Gamis Haji Salamun
Oleh: Ilham Q. Moehiddin
1/
HAKIM Mulku mendelik, membuat Umbu mendekut di
kursinya. Pengunjung sidang kasak-kusuk. Sebagian mereka iba pada nasib
Umbu, sebagian lain jengkel setengah mati. Tiada mereka sangka, Umbu
yang sederhana itu mampu mencuri barang orang.Ibu Mia, pengacara dari Lembaga Bantuan Hukum, jelas menolak isi dakwaan para Jaksa Penuntut perihal tuduhan pencurian oleh Umbu. Pengacara itu terus melawan delik jaksa yang menuduh Umbu telah mencuri karena hasratnya semata-mata.
Pada dua sidang terdahulu, sanak-famili Haji Salamun paling keras mensyaki Umbu di ruang sidang itu. Setiap kali Jaksa bertanya, mereka sambut sangkalan Umbu dengan cercaan. Di sudut ruangan, seorang perempuan tua terus menundukkan kepala. Ia ibunda Umbu. Tiada daya baginya saat mendengar orang-orang mencerca putranya.
Ia yakin, anaknya tak seperti yang orang tuduhkan. Berselendang hijau, ibunda Umbu duduk sendiri, tiada yang menenangkan hatinya setiap kali serapah dilemparkan orang-orang pada putranya. Ia telan semua kedengkian itu gara-gara selembar baju gamis milik Salamun, seorang haji kaya pemilik penggilingan padi di desanya.
2/
Ya. Umbu duduk di kursi pesakitan gara-gara dituduh mencuri selembar
gamis. Hakim Mulku menanyakan kebenaran dakwaan itu, tetapi Umbu tak
paham, hingga justru membuatnya bercerita muasal kejadian di depan pagar
rumah nenek Isah.Sore itu, kata Umbu, ia bersama pemuda lain main bola di lapangan desa. Terik matahari sore bikin Umbu tak tahan bermain lama, hingga ia berteduh pada bayangan pagar rumah nenek Isah yang dibuat condong oleh matahari.
“Pencuri… pencuri… pencuri!”
Tiba-tiba nenek Isah berteriak-teriak kesetanan. Teriakan nenek itu, membuat Umbu terperanjat dan lari menjauhi pagar. Tetapi lari Umbu membuat orang-orang mengira bahwa ia yang saat itu sedang disyaki nenek Isah. Orang-orang segera mengepungnya. Ia tolak sangkaan itu, tetapi orang-orang tak peduli. Mereka terus mendesak, membuat Umbu harus lari berlindung ke rumah Kepala Desa.
Sayangnya, lari serabutan Umbu bikin ia tak sengaja masuk pekarangan belakang rumah Haji Salamun, menabrak tali jemuran, membuat baju-baju yang dijemur di situ berjatuhan ke tanah. Umbu terpelanting, terbelit tali, tertimbun baju-baju.
Tanpa memberitahu Kepala Desa, orang-orang langsung mengiring Umbu ke Kantor Polisi Sektor di kecamatan, beserta selembar gamis dan tali jemuran yang masih membelit lehernya. Orang-orang mau Umbu ditanyai polisi saja.
“Aku tidak mencuri.” Umbu jelas membela diri.
“Oya? Ini apa?!” Bentak polisi sambil menunjuk gamis di atas meja.
Lalu, Umbu mengulangi ceritanya. “Jika tak percaya, tanyalah pada Nek Isah.”
“Bohong! Jika kau tak mencuri, lantas kenapa orang-orang membawamu ke sini?”
Umbu bungkam. Ia tak tahu mau bilang apa lagi. Ia bingung, entah kenapa orang-orang membawanya ke Polsek. Entah kenapa pula, mereka tak menanyai Nenek Isah.
“Mengaku saja. Jika tidak…” Polisi mengancamnya dengan kepalan tinju.
3/
Saat ibunda Umbu datang menjenguk esok paginya, terkejut perempuan
itu mendapati wajah Umbu. Sudut bibir putranya pecah, mata kirinya biru.
Perempuan itu hanya terisak melihat kondisi putranya.Menunggu sidang yang berbulan-bulan itu, Umbu dititip di tahanan Polres. Ia satu sel bersama lima pesakitan lain. Ada dua remaja lelaki yang dituduh mencuri uang kotak amal di Pasar Impres. Juga ada dua pemuda yang menemani seorang lelaki paro baya bernama Suto, yang dituduh menyebarkan aliran sesat. Dua pemuda itu tak salah, tapi mau saja masuk sel menemani Suto. Mereka berenam berbagi ruang 4×5 meter persegi. Masih ada duabelas tahanan di dua sel lain.
Di Polres itu, Umbu jadi olok-olok tahanan lain. Kasus gamis itu membuat ia mendapat julukan si Gamis. Ia biarkan saja. Ia tak pandai adu mulut, apalagi berkelahi. Minggu ini saja sudah dua kali matanya kena tinju tahanan lain, hanya karena ia menolak mundur saat antri ompreng.
Ompreng itu adalah piring makan aluminium persegi. Tapi itu juga istilah buat antrian jam makan. Jam ompreng yang telat sering jadi penyebab tiap adu pukul di tempat itu. Polisi piket hanya melihat dari kejauhan dan baru melerai tatkala ada tahanan yang terkapar kalah.
Lebam bukan soal. “Tak apa-apa. Nanti juga sembuh sendiri,” tukas polisi.
Umbu muak mendengar polisi kerap bicara begitu. Mereka tak adil baginya. Remuk redam nyalinya saat mereka menginterogasinya malam-malam sambil menyiraminya dengan air dingin. Mereka bahkan tak mencegah seorang tahanan lain yang membenamkan kepala Umbu ke kolam ikan di belakang Polres tempo hari. Harusnya mereka kasihan padanya, sebab ia tak bisa berkelahi saat dianiaya macam itu. Lebam di mata kirinya belum hilang akibat tinju yang ia dapat saat antri ompreng dua malam lalu.
4/
Eyang Suto —begitulah lelaki itu menyebut dirinya— terkekeh. “Hei,
Gamis. Semoga semua ujian itu bisa membantumu bertobat,” kata lelaki
paro baya itu.“Jangan panggil aku begitu!” Sergah Umbu. Ia tak mengharapkan kesinisan lain. Sudah cukup siksaan akibat pitanah orang di desanya, tak perlu lelaki itu menambahinya dengan segala macam julukan aneh macam itu.
“Gamis, apa kau percaya Tuhan?” Suto bertanya lagi.
Tentu Umbu percaya Tuhan. Ia hanya tak percaya orang itu bertanya seperti itu padanya. Mungkin jika ia diam saja, akan cepat membuat orang itu berhenti bicara.
Tetapi, Suto terus merongrong Umbu. “Sang Terang melaknat pencuri, sebab…”
“Aku tak mencuri!” Potong Umbu sambil memiringkan tubuhnya.
“Eyang paham. Mana ada ada pencuri yang mau menerima tuduhan. Itu ironi hidup. Bilang begitu, maksudnya begini. Bilang begini, maksudnya begitu.”
Umbu mendekap lututnya. Dia mulai mual mendengar khotbah Suto.
“Aliranku ini bisa menuntun orang pada jalan terang. Semua orang patut masuk neraka, kecuali orang-orang yang mengikuti jalan terangku. Tak perlu syarat apa pun, cukup bersemedi mengkhidmati wajahku dan merapalkan doa suciku, maka Sang Terang akan menerimamu dalam surganya.”
Umbu bersuara seperti hendak muntah. Ajaran rusak begitu siapa yang mau ikut. Pantas saja Suto itu ditangkapi warga karena kesesatan yang keluar dari mulutnya. “Kau lebih pantas di sel ini daripada aku,” gumam Umbu.
“Kau bilang apa barusan?” Tanya Suto.
“Tidak ada. Aku tidak bilang apa-apa,” kilah Umbu.
Suto melanjutkan khotbahnya. “Sang Terang akan membantumu melihat kenyataan dunia yang jumpalitan ini. Orang mesti jumpalitan agar kenyataan seperti itu tak terasa aneh.”
“Otakmu yang jumpalitan,” kata Umbu. Kejengkelannya tak tertahan lagi.
Nyaris saja ia dihajar dua murid Suto karena dianggap lancang pada guru mereka. Suto menahan mereka, sebelum beringsut ke tikarnya sendiri, duduk bersila dengan mulut komat-kamit bersama dua murid setianya.
Lebih baik begitu. Kalian cocok berkumpul di sudut sana. Tak usah mengusik siapa pun, keluh Umbu dalam hati.
Di sini, Suto tak susah seperti tahanan lain. Ada dua murid yang mengupayakan semua kebutuhan lelaki itu: antri ompreng, mencuci jubahnya, sampai rela menunggui Suto di depan pintu kakus saat lelaki itu buang hajat. Entah kenapa mereka mau diperalat begitu?
Melihat dua pemuda itu, Umbu mensyukuri dirinya sendiri. Walau sekolahnya tak panjang, tapi ia tak sudi diperalat orang. Nasibnya saja yang sial, hingga meringkuk di tempat seperti ini. Ibunya tak ada biaya menyekolahkannya. Bapaknya wafat di rantau saat umurnya 10 tahun. Ia menafkahi ibunya dengan berjualan abu gosok. Selepas petang, Umbu membakar sekam yang dibeli karungan, lalu abunya dijual 5000 rupiah per kilo.
5/
Karena dianggap telah lancang pada Suto, esoknya pitanah menyebar:
sarung Suto yang hilang ternyata ditemukan dalam tas Umbu. Pitanah itu
sukses menjelmakan Umbu sebagai pencuri sejati di mata para tahanan
lain.Umbu tak tahu dari mana pitanah itu datang. Lucu mendengar mereka menghujatnya sebagai penjahat di dalam sel tahanan ini. Lupakah mereka tersebab apa hingga mereka juga bisa berada di sini?
Gerak Umbu dibatasi. Ia tak boleh mandi sebelum semua tahanan selesai mandi, tak bisa buang hajat dengan tenang sebab pintu kakus kerap digedor, juga tak boleh pakai jemuran. Termasuk, harus berdiri paling belakang di antrian ompreng.
Seorang tahanan yang iba bercerita pada Umbu, bahwa pitanah itu disebar dua murid Suto. Awalnya, Umbu masih bisa menyabari setiap hujatan atas dirinya, tetapi sejak ia kerap masuk angin karena tak kebagian jatah ompreng, kesabarannya mulai menguap.
Biarlah semua haknya dibatasi, asal jangan ompreng. Umbu tak mau lagi meringkuk lapar di lantai dingin kamar tahanan seperti malam-malam sebelumnya. Dia harus dapat jatah makan malam ini walau sedikit.
Malam ini ompreng terlambat lagi. Semua tahanan gelisah. Walau tak nampak karena gengsi, Suto sebenarnya gelisah juga. Bebuku jemarinya ia bunyikan setiapkali perutnya mendekur. Sebenarnya Suto punya sekaleng biskuit yang ia sembunyikan untuk berjaga-jaga jikalau ompreng tak muncul. Matanya terus awas ke arah dapur umum.
“Kau harus lincah jika mau dapat ompreng,” Suto meledek Umbu.
Umbu mendengus. Ia tak akan secemas ini jika kerapnya ia masuk angin tak disebabkan pitanah lelaki itu.
“Jadilah muridku saja.” Rayu Suto.
Sakit hati membuat dada Umbu hendak meletus.
“Sang Terang selalu menunggu orang-orang seperti dirimu.”
Dada Umbu mengembang. Kesalnya tak tertahan lagi pada lelaki yang telah membuat hidupnya sulit di sini. Umbu meremas besi jeruji, lapar membalun lambungnya. “Tuhanmu itu boleh menunggu, tapi aku tidak!”
Sayang sekali, malam itu Umbu benar-benar dihajar dua murid Suto. (*)
Molenvliet, November 2012– Januari 2013
Twitter: @IlhamQM
*) kisah ini berhutang gagasan dari seorang napi bernama Umbu, di Lapas Kelas 1A, Kota Kendari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar