam di tengah bara api.
--------------------------
SAYUTI Melik mengemban tugas penting. Tiga pekan setelah proklamasi, ia diminta Soekarno mencari Tan Malaka. Bung Karno mendengar desas-desus tokoh pergerakan itu ada di Jakarta.
Untungnya, Sayuti tahu di mana mencari Tan. Beberapa hari sebelumnya, Menteri Luar Negeri Ahmad Soebardjo mempertemukannya dengan penulis buku Naar de Republiek Indonesia itu.
Pertemuan pun diatur. Soekarno meminta Soeharto, dokter pribadinya, menyediakan ruangan. Tapi ia merahasiakan siapa tamu yang akan datang. Dengan bersepeda, Sayuti menjemput Tan. Keduanya kemudian menuju rumah Soeharto—sekarang Apotek Titimurni—di Jalan Kramat Raya.
Kepada Soeharto, tokoh yang hidup 20 tahun dalam pelarian itu mengaku bernama Abdulradjak. Soeharto lalu membawa ”Abdulradjak” ke kamar belakang. Di sana Soekarno sudah menunggu. Sayuti ikut masuk, Soeharto menunggu di luar. Semua lampu di rumah itu dimatikan. Pertemuan dua tokoh dalam gelap itu terjadi pada malam Lebaran, 9 September 1945.
Soekarno membuka pembicaraan. Ia bertanya tentang Massa Actie—buku yang ditulis Tan pada 1926. Kemudian keduanya bicara tentang nasib revolusi Indonesia. Dalam pertemuan dua jam itu, Tan mendominasi pembicaraan, sementara Soekarno lebih banyak diam. ”Tan lebih berpengalaman dalam perjuangan,” kata Sayuti Melik. Kata-kata Tan tentang revolusi, kata Sayuti, belakangan hari sering dikutip Soekarno.
Ada pernyataan Tan yang sangat mengusik perhatian Bung Karno. Tan mengatakan, Belanda, dengan menumpang Sekutu, tidak lama lagi akan datang. Tan yakin, Jakarta akan jadi medan pertempuran. Itu sebabnya ia mengusulkan pemerintahan harus dipindahkan ke pedalaman.
Khawatir akan kemungkinan itu, Soekarno pun berkata, ”Jika nanti terjadi sesuatu pada diri kami sehingga tidak dapat memimpin revolusi, saya harap Saudara yang melanjutkan.” Sebelum menutup pertemuan, ia memberi Tan sejumlah uang. Kesaksian Sayuti itu ditulis dalam kolom Sekitar Testamen untuk Tan Malaka, dimuat di harian Sinar Harapan, September 1979.
Beberapa hari kemudian, Tan dan Soekarno bertemu lagi. Kali ini di rumah dokter Mawardi di Jalan Mampang. Mawardi adalah pemimpin Barisan Pelopor di masa pendudukan Jepang.
Seperti biasa, Sayuti ikut dalam pertemuan, tapi hanya boleh mendengarkan. Mereka bicara lagi tentang perjuangan kebangsaan. Di ujung percakapan, Soekarno berjanji akan menunjuk Tan sebagai penerus obor kemerdekaan.
Tan tidak bereaksi sepatah kata pun mengenai testamen itu. Dalam memoarnya, Dari Penjara ke Penjara, ia menganggap usul itu sebatas kehormatan dan tanda kepercayaan. ”Saya sudah cukup senang bertemu Presiden Republik Indonesia, republik yang sudah sekian lama saya idamkan,” katanya.
l l l
NIAT mengeluarkan testamen diucapkan Soekarno dalam rapat kabinet pada pekan ketiga September 1945. Bila Sekutu menawannya, ia akan menyerahkan pimpinan revolusi kepada salah seorang yang mahir dalam perjuangan. Siapa orang itu, masih ia rahasiakan.
Ahmad Soebardjo tahu yang dimaksud Bung Karno tak lain adalah Tan Malaka. Ia tahu karena Tan pernah membicarakannya. Namun kelanjutan pembicaraan ihwal testamen baru terlaksana setelah Inggris akan mendarat. Juga ada selentingan, Sekutu akan menangkap Soekarno karena dianggap berkolaborasi dengan Jepang.
Situasi itu mendorong Soekarno bertemu dengan Tan Malaka, Iwa Koesoemasoemantri, dan Gatot Taroenamihardjo, di rumah Ahmad Soebardjo. Iwa dan Gatot saat itu Menteri Kesehatan dan Jaksa Agung. Pada 30 September, mereka sepakat menunjuk Tan sebagai ahli waris revolusi bila terjadi sesuatu pada Soekarno-Hatta.
Kemudian Soekarno pergi ke rumah Hatta. Setelah menceritakan pertemuan itu, Bung Hatta memberikan jawaban: ”Kenapa tidak bicara dulu kepada saya? Engkau mestinya kenal baik siapa itu Tan Malaka.”
Hatta menolak hasil pertemuan dan mengusulkan jalan keluar. Tongkat revolusi akan diteruskan kepada pemimpin dari empat kutub. Tan Malaka mewakili aliran paling kiri, Sutan Sjahrir dari kelompok kiri-tengah, Wongsonegoro wakil kalangan kanan dan feodal, serta Soekiman representasi kelompok Islam.
Soekarno puas dengan jalan tengah ini. Ia menelepon Soebardjo mengajak bertemu. Soebardjo, bersama Tan dan Iwa, menyambut Soekarno-Hatta besoknya. Di rumah Soebardjo, Hatta memaparkan pendapatnya.
Ia mengatakan bahwa keberadaan Tan di kalangan kiri bisa menyulut kontroversi karena Partai Komunis Indonesia tidak menyukainya. Hatta juga mengusulkan agar Tan melakukan perjalanan keliling Jawa. Selain memperkenalkan diri pada rakyat, juga untuk mengukur seberapa besar pengaruhnya. Usul Hatta disetujui.
Dalam pertemuan 1 Oktober itu, mereka juga setuju mengganti Soekiman dengan Iwa. Alasannya, Iwa sahabat Soekiman dan dekat dengan kelompok Islam. Soekarno lalu meminta Tan menyusun kata-kata testamen. Setelah semuanya setuju, naskah diketik Soebardjo dan dibuat rangkap tiga. Soekarno-Hatta lalu menandatanganinya. Soebardjo ditugasi memberikan teks itu kepada Sjahrir dan Wongsonegoro.
Belakangan terungkap, Soebardjo tidak pernah menyampaikan salinan teks itu kepada Sjahrir dan Wongsonegoro. Keduanya baru tahu setelah Hatta memberi kabar. Wakil presiden pertama itu menduga Soebardjo dan kubunya kecewa, wasiat batal diberikan kepada Tan seorang. Tapi, dalam bukunya Kesadaran Nasional, Soebardjo berdalih gonjang-ganjing revolusi menghambat penyampaian teks itu.
l l l
TAN memasukkan testamen ke tasnya. Ia lalu pergi keliling Jawa. Menurut Hadidjojo Nitimihardjo, putra Maruto Nitimihardjo—salah seorang aktivis Menteng 31, markas perjuangan pemuda setelah Proklamasi dan kini Gedung Joang 45 di kawasan Cikini, Jakarta— amplop yang dibawa Tan tak hanya berisi wasiat politik, tapi juga teks proklamasi yang diketik Sayuti Melik. Bung Karno, menurut Hadidjojo, memberinya satu paket.
Pada saat di Surabaya, Tan dikawal Laskar Minyak pimpinan Suryono. Atas usul Djohan Syahruhzah—belakangan menjadi Sekretaris Jenderal Partai Sosialis Indonesia—Tan kemudian dikawal Des Alwi selama sepekan. Des waktu itu bergabung dengan laskar Pemuda Republik Indonesia dan sedang menjalankan tugas intelijen melancarkan perang informasi terhadap Sekutu.
Mereka menginap di Gubeng pada 9 November. ”Malam itu saya sempat memijatnya,” kata Des, saat itu 18 tahun. Tan, yang mengaku bernama Hussein, lalu berkisah tentang pertempuran Shanghai, penyerangan tentara Cina terhadap Jepang pada 1932.
Pengetahuan Hussein membuat Des kagum. Anak angkat Sjahrir itu kemudian membawa Tan ke Sidoarjo. Di sana Des baru tahu, pria yang dikawalnya adalah Tan Malaka. Dari Sidoarjo, Tan berkeliling Jawa ditemani Djohan. ”Saat itu hubungan Tan dengan kubu Sjahrir belum retak,” kata Hadidjojo.
Tapi pertalian itu cuma sebentar. Belakangan hubungan kedua kubu itu rekah akibat Tan menentang politik Sjahrir. Lewat Persatuan Perjuangan—kumpulan 141 organisasi politik—Tan menentang kebijakan diplomasi yang dijalankan triumvirat Soekarno-Hatta-Sjahrir.
Keteguhan Tan yang gencar menentang perundingan berujung penjara. Ia bersama Sukarni, Chaerul Saleh, Muhammad Yamin, dan Gatot Abikusno ditangkap di Madiun pada 17 Maret 1946. Uniknya, berita pencidukan sudah menyebar di radio satu hari sebelumnya. Mereka dituduh hendak melakukan kudeta. Mereka ditahan terpisah, dipindah dari satu penjara ke penjara lain.
Namun Yamin dalam buku Sapta Darma menepis latar belakang itu. Ia mensinyalir, penahanan itu atas desakan Sekutu kepada Perdana Menteri Sjahrir agar perundingan berlangsung lancar. Mereka ”diamankan” sebelum delegasi Indonesia bertolak ke Belanda. Dugaan Yamin belakangan terbukti. Dalam persidangan Menteri Pertahanan Amir Syarifuddin mengatakan Tan dan kelompoknya ditangkap karena sering melancarkan agitasi yang mengacaukan perundingan.
Sewaktu Tan di dalam sel inilah menyebar testamen politik palsu. Isinya menyatakan bahwa Soekarno-Hatta menyerahkan pimpinan revolusi kepada Tan Malaka seorang. Hatta menuding Chaerul Saleh otak dari kebohongan itu. Gara-gara itu, Hatta berniat mencabut keputusan pemberian testamen, tapi batal.
Dari penjara, Tan berhasil menyelundupkan amplop berisi testamen asli dan naskah proklamasi lewat kurir. ”Amplop itu diterima ayah saya,” kata Hadidjojo. Maruto saat itu duduk di Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat di Yogyakarta.
Setelah dua tahun ia ditahan, kejaksaan baru menjatuhkan dakwaan. Tapi bukan atas tuduhan kudeta, melainkan menggerakkan barisan oposisi ilegal. Tan dan Sukarni dibebaskan pada September 1948 dari penjara Magelang, Jawa Tengah.
Setelah Tan bebas, Maruto mengembalikan testamen dan naskah proklamasi kepadanya. Ia juga mengatur pertemuan antara Tan dan Jenderal Soedirman di Yogyakarta. Kepada Pak Dirman, Tan mengatakan akan bergerilya ke Jawa Timur sekitar November 1948. Soedirman lalu memberinya surat pengantar dan satu regu pengawal.
Surat dari Soedirman itu diserahkan ke Panglima Divisi Jawa Timur Jenderal Sungkono. Oleh Sungkono, Tan dianjurkan bergerak ke Kepanjen, Malang Selatan. Tapi ia memutuskan pergi ke Kediri. Di sinilah, kata sejarawan Belanda Harry Albert Poeze, Tan dieksekusi pada 21 Februari 1949.
Sejak itu kasak-kasuk ihwal testamen meredup. Baru pada Mei 1972, polemik ahli waris revolusi mencuat di media massa. Moekhardi, mengutip buku George McTurnan Kahin dalam Nationalism and Revolution in Indonesia (1952), mengemukakan bahwa perancangan testamen itu taktik Tan Malaka merebut kekuasaan. Satu bulan kemudian, Sayuti menolak pendapat Kahin. Menurut dia, pertemuan dan pembuatan testamen atas prakarsa Soekarno.
Pekan berikutnya, giliran Soebagijo I.N.—atas hasil wawancara dengan Hatta—menulis, naskah testamen sudah diberikan Tan tapi belum ditandatangani. Soekarno akan memarafnya bila Bung Hatta setuju. Sedangkan Hatta menilai, sosok Tan di mata rakyat tidak populer. Buktinya, dalam perjalanan di Jawa, Tan beberapa kali hendak ditangkap.
Silang pendapat terus bermunculan. Perang pena di surat kabar reda setelah S.K. Trimurti—istri Sayuti—menulis surat pembaca di harian Sinar Harapan, akhir Oktober 1979. Trimurti membuka rahasia, Syamsu Harya Udaya menemuinya pada akhir 1964. Tokoh Murba, partai yang didirikan Tan, itu mengaku menyimpan testamen dan naskah Proklamasi. Syamsu memang sering menemani Tan sebelum sang tokoh tewas.
Daripada terus memercikkan perselisihan dan jadi rebutan, Trimurti menganjurkan testamen dihancurkan. Keduanya lalu menemui Aidit, yang dikenal dekat dengan Soekarno. Ketua Partai Komunis Indonesia itu mengatur pertemuan.
Soekarno kemudian mengundang ketiganya. Di Istana Negara, Trimurti menyerahkan seluruh naskah. Sementara teks proklamasi disimpannya, Bung Karno merobek-robek testamen dan membakarnya. ”Setelah itu kami pulang dengan perasaan lega,” kata Trimurti. Kisruh surat wasiat padam di tengah bara api.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar