ALLAH,
RABB,ILAAH dan TUHAN
MENGAPA ALLAH MENGGUNAKAN KATA “KAMI” , “HU” (Dia –laki laki),
DALAM AL-QUR’AN ?
KONTROVERSI PENYEBUTAN “TUHAN”,DAN ASAL USULNYA.
HARAM DAN MURTADKAH MENYEBUT ALLAH DENGAN TUHAN, GUSTI, PENGERAN
?
SIAPA ALLAH, SIAPA HU, SIAPA RABB, SIAPA ILAAH, SIAPA TUHAN,
SIAPA GUSTI, PENGERAN ?
SEBUAH RISALAH JAWABAN BUAT ORANG YANG TANPA ILMU PENGETAHUAN,
MELEMPARKAN TUDUHAN TERHADAP “ALLAH”, SEBAGAI TUHAN BERHALA BANGSA
ARAB,BABYLON.
SESEMBAHAN
MANUSIA
Disadari atau
tidak disadari,manusia akan merindukan Sang Pencipta dan Pelindungnya (QS.39:08 , 49).Fitrah diri manusia bersuara menjerit memanggil
manggil Rabb nya manakala manusia itu tengah menghadapi malapetaka,bahaya
maupun kesulitan dahsyat.Saat itu manusia
tunduk,tawaqqal dan lemah dihadapan-Nya.(QS.31:32 , QS.17:66-69).
Mengapa manusia mencari dan menyembah Tuhan?
Umat Islam menyembah Allah,umat
Kristen menyembah Tuhan Yesus,umat Hindhu menyembah para Dewa,umat Budha
menyembah Sang Budha, Umat Tiongkok menyembah Tian,umat Hindhu menyembah para
Dewa,dan sebagainya.Sepertinya Tuhan itu berjumlah banyak,sebab masing masing
umat memiliki Tuhan.Demikiankah?
KONTROVERSI
PENYEBUTAN “TUHAN”.
Dari aspek aqidah, bagi umat
Islam yang telah beriman, mengakui adanya tuhan-tuhan selain Allah adalah
sebuah kemusyrikan dan dosa tak berampun,sebab Ketauhidan sudah menjadi logika
agama terunggul.(untuk PEMAHAMAN AQIDAH), Silahkan pahami pada link :
Lalu, mengapa di dalam Al-Qur’an
Tarjamah Tafsiriyah ,Al-Qur’an terjemahan DEPAG RI,kata “Ilaahun” dan “Rabbun”
diterjemahkan sebagai ‘tuhan’?
Apa bedanya dengan terjemah harafiah tradisional yang juga menerjemahkan istilah yang sama dengan arti yang sama pula? Contoh dalam budaya pesantren dan masyarakat Islam di Jawa menggunakan kata “GUSTI , PENGERAN” untuk kata ganti Tuhan.
Kemudian bukankah kosakata “Tuhan” masuk ke dalam bahasa Indonesia, akibat pengaruh teologi yang dibawa oleh kaum kolonial ? Jika demikian apakah sebaiknya kata ‘ilaahun‘ dan‘rabbun’ tidak perlu diterjemahkan sebagai tuhan, biarkan saja dalam bahasa aslinya ?
Apa bedanya dengan terjemah harafiah tradisional yang juga menerjemahkan istilah yang sama dengan arti yang sama pula? Contoh dalam budaya pesantren dan masyarakat Islam di Jawa menggunakan kata “GUSTI , PENGERAN” untuk kata ganti Tuhan.
Kemudian bukankah kosakata “Tuhan” masuk ke dalam bahasa Indonesia, akibat pengaruh teologi yang dibawa oleh kaum kolonial ? Jika demikian apakah sebaiknya kata ‘ilaahun‘ dan‘rabbun’ tidak perlu diterjemahkan sebagai tuhan, biarkan saja dalam bahasa aslinya ?
Pertanyaan semacam ini sering
mengemuka dikalangan umat Islam pada umumnya,dan juga dari para pembaca kritis
Al-Qur’an terjemahan, termasuk para tokoh dan aktivis Islam.Bahkan yang
mengherankan ada juga orang yang mencantumkan gelar ustadz mempersoalkan
istilah ini. Sepertinya merasa anti dan alergi menggunakan kata “Tuhan, Gusti,
Pengeran ”, yang dianggap melenceng dari aqidah dan berasal dari doktrin non
Islam.
HARAM DAN
MURTADKAH MENYEBUT ALLAH DENGAN TUHAN ?
Mengganti lafaz Allah dengan
Tuhan jelas itu sebuah kejahatan serius,sebab disamping perbuatan
kemusyrikan,juga “GHADAB” (perbuatan golongan orang orang yang dimurkai
Allah).Tetapi bagaimana jika kita menyebut Allah dengan kata ganti lain ?
Seperti kadang dalam menulis atau saat sedang berucap dan berdo’a, kita tidak
menggunakan kata Allah tetapi dengan kata “TUHAN” , ”GUSTI” dan atau “PENGERAN”,
Apakah termasuk perbuatan kemusyrikan dan ghadab ? Maka dalam perkara ini
seyogyanya setiap muslim tidak asal mengharamkan atau meng-kafirkan sesama
Islam,jika kita belum memahami segala sesuatunya dengan ilmu pengetahuan.
Maka sobat budiman,mari kita mencari
tahu ilmu pengetahuannya pada risalah yang saya rangkum selanjutnya ini,agar
kita tidak termasuk ke dalam golongan orang orang yang asal (asal bicara, asal
nulis, asal berdakwah). Malulah kita apalagi kadang kita saksikan sesama teman
muslim adu otot berebut benar pendapatnya masing masing,saling benci membenci
hanya gara gara mempertahankan perkara yang kita tidak memiliki ilmu
pengetahuannya atau kurang,tetapi hanya didasarkan atas “perasaan” .
(merasa apa yang telah diajarkan gurunya paling benar,merasa cukup dari membaca buku sudah paling benar,dsb).
(merasa apa yang telah diajarkan gurunya paling benar,merasa cukup dari membaca buku sudah paling benar,dsb).
Nah,lebih
runyam lagi ketika kita mendapat pertanyaan miring tentang agama Islam,tentang
makna ayat ayat Al-Qur’an, dari orang yang non muslim yang tiada pengetahuannya
tentang ke-Islaman, sementara kita kebingungan menjawabnya.Ujung ujungnya hanya
bisa dongkol,sakit hati dan balas memaki atau menghina.
SIAPA TUHAN,
SIAPA ILLAH, SIAPA RABB, SIAPA GUSTI, PENGERAN ?
Tuhan ya Allah,Illah ya
Allah,Rabb ya Allah,Gusti,Pengeran ya Allah.Maka :
“Serulah Allah atau serulah Yang Maha Pengasih (ar-Rahman)
Dengan nama apa saja kamu menyeru Dia; maka Dia memiliki nama-nama yang indah
(asma-ul-husna)” – Qs. 17 al-Israa’ : 110
*Dari ayat diatas, jelas bahwa
al-Qur’an memperkenalkan Tuhan yang universal, serulah Tuhan dengan nama apapun
yang baik dan indah serta tentunya tidak mengandung unsur yang bertentangan
dengan sifat-sifat kemuliaan-Nya.
Sebab suatu hal yang pasti adalah
bahwa bahasa Arab bukan satu-satunya bahasa yang ada ditengah masyarakat dunia.
Oleh karena itu secara logika, keberagaman penyebutan terhadap Tuhan tidak
dapat dihindari. Bangsa Afrika Selatan (Zulu) menyebut Tuhan dengan nama
uMVELINQANGI, umat India mengenal istilah PRAMATMA, Bangsa Aborigin di
Australia Selatan memanggil Tuhannya dengan istilah ATMATU,bangsa Jepang
mengistilahkan Tuhannya “KAMI”, dan sebagainya.
(see at : Ahmed Deedat, Allah dalam dalam Yahudi, Masehi, Islam,
terj.H. Salim Basyarahil, H. Mul Renreng, Penerbit Gema Insani Press, Jakarta,
1994, hal. 21-28).
Seorang ahli tafsir Al-Qur’an
dari Indonesia, M. Quraish Shihab menyatakan bahwa wahyu-wahyu pertama yang
turun kepada Nabi Muhammad juga tidak mempergunakan istilah Allah untuk kata
ganti Tuhan melainkan memakai istilah Rabbuka dan baru pada wahyu ke-7 yaitu
surah ke-87 istilah Allah diperkenalkan kedalam al-Qur’an.
(see at : Dr. Muhammad Quraish Shihab, M.A. Wawasan Al-Quran :
Tafsir Maudhu’I atas pelbagai persoalan umat, Penerbit Mizan, Bandung, 1996,
dalam Catatan kaki hal. 23-24).
Kata Allah
sendiri terbentuk dari kata AL dan iLah.
(see at : Abu Iman ‘Abd ar-Rahman Robert Squires, http://www.muslim-answers.org/allah.htm, dalam “Who is ALLAH”) ,
(see at : Abu Iman ‘Abd ar-Rahman Robert Squires, http://www.muslim-answers.org/allah.htm, dalam “Who is ALLAH”) ,
Dimana kata AL sama seperti penggunaan kata THE dalam bahasa
Inggris, yaitu sebagai kata sandang atau penegasan tertentu. Sementara kata
iLah memiliki arti Tuhan. Sehingga istilah Allah berarti Tuhan yang satu itu.
Dan konsep ini sesuai dengan pengajaran para Nabi :
Dan konsep ini sesuai dengan pengajaran para Nabi :
“Dialah Allah
yang Satu Tempat semuanya bergantung ;Tidak pernah Dia beranak dan tidak pula
pernah Dia diperanakkan Tidak ada sesuatu apapun yang sama dengan-Nya .”– Qs.
112 al-Ikhlas : 1 – 4
Jawab Yesus:
Hukum yang terutama ialah: Dengarlah, hai orang Israel, Tuhan Allah kita, Tuhan
itu Esa. – Perjanjian Baru : Injil Markus 12:29
Engkau diberi
melihatnya untuk mengetahui, bahwa Tuhanlah Allah, tidak ada yang lain kecuali
Dia – Perjanjian Lama : Kitab Ulangan 4:35
Dengarlah, hai
orang Israel: TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu esa – Perjanjian Lama : Kitab
Ulangan 6:4
Dengan demikian maka perbedaan yang terjadi dalam menyebut
Allah,akibat pengaruh bahasa masing masing umat dunia yang beragam,jadi
janganlah membuat kita menjadi umat Islam yang sempit pemahaman.
“Hai manusia,
sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari laki-laki dan perempuan dan menjadikan
kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal .”–
Qs. 49 al-hujuraat : 13
Allah telah
memilih umat Islam sebagai umat yang terbaik, maka buktikan kepada umat lainnya
bahwa umat Islam memang umat yang cerdas,berpengetahuan luas, menyebarkan
perdamaian, menjadi rahmat untuk semua alam.(Qs. 3 ali Imron : 110– Qs. 2
al-Baqarah : 143 – Qs. 5 al-Maidah : 8).
ASAL USUL KATA
“TUHAN” MENJADI KOSAKATA BAKU BAHASA INDONESIA
Menurut riwayat, bahwa kosakata
“Tuhan” adalah bebernama rasal dari “plesetan” kata “Tuan”, Hal ini terjadi
disinyalir karena ungkapan perkataan dari seorang Belanda yang Leijdecker pada
tahun 1678.Juga ditemukan dalam Ensiklopedi Populer Gereja oleh Adolf Heuken
SJ. “Arti kata ‘Tuhan’ ada hubungannya dengan kata Melayu ‘tuan’ yang berarti
atasan/penguasa/pemilik”. Keterangan ini dikaitkan dengan terjemahan
Brouwerius, 1668, untuk istilah Yunani, Kyrios, sebutan bagi Isa Almasih.
Maksudnya Tuan Yesus, tapi dalam Bahasa Indonesia diterjemahkan dengan, Tuhan
Yesus.
Diterangkan secara lugas oleh Alif
Danya Munsyi di majalah Tiara (1984).Dalam makalahnya itu, Alif menyebutkan
bahwa peristiwa itu terjadi sebagai salah satu gejala paramasuai, yaitu
penambahan bunyi ‘h’ yang nirguna pada kata-kata tertentu, misalnya embus
menjadi hembus,empas menjadi hempas, asut menjadi hasut, dan tuan menjadi
TUHAN.
Gejala itu timbul karena dialek
tradisional yang kemudian dipengaruhi oleh dialek dialek dari bangsa kolonial
yang acapkali mengucapkan bahasa bahasa setempat,namun aksennya berbeda atau
berubah,sehingga kalimat yang diucapkan oleh bangsa penjajah itulah yang
menjadi istilah populer dikalangan ahli kitab serta masyarakat pribumi.
Lingua Franca Melayu yang dipakai
bangsa-bangsa Eropa antara lain Portugis dan Belanda sebagai bahasa
administrasi untuk kegiatan ekonomi dan politik di seantero Nusantara, juga
dipakai dalam kepentingan penyiaran agama Nasrani (agama umum yang dianut
bangsa Eropa).Mereka (bangsa Eropa) biasa menyebut Isa dengan panggilan “TUAN”,
yang dalam bahasa Yunani adalah ‘Kyrios’, dalam bahasa Portugis ‘senor’, dalam
bahasa Belanda ‘heere’, dalam bahasa Perancis ‘seigneur’ dan dalam bahasa
Inggris ‘lord’. Contohnya kalimat :
“The grace of or lord Jesus Christ be with your spirit”.
Ketika penghayatan ini
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, mula-mula oleh bangsa Portugis yang
bernama Browerius, pada tahun 1663, sebutan Isa Al Masih masih TUAN, tetapi
ketika orang Belanda yang bernama Leijdecker pada tahun 1678 menerjemahkan
surat-surat Paulus itu, sebutan TUAN telah mengalami paramasuai yakni ada
tambahan sisipan konsonan “H”,sehingga menjadikan penulisannyapun berubah
menjadi”TUHAN”.
Selanjutnya kata Tuhan itu
dibakukan sebagai kosakata baru, dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, W.J.S.
Poerwadarminta (Katolik), tanpa memberikan keterangan apapun tentang kata
TUHAN. Kemudian kata “TUHAN” ini digunakan secara finish oleh para team
penerjemah,untuk menterjemahkan kata “ILAAHUN” , “RABB” dalam bahasa Arab,
dengan padanan kosakata “TUHAN”,hingga sekarang sebab tidak adanya padanan kata
lain selain “TUHAN”.(ini yang disebut “menurut bahasa kaumnya”).
Terlepas dari parasuai dialek bahasa maka yang pasti setiap bahasa memiliki keterbatasan padanan kata dari kosa kata bahasa lain. Problem keterbatasan kosa kata ini, biasa terjadi pada setiap bahasa apapun di dunia ini. Akan tetapi, bila suatu kata dalam bahasa asing yang sulit dicari padanannya dalam bahasa Indonesia tidak boleh diterjemahkan, niscaya akan menyulitkan pembaca yang ingin memahami maknanya.
Terlepas dari parasuai dialek bahasa maka yang pasti setiap bahasa memiliki keterbatasan padanan kata dari kosa kata bahasa lain. Problem keterbatasan kosa kata ini, biasa terjadi pada setiap bahasa apapun di dunia ini. Akan tetapi, bila suatu kata dalam bahasa asing yang sulit dicari padanannya dalam bahasa Indonesia tidak boleh diterjemahkan, niscaya akan menyulitkan pembaca yang ingin memahami maknanya.
*Upaya penerjemahan suatu bahasa
ke bahasa lain, aspek intelektualitas dan budaya pengguna bahasa sangat
menentukan kekayaan kosa kata suatu bahasa. Dalam kaitan ini, untuk menjelaskan
kata ‘tuhan’ sebagai terjemah dari kata ‘ilaahun‘ dan ‘rabbun‘, haruslah
dipahami argumentasi bangsa Arab yang menerjemahkan kata ‘tuhan’ dan ‘dewa’
sebagai ilaahun.
Sebagai contoh, kata dewa dan tuhan dalam bahasa Indonesia, terjemahan Arabnya sama, yaitu ilaahun. Padahal pengertian kata Dewa dan Tuhan dalam bahasa Indonesia sangat jauh berbeda.
Kata Tuhan pengertiannya adalah sesuatu yang diyakini, dipuja, dan disembah oleh manusia sebagai yang Mahakuasa, Mahaperkasa, dsb. Sedangkan kata dewa pengertiannya adalah makhluk Tuhan yang berasal dari cahaya suci kegaiban yang ditugasi mengendalikan kekuatan alam atau orang/manusia, juga berarti sesuatu yang sangat dipuja. (KBBI, 1990)
Sebagai contoh, kata dewa dan tuhan dalam bahasa Indonesia, terjemahan Arabnya sama, yaitu ilaahun. Padahal pengertian kata Dewa dan Tuhan dalam bahasa Indonesia sangat jauh berbeda.
Kata Tuhan pengertiannya adalah sesuatu yang diyakini, dipuja, dan disembah oleh manusia sebagai yang Mahakuasa, Mahaperkasa, dsb. Sedangkan kata dewa pengertiannya adalah makhluk Tuhan yang berasal dari cahaya suci kegaiban yang ditugasi mengendalikan kekuatan alam atau orang/manusia, juga berarti sesuatu yang sangat dipuja. (KBBI, 1990)
Oleh karena itu, jika kata
ilaahun dan rabbun tidak diterjemahkan dengan kosakata yang populer dalam
bahasa Indonesia, justru mempersulit pembaca untuk memahami kata ilaahun dan
rabbun. Padahal terjemahan itu bertujuan untuk mempermudah pembaca memahami
makna kalimat yang dibaca.
PRONOMINA (KATA GANTI) ‘YHWH’ DAN ‘TUHAN ALLAH’ DALAM PL/PB
Menurut New Advent Catholic
Encyclopedia, Bangsa Yahudi mengenal tiga sebutan nama untuk Tuhan, yaitu El,
Elohim dan Eloah, di samping nama YHWH (Tetragrammaton/ Yahweh). Perkataan
Yahweh ini terdapat sekitar 6000 kali dalam Perjanjian Lama, Elohim 2570, Eloah
57 kali dan El 226 kali. Walaupun masih menjadi perdebatan para ahli Kitab
Suci, dikatakan bahwa kemungkinan kata Allah berasal dari kata El ini, yang
berarti Tuhan yang Mahabesar/Mahakuasa (lih. Kel 6:2) yang secara derivatif
dapat pula berarti “Ia yang dikejar oleh semua orang, Ia yang menjadi tujuan
semua orang, ia yang kepada-Nya semua orang mencari perlindungan dan bimbingan,
Ia yang kepada-Nya seseorang mendekatkan dirinya, dst”. Diskusi argumen tentang
asal usul kata ini, setuju atau tidak setuju akan makna derivatif-nya akan
menghasilkan pembicaraan yang terlalu jauh.
Sedangkan nama Tuhan sebagai YHWH
yang diterima oleh Musa, merupakan nama yang sangat sakral, maka menurut
tradisi Yahudi, mereka dilarang menyebutkan nama YHWH tersebut. Penyebutan nama
YHWH (Yahweh) hanya dilakukan setahun sekali oleh Imam Agung, yang dilakukan di
Bait Allah, pada pesta Yom Kippur. Karena kesakralan kata YHWH ini, maka tak
sembarang orang menyebutkannya; dan di dalam pembacaan Kitab suci, mereka
mengganti kata YHWH tersebut dengan Adonai. Septuagint dan Vulgate kemudian
menerjemahkan Adonai ini dengan Kyrios/ Dominus.
Paus Benediktus XVI dalam bukunya
Jesus of Nazareth condong kepada hasil studi para ahli Kitab Suci yang
mengatakankan bahwa pengakuan Petrus akan Yesus sebagai Mesias, Putra Allah
yang hidup (Mat 16:13-15), jatuh pada peringatan hari Yom Kippur ini (lihat
buku karangan Bapa Paus Benedict XVI, Jesus of Nazareth p. 306); yang
menunjukkan penggenapan sebutan Allah YHWH/ Adonai ini di dalam diri Kristus
Yesus.
‘Kurios’ itu adalah ‘Tuhan’
(Lord) yang diambil dari bahasa Yunani, yang merupakan bahasa penulisan kitab
Perjanjian Baru. Sedangkan kata “Tuhan” (Lord) dalam Kitab Perjanjian Lama (PL)
dalam bahasa Ibrani-nya adalah “Adonai”. Dalam PL, kata “Adonai” (Tuhan/ Lord)
ini dipakai sebagai kata ganti bagi YHWH (Yahwe) dan digunakan bersama- sama
kata “Elohim (Allah/ God)” (lih. Mzm 38:15; Mzm 8:1,9), walaupun kata “adonai”
ini memang juga menggambarkan hubungan antara tuan dan hamba (lihat: Kej
24:9,20,12,14,27; Kel 21:4-6) antara suami dan istri ( Kej 18:12, Yud 19:27;
Mzm 45:12).
Demikianlah contoh ayat-ayat di
mana kata ‘YHWH’, ‘Tuhan’ (Lord) dan ‘Allah’ (God) digunakan untuk mengacu
kepada Allah yang satu dan sama:
“Sebab kepada-Mu, ya TUHAN [YHWH/ Yehovah], aku berharap;
Engkaulah yang akan menjawab, ya Tuhan [Adonai], Allahku [Elohim].” (Mzm 38:15)
“Ya TUHAN [YHWH/ Yehovah], Tuhan [Adonai] kami, betapa mulianya
nama-Mu di seluruh bumi! …. Ya TUHAN [YHWH/ Yehovah], Tuhan [Adonai] kami,
betapa mulianya nama-Mu di seluruh bumi! (Mzm 8:1,9).
Di kitab Perjanjian Baru,
terdapat ayat-ayat, di mana kata “kurios” diterjemahkan sebagai “Tuhan” (Lord),
dan mengacu kepada Allah (God), seperti halnya pada Luk 1:32; 2:9, Kis 5:19),
dan kata “kurios” ini juga mengacu kepada Yesus (lih. Rom 10:9, 1Kor 12:3; Flp
2:11; Why 19:15); Kata Ibrani “Adonai” diterjemahkan di dalam Kitab Septuaginta
(PL dalam bahasa Yunani) dengan kata Yunani, yaitu “Kurios” (Lord). Kata
“Kurios” ini juga digunakan untuk menterjemahkan kata YHWH (God). Kata Adonai
dalam Perjanjian Lama adalah kata ganti terhadap kata YHWH [Yehovah/ Yahwe],
yaitu kata yang penggunaannya terbatas, oleh karena bangsa Yahudi menolak untuk
mengucapkan kata tersebut karena takut menyebutkannya dengan tidak hormat, dan
dengan demikian melanggar perintah Allah, “Janganlah menyebut nama Tuhan [YHWH/
Yehovah] Allah-mu [Elohim] dengan tidak hormat” (lih. Kel 20: 7).
ALLAH SENDIRI MENGGUNAKAN PENYEBUTAN “TUHAN” DAN KATA GANTI LAIN
DALAM AL-QUR’AN
I. PENGERTIAN ILAAHUN
*Kata ilaahun terdiri atas tiga huruf: hamzah, lam, ha, sebagai pecahan dari kata laha – yalihu – laihan, yang berarti Tuhan yang Mahapelindung, Mahaperkasa. Ilaahun, jamaknya Aalihatun, bentuk kata kerjanya adalah alaha, yang artinya sama dengan ‘abada, yaitu ‘mengabdi’. Dengan demikian ilaahun artinya sama dengan ma’budun, ‘yang diabdi’. Lawannya adalah ‘abdun, ‘yang mengabdi’, atau ‘hamba’, atau ‘budak’.
*Kata ilaahun terdiri atas tiga huruf: hamzah, lam, ha, sebagai pecahan dari kata laha – yalihu – laihan, yang berarti Tuhan yang Mahapelindung, Mahaperkasa. Ilaahun, jamaknya Aalihatun, bentuk kata kerjanya adalah alaha, yang artinya sama dengan ‘abada, yaitu ‘mengabdi’. Dengan demikian ilaahun artinya sama dengan ma’budun, ‘yang diabdi’. Lawannya adalah ‘abdun, ‘yang mengabdi’, atau ‘hamba’, atau ‘budak’.
Selain ilaahun, dalam Al-Qur’an
juga terdapat kata Rabbun yang digunakan untuk menyebut Tuhan. Kata rabbun
terdiri atas dua huruf: ra dan ba, adalah pecahan dari kata tarbiyah, yang
artinya Tuhan yang Mahapengasuh. Secara harfiah rabbun berarti pembimbing, atau
pengendali. Selain dimaknai Allah, kata rabbun juga digunakan untuk sebutan
tuhan selain Allah, seperti paragraf ayat:
“ arbaban min dunillah”, menjadikan pendeta, pastur, dan Isa Al-Masih sebagai tuhan-tuhan selain Allah.
Dalam Al-Qur’an kata ilaahun juga dipakai untuk menyebut berhala, hawa nafsu, dewa. Semua istilah tersebut dalam Al-Qur’an menggunakan kata ilaahun, jamaknya aalihatun.
“ arbaban min dunillah”, menjadikan pendeta, pastur, dan Isa Al-Masih sebagai tuhan-tuhan selain Allah.
Dalam Al-Qur’an kata ilaahun juga dipakai untuk menyebut berhala, hawa nafsu, dewa. Semua istilah tersebut dalam Al-Qur’an menggunakan kata ilaahun, jamaknya aalihatun.
1.1. Allah Swt. Menyatakan Dia
sebagai ilaahun.
… إِنَّمَا ٱلله إِلَٰهٌ وَٰحِدٌ
سُبْحَٰنَهُۥ أَن يَكُونَ لَهُۥ وَلَدٌ لَّهُۥ مَا فِى ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَمَا فِى
ٱلْأَرْضِ وَكَفَىٰ بِٱللهِ وَكِيلً
“… Sesungguhnya Allah adalah Tuhan Yang Esa, Mahasuci Allah dari
mem¬punyai anak. Semua yang ada di langit dan di bumi hanyalah milik-Nya.
Cukuplah Allah sebagai saksi atas kebenaran keesaan-Nya.” (Qs. An-Nisaa’ 4:171)
1.2. Disisi lain Allah Swt.
Menyatakan hawa nafsu yang diikuti orang kafir ,juga sebagai ilaahun.
أَرَءَيْتَ مَنِ ٱتَّخَذَ إِلَٰهَهُۥ هَوَىٰهُ أَفَأَنتَ تَكُونُ
عَلَيْهِ وَكِيلًا
“Wahai Muhammad, apakah kamu
tidak memperhatikan orang-orang ka-fir yang menuhankan hawa nafsunya? Apakah
kamu punya kekuasaan untuk memberi hidayah kepada mereka?” (QS. Al-Furqan, 25:
43)
1.3. Allah Swt. Menyatakan
sesembahan orang musyrik sebagai ilaahun :
… فَمَآ أَغْنَتْ عَنْهُمْ
ءَالِهَتُهُمُ ٱلَّتِى يَدْعُونَ مِن دُونِ ٱللهِ مِن شَىْءٍۢ لَّمَّا جَآءَ
أَمْرُ رَبِّكَ وَمَا زَادُوهُمْ غَيْرَ تَتْبِيبٍ
“… Maka Tuhan-tuhan yang mereka sembah selain Allah itu tidak
dapat menolong mereka sedikit pun ketika datang adzab dari Tuhanmu. Tuhan-tuhan
itu justru menambah kerugian yang sangat besar.” (QS. Hud, 11: 101)
1.4. Allah Swt. Menyatakan para
pendeta sebagai rabbun :
ٱتَّخَذُوٓا۟ أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَٰنَهُمْ أَرْبَابًا مِّن دُونِ
ٱللهِ وَٱلْمَسِيحَ ٱبْنَ مَرْيَمَ وَمَآ أُمِرُوٓا۟ إِلَّا لِيَعْبُدُوٓا۟
إِلَٰهًا وَٰحِدًا لَّآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ۚ سُبْحَٰنَهُۥ عَمَّا يُشْرِكُونَ
“Kaum Yahudi dan Nasrani telah menjadikan pendeta-pendeta
mereka, pastur-pastur mereka, dan Al-Masih bin Maryam sebagai tuhan-tuhan
selain Allah. Padahal mereka hanya diperintah untuk beribadah kepada Tuhan Yang
Maha Esa, tidak ada tuhan selain Allah. Mahasuci Allah dari semua keyakinan
syirik yang mereka buat-buat.” (Qs. At-Taubah, 9:31)
Maka kata
ilaahun dan rabbun sesungguhnya adalah bahasa asli Arab jahiliyah yang
dipertahankan penggunaannya dalam Al-Qur’an, sebagaimana contoh di atas,dimaksud
bahwa Allah menyesuaikan dengan pemahaman bahasa yang dimengerti kaumnya.
(Bayangkan jika Al-Qur’an tidak cerdas,bahasanya tidak difahami oleh orang Arab,tentu akan semakin diolok-olok oleh kaum jahiliyyah).
(Bayangkan jika Al-Qur’an tidak cerdas,bahasanya tidak difahami oleh orang Arab,tentu akan semakin diolok-olok oleh kaum jahiliyyah).
Orang-orang Arab sebelum Islam,
memahami makna kata ilaahun sebagai dewa atau berhala, dan mereka gunakan dalam
percakapan sehari-hari. Apabila orang Arab Jahiliyah menyebut dewa cinta, maka
mereka mengatakan ilaahul hubbi, dan ilaahatul hubbi untuk menyebut dewi cinta.
Kaum penyembah berhala (animisme), atau aliran kepercayaan di zaman kita
sekarang, sebagaimana orang-orang Arab Jahiliyah, menganggap tuhan mereka
berjenis kelamin, laki dan perempuan.
Demikian sobat,
Maka sekarang bolehkah umat Islam menyebut Allah dengan nama-nama dari
bahasa-bahasa non-Arab ? Secara bijaksana ,jawabnya boleh-boleh saja, toh kita
di Indonesia juga menggunakan istilah Tuhan untuk menterjemahkan istilah Robb,
dan itu tidak perlu dipermasalahkan.Namun yang perlu
diwaspadai oleh umat Islam adalah jangan sampai terjebak pada nama-nama yang
mengarah pada keberhalaan (bersifat syirik) :
“Dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran
dalam menyebut nama-namaNya, Kelak, mereka akan mendapatkan balasan terhadap
apa yang mereka kerjakan.” – Qs. 7 al-a’raaf : 180
Bagaimana sekarang ? Sudah
memahami semua ini ? Sebab akupun kini telah memahami dari tulisan yang ku
susun sendiri ini. Oleh karena itu, sobat budiman pembaca terjemah Al-Qur’an
tidak perlu alergi terhadap kata “Tuhan” sebagai terjemahan dari kata ilaahun dan
rabbun. Umat Islam yang kini sudah mengetahui ilmunya tidak perlu harus merasa
khawatir luntur aqidahnya, karena ini hanya problem bahasa masing masing umat
dan keterbatasan kosa kata bahasa Indonesia.
2. PENGERTIAN RABB DALAM AL-QUR’AN DAN AS-SUNNAH.
(Oleh Sheikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan) :
Rabb adalah bentuk mashdar,
berasal dari “Rabba–Ya Rubbu”,yang berarti mengembangkan sesuatu dari satu
keadaan pada keadaan lain,sampai pada keadaan yang sempurna.
Jadi, Rabb adalah kata mashdar
yang dipinjam untuk fa’il (pelaku). Kata-kata Ar-Rabb tidak disebut sendirian,
kecuali untuk Allah Ta’ala yang menjamin kemaslahatan seluruh makhluk. Adapun
jika diidhafahkan (ditambahkan kepada yang lain), maka hal itu bisa untuk Allah
dan bisa untuk lainNya. Seperti Firman Allah Ta’ala:
“Tuhamu dan Tuhan nenek-nenek moyang kamu yang dahulu,”.(QS
Asy-Syuara: 26).
Dikatakan “rabbuddaari” dalam
ayat tersebut berarti tuan rumah, pemilik rumah, atau pemilik kuda, dan
diantaranya lagi dalah perkataan Nabi Yusuf alaihissalam yang difirmankan oleh
Allah Ta’ala:
“Dan Yusuf Berkata kepada orang yang diketahuinya akan selamat
diantara mereka berdua: “Terangkanlah keadaanku kepada tuanmu.” Maka syaitan
menjadikan dia lupa menerangkan (keadaan Yusuf) kepada tuannya. Karena itu
tetaplah dia (Yusuf) dalam penjara beberapa tahun lamanya.”.(QS.Yusuf:42).
Dan Firman Allah Ta’ala:
“Raja berkata: “Bawalah dia kepadaku.” Maka tatkala utusan itu
datang kepada Yusuf, berkatalah Yusuf: “Kembalilah kepada tuanmu dan
tanyakanlah kepadanya bagaimana halnya wanita-wanita yang Telah melukai
tangannya. Sesungguhnya Tuhanku, Maha mengetahui tipu daya mereka.” (QS Yusuf:
50).
“Hai kedua penghuni penjara: “Adapun salah seorang diantara kamu
berdua, akan memberi minuman tuannya dengan khamar; adapun yang seorang lagi
Maka ia akan disalib, lalu burung memakan sebagian dari kepalanya. Telah
diputuskan perkara yang kamu berdua menanyakannya (kepadaku)”.(QS.Yusuf:41).
Rasulullah
bersabda dalam hadist “unta yang hilang,”
“sampai sang pemilik menemukannya.”
“sampai sang pemilik menemukannya.”
Maka jelaslah bahwa kata Rabb
diperuntukkan untuk Allah, jika ma’rifat dan mudhaf, sehingga kita mengatakan
misalnya: “Rabbu” (Tuhan Allah), “Rabbul’alamiin” (Penguasa semesta alam), atau
“Rabbunnas” (Tuhan manusia).Dan tidak diperuntukkan kepada selain Allah Ta’ala
kecuali jika diidhafahkan, misalnya: “Rabbuddaar” (tuan rumah), atau “Rabbul
ibiil” (pemilik unta), dan lainnya.
Makna “Rabbul’alamiin” adalah
Allah Ta’ala Pencipta alam semesta, Pemilik, Pengurus, dan Pembimbing mereka
dengan segala nikmatNya, serta dengan mengutus para rasulNya, menurunkan
kitab-kitabNya, dan Pemberi balasan atas segala perbuatan makhlukNya.
MENGAPA ALLAH MENGGUNAKAN KATA “KAMI” , “HU” (Dia Laki-Laki),
DALAM AL-QUR’AN ?
Apa maksudnya ? Apakah berarti
Tuhan itu lebih dari satu ? Apakah berarti bahwa tuhan itu bergender ?
Sahabat,perkara ini telah sering
menjadikan perdebatan kusir diantara sesama dan bahkan telah menjadi ajang
pembenaran argumentasi pihak non muslim bahwa Tuhan itu dapat bersifat plural
atau dapat disetarakan dengan unsur-unsur lain.
Dan sebenarnya
pertanyaan-pertanyaan ini sudah dijawab dari sejak jaman dulu oleh Ulama alim
dan Ahli Tafsir,dimana para ulama dari agama lain selalu mempertanyakan,setiap
kali melihat terjemahan Al-Quran semacam ini dari masa-ke-masa, MENYANGKA dan
BERTANYA apakah kata “KAMI” dan “HU” (Dia Laki-Laki),dalam Al-Quran adalah
“Tuhan yang dapat disetarakan dengan unsur lain,serta bergender”. Padahal dalam
ayat lain Al-Qur’an sudah mengunci jawaban, yakni bahwa Allah Swt itu Tunggal
.Seperti salah satunya ditegaskan dalam Surah QS.112.Al-Ikhlas:01.
Tak kenal maka tak sayang,ketidak
tahuan akan membuat kita tenggelam ke dalam kebimbangan dan kegelapan alam
pikir.
BERIKUT PENJABARANNYA :
Semua perkara
yang tersebut diatas sesungguhnya hanya masalah tata bahasa.Di antara uslub (metode) bahasa Arab
adalah bahwa seseorang dapat menyatakan tentang dirinya dengan kata ganti
‘nahnu’ (kami) untuk menunjukkan penghormatan. Atau Allah menyebut dirinya
dengan dhamir (kata ganti) ‘أنا’ (saya)
atau dengan kata ganti ketiga seperti : هو’ (dia).
PRONOMINA atau DHAMIR atau KATA GANTI ALLAH,RABB dan BENDA lain
dalam AL-QUR’AN :
Bahwa tata
bahasa AL-QUR’AN itu berbeda jauh dengan tata bahasa bangsa manapun didunia
dalam hal penjabaran pemaknaan dari sebuah kalimat maupun padanan kata.Dalam bahasa AL-QUR’AN,jika sebuah
kalimat dirubah satu tanda bacanya saja akan merubah artinya,apalagi
menambah/merubah satu huruf,maka akan jauh berbeda maknanya,juga padanan kata.
1. MENGAPA ALLAH MENGGUNAKAN KATA
“KAMI” , “AKU”
Dalam tata bahasa
Arab,(GRAMMAR/NAHU SARAF), ada kata ganti (DHAMIR / PRONOMINA) pertama
(singular) “AKU”,dengan kalimat :”Ana” ,Dan ada kata ganti pertama (plural) “AKU”,dengan
kalimat : “Nahnu”. Akan tetapi dalam bahasa Arab, kata ganti pertama plural
dapat dan sering, difungsikan sebagai singular. Hal ini disebut “Al-Mutakallim
Al-Mu’adzdzim li Nafsih-i”, Adalah kata ganti pertama yang memuat makna sebagai
tanda “PENGHORMATAN”.
Metode ini terdapat dalam
Al-Quran dan Allah Ta’ala menyampaikan kepada bangsa Arab apa yang dipahami
dalam bahasa mereka”.(Fatawa Lajnah Daimah, 4/143)
Allah SWT terkadang menyebutkan dirinya dengan sighoh mufrad (sendiri) secara nampak atau mudhmar (tersembunyi). Tekadang dengan shigoh jama’. Seperti firman-Nya,
Allah SWT terkadang menyebutkan dirinya dengan sighoh mufrad (sendiri) secara nampak atau mudhmar (tersembunyi). Tekadang dengan shigoh jama’. Seperti firman-Nya,
“Sesungguhnya kami telah taklukkan bagi kamu (Muhammad) dengan
penaklukan yang nyata…..”.
Maka Al-Qur’an
tidak pernah menyebutkan nama-Nya dengan shighoh tatsniyah (bentuk dua). Karena
shigoh jama’ mengandung pengagungan yang layak bagi-Nya. Terkadang menunjukkan
makna nama-nama-Nya. Sementara sighoh tatsniyah (bentuk dua) menunjukkan
bilangan tertentu. Dan Dia tersucikan dari itu.
(Reff:‘Al-Aqidah At-Tadmuriyah karangan Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah, hal. 75).
(Reff:‘Al-Aqidah At-Tadmuriyah karangan Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah, hal. 75).
Lafaz “Inna” ( إنا))
dan “Nahnu” (نحن) atau selainnya termasuk bentuk jamak,
tapi dapat diucapkan untuk menunjukkan seseorang yang mewakili kelompoknya,
atau dapat pula disampaikan mewakili seseorang yang nomor satu. Sebagaimana dilakukan
oleh Presiden apabila ia mengeluarkan keputusan atau ketetapan, maka dia
berkata, “Kami tetapkan…” atau semacamnya, padahal dia yang menetapkan itu
hanyalah satu orang. Akan tetapi diungkapkan demikian untuk menunjukkan
keagungan. Maka yang paling berhak diagungkan oleh setiap orang adalah Allah
Azza wa Jalla. Maka jika Allah mengatakan dalam Kitab-Nya, (إنا),
sesungguhnya Kami, atau (نحن), kami, itu adalah bentuk pengagungan,
bukan menunjukkan bilangan.
Ini karena dhamir ‘NAHNU’ yang dalam Tata Bahasa umum sebagai bentuk jamak yang diartikan sebagai “kita” atau “kami” (plural),tetapi dalam ilmu NAHU SOROF,kalimat “NAHNU” tersebut diartikan sebagai bermakna :”AKU / SAYA” dalam bentuk singular/Tunggal yang merupakan bentuk kalimat penghormatan atau bahasa sopan (Kromo inggil-Jawa).
Ini karena dhamir ‘NAHNU’ yang dalam Tata Bahasa umum sebagai bentuk jamak yang diartikan sebagai “kita” atau “kami” (plural),tetapi dalam ilmu NAHU SOROF,kalimat “NAHNU” tersebut diartikan sebagai bermakna :”AKU / SAYA” dalam bentuk singular/Tunggal yang merupakan bentuk kalimat penghormatan atau bahasa sopan (Kromo inggil-Jawa).
Karena dalam tata bahasa bangsa
lain tidak memiliki perbendaharaan seperti dalam Tata Bahasa Arab ini,maka
kalimat ‘NAHNU”(Aku dengan konotasi penghormatan), hanya bisa diterjemahkan
dengan kalimat “KAMI” ke dalam bahasa Indonesia atau “WE” dalam Bahasa
Inggris,sehingga bagi yang tidak memahami seolah bermakna “jamak”.
Selain kata ‘Nahnu’, ada juga
kata ‘ANTUM (KAMU), yang sering digunakan untuk menyapa lawan bicara meski
hanya satu orang. Padahal makna `antum` adalah kalian (jamak).
Maka terjemahan “ANTUM” dalam
bahasa Arab yang berarti “KAMU”,ketika kita menyapa lawan bicara kita dengan
panggilan ‘antum’, maka secara kandungan bahasa, merupakan panggilan sopan dan
ramah serta sebagai penghormatan ketimbang menggunakan sapaan “Anta , Ente”
Atau dalam bahasa sehari-hari
kita,memanggil lawan bicara dengan panggilan :
-“KAMU , LOE , SITU”,maka akan
berkesan adanya penghormatan jika diganti dengan kata, ”Anda, Gus atau “Tuan,
Nyonya/Ibu/Bapak”.
Dalam bahasa Jawa, Sunda :
-Koe / rika / nyong /awakmu,aing
dan sebagainya,maka akan lebih mengapresiasikan penghormatan dengan kalimat
panggilan : “Panjenengan/sampeyan/sliramu/abdi/anjeun”, dan sebagainya. (Ini
disebut “Ngajeni” /sopan dalam bahasa Jawa/Sunda)
Dalam bahasa Inggris :
-I (am) = saya, aku.
-You = kamu
-We = kami
-They = Mereka
-He = dia (laki-laki)
-She = dia (wanita)
-It = dia (benda & hewan)
-You = kamu
-We = kami
-They = Mereka
-He = dia (laki-laki)
-She = dia (wanita)
-It = dia (benda & hewan)
BANDINGKAN DENGAN BAHASA ARAB :
-Huwa = dia (laki-laki)
-Huma = dia berdua (laki-laki)
-Hum = mereka (laki-laki)
-Hiya = dia (perempuan)
-Huma = dia berdua (perempuan)
-Hunna = mereka (perempuan)
-Anta = kamu (laki-laki)
-Antuma = kamu berdua (laki-laki)
-Antum = kalian (laki-laki)
-Anti = kamu (perempuan)
-Antumah = kamu berdua (perempuan)
-Antunna = kalian (perempuan)
-Ana = Saya, Aku
-Nahnu ( kami-aku, dengan bahasa penghormatan)
-Huma = dia berdua (laki-laki)
-Hum = mereka (laki-laki)
-Hiya = dia (perempuan)
-Huma = dia berdua (perempuan)
-Hunna = mereka (perempuan)
-Anta = kamu (laki-laki)
-Antuma = kamu berdua (laki-laki)
-Antum = kalian (laki-laki)
-Anti = kamu (perempuan)
-Antumah = kamu berdua (perempuan)
-Antunna = kalian (perempuan)
-Ana = Saya, Aku
-Nahnu ( kami-aku, dengan bahasa penghormatan)
Dari perbendaharaan kata diatas,
jika kita rangkai kalimat atau digabungkan dengan ‘kata kerja’, maka akan
mengalami perubahan.
Contoh kata ,”fa’ala” =melakukan
/ “do” dalam Inggris,jika ditempatkan dengan kata-kata diatas maka akan
menjadi:
a). “yaf’alu” =dia (seorang
lak-laki) melakukan…,
b). “yaf’alaani”=dia dua orang lak-laki melakukan…,
c).”yaf’aluuna” =mereka (laki-laki) melakukan…,
b). “yaf’alaani”=dia dua orang lak-laki melakukan…,
c).”yaf’aluuna” =mereka (laki-laki) melakukan…,
Maka Kata ‘Nahnu’ (Kami,Alloh)
yang berasal dari akar kata “ANNA”, dalam Al-Qur’an,tidak bermakna banyak,
tetapi tetap bermakna “AKU TUNGGAL” yang menunjukkan keagungan Allah SWT,Tuhan
Semesta Alam. Ini dipelajari dalam ilmu balaghah.
Contoh:
Dalam bahasa kita ada juga penggunaan kata “Kami” tapi bermakna tunggal. Misalnya seorang Lurah dalam pidato sambutan berkata.
Dalam bahasa kita ada juga penggunaan kata “Kami” tapi bermakna tunggal. Misalnya seorang Lurah dalam pidato sambutan berkata.
”Kami sebagai Lurah berpesan…bla
…bla….”
Padahal si Lurah hanya dia
sendiri dan tidak banyak, tapi dia bilang “Kami”. Lalu apakah kalimat itu
bermakna bahwa seorang Lurah yang sedang pidato itu berjumlah banyak?
Contoh lain :
Pada orang-orang yang telah fasih
dengan Tata Bahasa Arab tentu akan paham, atau setidaknya orang pesantren
“klotokan” yang bahasa sehari-harinya lazim menggunakan bahasa Arab Seperti di
Pondok Pesantren Gontor,Tebu Ireng dan lainnya, tentu akan paham makna
penggunaan kata “Nahnu” (kami).
-Maka kalimat,”Nahnu” (kami),
dapat digunakan untuk lebih dari satu yaitu “kami” (plural – jamak),namun dapat
juga untuk “satu orang” yaitu yang dimaksudkan “saya-sendiri” dengan makna
“Bahasa santun”. (dalam Bahasa Arab).
Contoh lain lagi :
Penggunaan kata : “Antum”
(kalian), memang bisa digunakan untuk lebih dari satu yaitu “Kalian” (plural –
jamak), Namun dapat juga untuk satu orang, yaitu yang dimaksudkan “Anda”
,”Tuan” , “Bapak/Ibu”,dengan makna bahasa santun ,dalam Bahasa Arab.Bandingkan
dengan jika kita mengatakan kata,”KAMU, LOE , SITU, ENTE”,yang diucapkan kepada
orang tua atau Bos.
Maka bukan berarti “Antum” ini
bermakna “kalian” (jamak) akan tetapi bermakna tunggal sebagai PENGHORMATAN dan
PENGAGUNGAN. Inilah yang disebut “Al-Mutakallim Al-Mu’adzdzim li Nafsih-i”.
Cobalah RENUNGKAN akan hal ini !
-Maka penyebutan kata “KAMI” yang
digunakan dalam Al-Qur’an ketika Allah berfirman,(yang dalam bahasa Arab adalah
“NAHNU” juga “INNA” atau kata kerja yang diakhiri dengan huruf “NAA”),adalah
merupakan bentuk kalimat pengagungan yang tetap bermakna, “AKU”, Tuhan Yang
Tunggal dan Maha Perkasa.
-Juga acapkali Allah
Swt,menggunakan kata “AKU”, “DIA”, didalam Al Qur’an.(dalam bahasa Arab adalah
“ANA” , “INNI” dan “HUWA“, atau kata kerja yang diakhiri dengan huruf “TU”,
atau juga langsung dengan lafadz “Allah” sendiri, begitu pula dengan kata “Dia”
/ “Huwa”).Maka tata bahasa seperti ini tidak ada dalam tata bahasa bangsa lain
termasuk dalam tata bahasa Indonesia.
2. Mengapa Allah Swt menggunakan kata ganti (dhamir) “HU” (Dia-
laki-laki) untuk diri-Nya dalam al-Qur’an?
*Sebab mengapa Allah Swt dalam
Al-Qur’an menggunakan “HU” (kata ganti ketiga-Maskulin) untuk diri-Nya adalah
lantaran Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab dan penggunaan “HU” (pronomina
III -Maskulin), bagi Allah Swt telah sesuai dengan kaidah dan sastra bahasa
Arab.
Karena Allah Swt bukan muannats
(feminim) hakiki dan juga bukan mudzakkar (maskulin) hakiki dan juga tidak
menggunakan penggunaan qiyâsi (mengikuti kaidah tertentu) dan simâi muannats
majâzi (figuratif). Karena itu, berdasarkan kaidah bahasa Arab yang harus
digunakan untuk Zat Allah Swt adalah pronomina dalam bentuk maskulin figuratif
(mudzakkar majâzi). Di samping itu, tanda-tanda literal maskulin dan feminin
bukan sebagai penjelas kedudukan dan derajat yang mengandung nilai (value).
Bahasa al-Qur’an adalah bahasa
Arab. Bahasa Arab berbeda dengan bahasa-bahasa lainnya menggunakan dua jenis
kata ganti dan pronomina (dhamir) orang ketiga laki-laki (mudzakkar) dan kata
ganti orang ketiga perempuan (muannats). Suatu hal yang natural bahwa setiap
buku atau kitab yang ingin ditulis menggunakan bahasa ini, kendati ia merupakan
kitab Ilahi, maka ia harus mengikuti kaidah-kaidah bahasa tersebut dan gramatikanya.
Bahasa Arab, karena tidak
memiliki kata ganti orang ketiga waria (khuntsa), sebagian hal yang tidak
memiliki jenis kelamin dinyatakan dengan kata ganti orang ketiga laki-laki
(dhamir mudzakkar). Namun, yang semisal dengan masalah ini, juga terdapat dalam
bahasa-bahasa yang lain, seperti bahasa Prancis. Dengan bersandar pada poin ini
dapat diambil kesimpulan bahwa pernyataan kata ganti orang ketiga laki-laki,
sama sekali tidak ada kaitannya dengan sifat kelaki-lakian.
Pada kenyataannya, dapat dikatakan
bahwa al-Qur’an tidak didominasi oleh pandangan patriarkial yang berkembang
pada budaya zamannya, melainkan sebuah tipologi bahasa yang mengkondisikan
pembicaranya supaya memperhatikan dan mematuhi hal tersebut. Karena itu,
Al-Qur’an, dengan alasan diturunkan dan diwahyukan dalam bahasa Arab, bertutur
kata dengan wacana ini dan menggunakan pronomina-pronomina dan redaksi maskulin
(mudzakkar) yang selaras dan sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa Arab.
Dengan kata lain, dari satu sisi,
dalam bahasa Arab, nomina-nomina (asmâ) dan verba-verba (af’âl) (selain verba
kata ganti orang pertama tunggal [mutakkalim wahdah] dan kata ganti orang
pertama jamak [mutakallim ma’a al-ghair]) memiliki dua jenis: laki-laki atau
maskulin (mudzakkar) dan perempuan atau feminin (muannats). Maskulin dan
feminin ini terbagi lagi menjadi hakiki dan majâzi (figuratif). Seluruh entitas
yang memiliki alat kelamin pria dan wanita adalah maskulin dan feminin hakiki
(mudzakkar dan muannats hakiki). Selainnya adalah figuratif (majâzi).
Maskulin hakiki seperti “rajul”
(pria) dan “jamal” (unta jantan). Feminin hakiki seperti “imraat” (wanita) dan
“naqah” (unta betina). Maskulin figuratif (mudzakkar majazi) seperti “qalâm”
(pena) dan “jidâr” (dinding). Feminin figuratif (muannats majazi) seperti “dâr”
(rumah) dan “ghurfah” (kamar). Penggunaan muannats majazi dalam hal-hal seperti
nama-nama kota, anggota badan yang berpasangan memiliki kaidah dan dalam
hal-hal lainnya tidak mengikut kaidah tertentu (qiyâsi) dan bersifat simâi.
Simâi artinya bahwa yang menjadi kriteria adalah semata-mata mendengar
orang-orang yang berbahasa Arab dan harus diperhatikan orang-orang Arab
menggunakannya dalam bidang apa. Apabila hal tersebut bukan termasuk muannats
hakiki dan muannats majâzi dan juga bukan mudzakkar hakiki maka tentulah ia
merupakan mudzakkar majâzi.[1]
Dari sisi lain, karena Allah Swt
tidak melahirkan juga tidak dilahirkan. Demikian juga tiada yang
menyerupainya[2] dan juga bukan termasuk hal-hal yang terkait dengan penggunaan
qiyâsi (mengikuti kaidah tertentu) dan simai muannats majâzi. Karena itu,
berdasarkan kaidah bahasa Arab yang harus digunakan untuk Zat Allah Swt adalah
kata ganti-kata ganti, nama-nama dan sifat-sifat dalam bentuk mudzakkar majâzi
(maskulin figuratif).
Poin ini juga
harus mendapat perhatian bahwa tanda-tanda literal muannats dan mudzakkar tidak
mengandung nilai tertentu dan tidak menunjukkan tanda dan dalil atas kemuliaan
dan kedudukan seseorang. Karena itu, apabila tanda-tanda literal mudzakkar,
menunjukkan kemuliaan dan kedudukan tertentu seseorang, dan memiliki nilai
tertentu, maka untuk selain manusia dan sebagian makhluk rendah seperti setan
dan iblis… tidak boleh menggunakan kata kerja-kata kerja atau nomina-nomina
atau pronomina-pronomina dan seterusnya yang memuat tanda-tanda literal
mudzakkar.
Demikian juga, apabila tanda-tanda literal muannats merupakan dalil dan tanda kekurangan dan minus nilai maka entitas-entitas yang sarat nilai seperti matahari (syams), bumi (ardh), kaum pria (al-Rijal), air (ma’) dan sebagainya dan sebaik-baik perbuatan dan kedudukan seperti sembahyang (shalat), zakat, surga (jannat) tidak akan dinyatakan dalam bentuk literal muannats.[3]
Reff:
[1]. Sharf Sâdeh, hal. 28 dan 145.
[2]. Lam yalid wa lam yulad (Qs. Al-Ikhlas [114]:3). Laisa kamitsli syai (Qs. Al-Syura [42]:11)
[3]. Silahkan lihat, Zan dar Âine Jalâl wa Jamâl, Jawadi Amuli, hal. 78.
*http://quran.al-shia.org/id/lib/101.html
Demikian juga, apabila tanda-tanda literal muannats merupakan dalil dan tanda kekurangan dan minus nilai maka entitas-entitas yang sarat nilai seperti matahari (syams), bumi (ardh), kaum pria (al-Rijal), air (ma’) dan sebagainya dan sebaik-baik perbuatan dan kedudukan seperti sembahyang (shalat), zakat, surga (jannat) tidak akan dinyatakan dalam bentuk literal muannats.[3]
Reff:
[1]. Sharf Sâdeh, hal. 28 dan 145.
[2]. Lam yalid wa lam yulad (Qs. Al-Ikhlas [114]:3). Laisa kamitsli syai (Qs. Al-Syura [42]:11)
[3]. Silahkan lihat, Zan dar Âine Jalâl wa Jamâl, Jawadi Amuli, hal. 78.
*http://quran.al-shia.org/id/lib/101.html
PENERAPAN KALIMAT ALLAH DAN PRONOMINA “TUHAN-AKU-DIA-KAMI DAN
RABB”, DALAM AL-QUR’AN :
Telah diketahui bahwa terjemahan
“Tuhan” berasal dari “ILAAHUN” dan “RABB”, kemudian kata ganti “AKU” dari
“ANA”, kata ganti “DIA” dari “HU”, sedangkan kata ganti “KAMI” dari “INNA /
NAHNU”,maka pecahan pecahan tersebut semuanya berasal dari satu sumber kalimat
agung, yakni berasal dari kalimah “ALLAH”.
Mari kita jabarkan :
Lafaz ALLAH terdiri dari empat
huruf,yaitu : ALIF-LAM-LAM dan HA.
1. Jika huruf pertama ditiadakan,
maka yang ada lafaz “LILLAH”.
2. Jika huruf LAM pertama ditiadakan,maka yang ada lafaz “ILAAHUN”.
3. Jika kedua huruf LAM ditiadakan, maka yang ada lafaz “HU”.
4. Jika tiga huruf terakhir ditiadakan, maka muncul symbol “ALIF”.
2. Jika huruf LAM pertama ditiadakan,maka yang ada lafaz “ILAAHUN”.
3. Jika kedua huruf LAM ditiadakan, maka yang ada lafaz “HU”.
4. Jika tiga huruf terakhir ditiadakan, maka muncul symbol “ALIF”.
Makna LILLAH :
Mengejawantahkan dzat bagi “TEMPAT SEMUA KEMBALI atau SEGALA SESUATU HANYA DARI,UNTUK dan PADA ALLAH,entah segala penciptaan,peribadatan,pengabdian serta ketergantungan seluruh alam semesta dan makhluk makhluk-Nya.
Mengejawantahkan dzat bagi “TEMPAT SEMUA KEMBALI atau SEGALA SESUATU HANYA DARI,UNTUK dan PADA ALLAH,entah segala penciptaan,peribadatan,pengabdian serta ketergantungan seluruh alam semesta dan makhluk makhluk-Nya.
Makna ILAAHUN :
Kata ilaahun terdiri atas tiga huruf: hamzah, lam, ha, sebagai pecahan dari kata laha – yalihu – laihan, yang berarti Tuhan yang Mahapelindung, Mahaperkasa. Ilaahun, jamaknya Aalihatun, bentuk kata kerjanya adalah alaha, yang artinya sama dengan ‘abada, yaitu ‘mengabdi’. Dengan demikian ilaahun artinya sama dengan ma’budun, ‘yang diabdi’. Lawannya adalah ‘abdun, ‘yang mengabdi’, atau ‘hamba’, atau ‘budak’.Maka ILAAHUN yang dalam bahasa Indonesia Tuhan Yang Maha Esa, mengejawantahkan Dia,Tuhan, Allah yang tidak ada tuhan tuhan lain dan sembahan sembahan lain selain Allah,tanpa reserve.
Kata ilaahun terdiri atas tiga huruf: hamzah, lam, ha, sebagai pecahan dari kata laha – yalihu – laihan, yang berarti Tuhan yang Mahapelindung, Mahaperkasa. Ilaahun, jamaknya Aalihatun, bentuk kata kerjanya adalah alaha, yang artinya sama dengan ‘abada, yaitu ‘mengabdi’. Dengan demikian ilaahun artinya sama dengan ma’budun, ‘yang diabdi’. Lawannya adalah ‘abdun, ‘yang mengabdi’, atau ‘hamba’, atau ‘budak’.Maka ILAAHUN yang dalam bahasa Indonesia Tuhan Yang Maha Esa, mengejawantahkan Dia,Tuhan, Allah yang tidak ada tuhan tuhan lain dan sembahan sembahan lain selain Allah,tanpa reserve.
Makna HU :
“HU”,yang berasal dari bagian asma Allah,di dalamnya tersembunyi hakekat ”HUWA”,adalah Dia Yang Maha Mutlak,tak terbanding dan setarakan(awyakta-Sanskert).Karena sebelum datangnya islam bangsa Arab jahiliyyah menganggap bila Tuhan itu dapat setara dengan materi dan berjenis kelamin laki laki.Maka setelah dunia yang jahil diterangi Islam,Allah meminjam kosa kata yang telah dipahami oleh bangsa Arab ini sebagai bentuk tandingan,bahwa “HU” (Dia,Tuhan yang bukan laki laki maupun perempuan dan tak dapat disetarakan dengan lainnya),dengan di idhafahkan menjadi : “Hu, Allahhu ahad,Allahussomad – Dia,Allah Yang Maha Esa,tempat semua bergantung,tidak beranak dan diperanakkan”, artinya Allah tidak dapat disetarakan dengan materi, gender laki laki/perempuan.(QS.112.Al-Ikhlas :1-4).
“HU”,yang berasal dari bagian asma Allah,di dalamnya tersembunyi hakekat ”HUWA”,adalah Dia Yang Maha Mutlak,tak terbanding dan setarakan(awyakta-Sanskert).Karena sebelum datangnya islam bangsa Arab jahiliyyah menganggap bila Tuhan itu dapat setara dengan materi dan berjenis kelamin laki laki.Maka setelah dunia yang jahil diterangi Islam,Allah meminjam kosa kata yang telah dipahami oleh bangsa Arab ini sebagai bentuk tandingan,bahwa “HU” (Dia,Tuhan yang bukan laki laki maupun perempuan dan tak dapat disetarakan dengan lainnya),dengan di idhafahkan menjadi : “Hu, Allahhu ahad,Allahussomad – Dia,Allah Yang Maha Esa,tempat semua bergantung,tidak beranak dan diperanakkan”, artinya Allah tidak dapat disetarakan dengan materi, gender laki laki/perempuan.(QS.112.Al-Ikhlas :1-4).
Symbol ALIF :
Sedangkan symbol ALIF merupakan kata sandang “AL” atau dalam bahasa Indonesia adalah “SANG” atau dalam bahasa Inggris “THE”,yang mengejawantahkan bahwa ALLAH adalah dzat Maha Tersembunyi namun exis. Dan dari symbol ALIF memancar 99 asmaul Husna,yang huruf ALIF tersebut hanya satu karakter yakni bentuk karakter garis strip vertikal tunggal yang mempunyai makna rahasia paling rahasia yang direliefkan dalam beberapa awalan surat surat Al-Qur’an yakni ALIF-LAAM-RAA , ALIF – LAAM – MIM , yang setiap nama nama ASMAUL HUSNA selalu menggunakan kata sandang “AL”,yang dawalii dengan huruf Alif, kemudian ayat pertama turun diawali dengan huruf ALIF,yang setiap membaca ayat-ayat-Nya dimulai dengan Bismillah,sedang huruf bismillah diawali dengan karakter ALIF.
Sedangkan symbol ALIF merupakan kata sandang “AL” atau dalam bahasa Indonesia adalah “SANG” atau dalam bahasa Inggris “THE”,yang mengejawantahkan bahwa ALLAH adalah dzat Maha Tersembunyi namun exis. Dan dari symbol ALIF memancar 99 asmaul Husna,yang huruf ALIF tersebut hanya satu karakter yakni bentuk karakter garis strip vertikal tunggal yang mempunyai makna rahasia paling rahasia yang direliefkan dalam beberapa awalan surat surat Al-Qur’an yakni ALIF-LAAM-RAA , ALIF – LAAM – MIM , yang setiap nama nama ASMAUL HUSNA selalu menggunakan kata sandang “AL”,yang dawalii dengan huruf Alif, kemudian ayat pertama turun diawali dengan huruf ALIF,yang setiap membaca ayat-ayat-Nya dimulai dengan Bismillah,sedang huruf bismillah diawali dengan karakter ALIF.
Selain ilaahun, dalam Al-Qur’an
juga terdapat kata Rabbun yang digunakan untuk menyebut Tuhan. Kata rabbun
terdiri atas dua huruf: ra dan ba, adalah pecahan dari kata tarbiyah, yang
artinya Tuhan yang Mahapengasuh. Secara harfiah rabbun berarti Pembimbing,
Pemelihara dan Pengendali.
A.PENERAPAN KALIMAT “AKU” :
Ketika Alloh
menggunakan kata ganti diri-Nya dengan kalimat “aku/Ana”,maka dipergunakan
untuk menegaskan kepemilikan dan sumber tuju atas segala sesuatu yang ada
dialam semestaini.Maka Allah Yang Maha
berkuasa, tempat meminta dan berhak memberi sesuai kehendak-Nya.Tiada yang lain yang berkemampuan
seperti ini,tidak ada libatan pengaruh maupun tekanan dari makhluk lain.Segala
sesuatu yang langsung ditangani dibawah kekuasaan dan kekuatan-Nya.Inilah
merupakan bentuk “LITTA’DZHIIM” (menunjukkan Keagungan dan Kebesaran seorang
diri/Tunggal tanpa melibatkan unsur lain saat berkehendak).
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya
mereka menyembah-Ku.” (QS.AdzDzaariyaat : 56)
“Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula)
kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari
(nikmat)-Ku”.(QS. 2. Al Baqarah:152).
B.PENGGUNAAN KALIMAT “ALLAH” PADA DIRINYA SENDIRI:
Lafaz Allah
adalah lafzhul Jalalah, lafaz yang tidak dapat dirubah hurufnya dan diganti
menjadi lafaz lain.Nama yang asing bagi
bangsa Arab dan dunia sebelum datangnya Islam.Kosakata yang belum pernah ada sebelumnya.Dia sendiri yang menamai dirinya
dengan ALLAH (QS.28:68-70).
Digunakan untuk
menunjukkan jatidiri serta keberadaannya (existensi) untuk diketahui dan
dikenal,bahwa Dia,Tuhan Sang Penguasa alam semesta dengan kekuatan-Nya yang
Maha Dahsyat,yang tidak ada makhluq lainpun yang dapat menyamai Keagungan dan
Kekuatan –Nya.Hanya kepada Allah
saja semua makhluk mengabdi.
Contoh penggunaan kalimat yang
menyebut Allah dengan nama dirinya sendiri:
يُظْلَمُونَ لا وَهُمْ كَسَبَتْ بِمَا نَفْسٍ كُلُّ
جْزَىتُلِوَبِالْحَقِّ وَالأرْضَ السَّمَاوَاتِ اللَّهُ وَخَلَقَ
“Dan Allah menciptakan langit dan bumi dengan tujuan yang benar
dan agar dibalasi tiap-tiap diri terhadap apa yang dikerjakannya, dan mereka
tidak akan dirugikan”. (QS.Al-Jaatsiyah : 22).
“Dan apakah mereka tidak memperhatikan bahwasanya Allah yang
menciptakan langit dan bumi adalah kuasa (pula) menciptakan yang serupa dengan
mereka, dan telah menetapkan waktu yang tertentu bagi mereka yang tidak ada
keraguan padanya? Maka orang-orang zalim itu tidak menghendaki kecuali
kekafiran.” (QS.Al-Israa': 99).
C. PENGGUNAAN KALIMAT “DIA” :
Merupakan kata ganti yang
menekankan kemutlakan dan “TANDINGAN”,atas lainnya,Digunakan untuk menunjukkan
bahwa Dia,adalah Allah satu satunya Tuhan penguasa alam semesta dengan
kekuatan-Nya yang Maha Dahsyat,yang tidak ada makhluq lainpun yang dapat mampu
menandingi/menyamai Kemaha Mampuannya,tiada yang bisa disetarakan dengan-Nya
dan hanya kepada Dia saja semua makhluk harusmenyembah.
“Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia
Yang Hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya).”(QS.Al-Baqarah:
255).
“Katakanlah: “Dia-lah Allah, Yang Maha Esa (Tunggal).”
(QS.Al-Ikhlas: 1)
D. PENGGUNAAN KALIMAT “KAMI” :
Merupakan kata ganti yang
menekankan sisi proses atas segala sesuatu yang dikehendaki dan terjadi menurut
kekuasaan dan ke-Maha Kehendak-Nya. Digunakan untuk menunjukkan bahwa
“KAMI”,adalah Allah satu satunya Tuhan penguasa alam semesta dengan
kekuasaan-Nya,yang menetapkan,mengawasi dan mengendalikan sistem Qada-Qadar dan
Takdir-Nya. Dan berjalannya sistem tersebut adalah melalui proses/
mekanisme/tahapan.
Allah mengadakan/menugaskan para
wali-Nya,yakni para Malaikat,para Nabi , Rasul dan mekanisme alam semesta,untuk
menyampaikan pesan/signal kehendak-Nya,petunjuk petunjuk-Nya,ilmu pengetahuan
dan perintah serta larangan-Nya.
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa – bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.” (QS.Al-Hujuraat: 13)
Maka maknanya bahwa Allah dalam
menciptakan manusia setelah penciptaan langsung Adam,tidak satu persatu lagi
secara langsung,melainkan melalui mekanisme biologis,yakni dimana proses
manusia berkembang biak. Maka inilah RAHASIA bahasa AL-QUR’AN mengapa Allah
Swt. menggunakan lafadz/kalimat “NAHNU (KAMI)”.
“Dan tiadalah Kami mengutus engkau (wahai Muhammad) melainkan
untuk menjadi rahmat bagi sekalian alam”. (QS.Al-Anbiyaa’ : 107)
Kata Arsalna ( أَرْسَلْنَا
‘Kami mengutus’) berasal dari kata dasar “Arsala” أَرْسَلْ
(bermakna : mengutus, memberikan risalah, mengantarkan risalah).Sebagaimana penjelasan sebelumnya diatas, maka kata “KAMI” yang Allah Swt. maksudkan karena ADANYA PROSES PENGUTUSAN,atau adanya mekanisme pengiriman wahyu yaitu melalui “MALAIKAT JIBRIL” SEBAGAI PENGANTAR WAHYU ALLAH SWT,kemudian hingga sampai pada Rasul/Nabi nabi-Nya. Sebab tidak harus Allah berkehendak memberi petunjuk/risalah untuk manusia kemudian mengantarkan sendiri langsung ke makhluk-Nya. Makanya Allah Swt. menggunakan Kata “NAHNU” (KAMI).
(bermakna : mengutus, memberikan risalah, mengantarkan risalah).Sebagaimana penjelasan sebelumnya diatas, maka kata “KAMI” yang Allah Swt. maksudkan karena ADANYA PROSES PENGUTUSAN,atau adanya mekanisme pengiriman wahyu yaitu melalui “MALAIKAT JIBRIL” SEBAGAI PENGANTAR WAHYU ALLAH SWT,kemudian hingga sampai pada Rasul/Nabi nabi-Nya. Sebab tidak harus Allah berkehendak memberi petunjuk/risalah untuk manusia kemudian mengantarkan sendiri langsung ke makhluk-Nya. Makanya Allah Swt. menggunakan Kata “NAHNU” (KAMI).
Demikian maksud penerapan kata
ganti “KAMI / NAHNU,selain sebagai bentuk penghormatan dan bermakna “kami”
tunggal,juga menegaskan adanya mekanisme penugasan melalui para malaikat,para
Nabi dan para Rasul rasul-Nya.
KESIMPULAN
Dari seluruh
uraian mengenai kata ganti Allah,penyebutan Tuhan,Lord,Gusti maupun Pengeran
dan lain sebagainya, telah dijabar dari berbagai sudut al-ilm, baik secara
dalil ‘aqli maupun naqli.Artinya telah memenuhi standar ilmu pengetahuan yang
bersumber dari Al-Qur’an,As Sunnah yang kemudian ditambah dengan penjabaran
oleh para alim ulama yang luas pengetahuannya.Dan ketahuilah
bahwa terjemahan kata “TUHAN” telah disebut sebanyak lebih dari 507 kali dalam
ayat Al-Qur’an.
Maka,satu esensi dapat ditarik
hakekatnya yakni :
1- Apapun nama
nama lain Allah yang kita sebut dengan bahasa ibu pertiwi masing masing seperti
yang telah diurai diatas saat kita berdoa,memohon,merintih,melolong berharap
pertolongan Allah,maka tak bermasalah sepanjang penyebutan penyebutannya
ditujukan dari keikhlasan hati dan niat suci hanya kepada Allah Ta’ala,bukan
menuju yang selain Allah.Dansepanjang
penyebutan penyebutan nama lain Allah tidak bermakna buruk atau bernada
pelecehan. Sedangkan menyebut Allah dengan panggilan lain menurut bahasa daerah
yang familier seperti Gusti, Pengeran,Kang Murbehing Dumadi dan lainnya,maka
tidak masalah sebab bermakna luhur dan merupakan sebutan kehormatan diwilayah
budaya masing masing. Semua hanya ada dalam hati dan penyimpangan dari semua
itu menjadi konskuensi individu.
-Uraian pengetahuan ini telah
jelas dipapar.Manakala ada orang ataupun yang mendakwa dirinya ustadz,tokoh aim
kemudian membuat tulisan tulisan menolak atau mengharamkan/melarang penyebutan
Tuhan,Gusti dan Pengeran dan lain sebagainya dengan mendasari berbagai
rangkaian dalil (kadang penerapan dalilnya dalil mentah) dengan argumen bahwa
kata “Tuhan,Gusti,Pengeran” dan lainnya adalah tidak ada dalilnya serta
dianggap berasal dari ajaran kafir,maka hal ini telah terbantahkan sebab
penjabaran yang telah diurai diatas ini lebih komprehensif,lengkap,memenuhi
seluruh aspek ilmu kaji serta hukum hukum syareat serta logika agama
(Al-Hikmah). Maka tinggal penyerapannya diserahkan kepada para pembaca masing
masing.
2. inilah salah satu tanda
keagungan mengapa Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab.Jikalau Alquran itu
diturunkan dengan semua bahasa, tentu akan banyak perbedaan penafsiran kata
disetiap wilayah dan perubahan yang susah dipantau dan dideteksi
kebenarannya.Jikalau Al-Qur’an di Indonesia dimusnahkan dan dibakar, akan
datang jutaan Hafidz (Penghafal) Al-Qur’an dari seluruh penjuru dunia untuk
menggantikannya dengan hafalan yang sama, surah yang sama, ayat yang sama, dan
huruf yang sama. begitulah salah satu cara Allah Swt. menjamin kemurnian
Al-Qur’an.
3. Inilah hikmah al-Qur’an
diturunkan dalam Bahasa Arab. Nabi Muhammad SAW adalah orang arab, dan
masyarakat di sekeliling Nabi adalah orang arab, mereka sangat arif dengan
bahasa mereka, dan mereka faham apa yang diturunkan dalam bahasa mereka.
Masalah berkaitan perkataan KAMI ini tidak timbul ketika itu, kerana mereka
faham bahasa mereka, bahawa KAMI yang dimaksudkan bukanlah bermaksud jamak,
tetapi membawa arti satu penghormatan dan keagungan, dan ia tetap merujuk
kepada Tuhan Yang Tunggal.
4.
Tafsiran-tafsiran yang dalam dan luas seperti ini tidak akan kita temukan dalam
Al-Qur’an terjemahan DEPAG RI maupun yang digital.Oleh karena
itu,hanya dengan melalui para alim Ulama Tafsir yang fasih yang luas ilmunya
yang dapat menjabarkan Tafsir Al-Qur’an ini,yang menandakan betapa Ilmu
Al-Qur’an /Ilmu Tuhan itu sangat luas,lebih luas dari samudera langit dan bumi.
5. ALLAH JUGA TUHAN UMAT KRISTEN
YANG DISEBUT DALAM INJIL :
Ketika kebanyakan dari mereka
umat Kristiani juga merasa anti serta risih menyebut nama Allah,yang dianggap
sebagai bukan Tuhannya mereka dan dianggap tidak sesuai dengan iman mereka,maka
bagamana mungkin hal ini bisa tetap terus dijadikan anggapan ? Sedangkan nama
Allah adalah kalimat yang juga disebut dan menjadi istilah di dalam kitab suci
Injil PL maupun PB,seperti yang telah diterangkan diatas.
6. JANGAN MEN-TUHANKAN DALIL :
Ketika
berargumen,berdakwah,berorasi,berdebat dan menulis kemudian bersikeras yang
paling benar dan lainnya salah,sesat,kafir dan murtad hanya mendasari segala
sesuatunya tidak ada dalilnya,maka itu yang disebut mencari “PEMBENARAN” dan
hal demikian itulah yang disebut “MEN-TUHANKAN” dalil,mengesampingkan aspek
aspek hakekat Kemaha Besaran Allah. Sementara ketika mendasari pemikiran bahwa
kebenaran itu harus terlihat menurut apa apa yang telah dilakukan oleh Rasulullah
SAW sehari hari,maka mengapa orang orang yang seperti ini tidak mengikuti
sunnahnya secara konskuen? Yakni mengapa masih memakai setelan
jas,sarung,peci,celana levis? Sedang Rasulullah SAW tak pernah memakai
jas,sarung dan celana levis.Apalagi sedan,apalagi beli elektronik
TV,laptop,gadget android,dan lain sebagainya, yang notabene buatan dan budaya
non muslim.
7. Namun demikian,kita juga
jangan mentang mentang bahwa kata ganti Allah seperti Tuhan,Gusti,Pengeran,Lord
dan lain sebagainya itu boleh dan sah diucapkan,tetapi jangan dijadikan
prioritas kebiasaan atau bahkan malah mengganti sebutan Allah dengan yang lain
dan melupakan penyebutan ALLAH sama sekali, sebab kalimat Allah lebih utama dan
unggul dibanding sebutan sebutan selain Allah.
Semoga menjadikan renungan di
sanubari terdalam.
Salam Cahaya-Nya,
Kelana Delapan Penjuru Angin,
Lembah Duren
Sawit,11 Juli 2013 – 16 desember 2014
CopyRights@2013
Reff :
-Al-Qur’an terjemah DEPAG RI
-Al-Qur’an terjemah DEPAG RI
- TafsirIbnu Katsir, Tafsir Al Jalalein
- TafsirAl
Mishbah, dari Prof. DR. Quraisy Shihab
– http://www.arrahmah.com/read/2012/12/10/25356-kontroversi-kata-tuhan.html
-http://quran.al-shia.org/id/lib/101.html
-http://mudamudimuslim.blogspot.com/2011/12/benarkah-penyebutan-kata-tuhan-allah.html
-http://www.mukminun.com/2013/12/pengertian-rabb-dalam-al-quran-dan-as.html#_
-http://tausyah.wordpress.com/2010/07/10/benarkah-nama-tuhan-adalah-allah/
– https://farisna.wordpress.com/2011/06/19/penyebutan-gusti-allah-dan-kanjeng-nabi/
-http://katolisitas.org/1800/tentang-sebutan-tuhan-allah-dan-yahweh-samakah
– http://www.arrahmah.com/read/2012/12/10/25356-kontroversi-kata-tuhan.html
-http://quran.al-shia.org/id/lib/101.html
-http://mudamudimuslim.blogspot.com/2011/12/benarkah-penyebutan-kata-tuhan-allah.html
-http://www.mukminun.com/2013/12/pengertian-rabb-dalam-al-quran-dan-as.html#_
-http://tausyah.wordpress.com/2010/07/10/benarkah-nama-tuhan-adalah-allah/
– https://farisna.wordpress.com/2011/06/19/penyebutan-gusti-allah-dan-kanjeng-nabi/
-http://katolisitas.org/1800/tentang-sebutan-tuhan-allah-dan-yahweh-samakah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar