[Cerpen] Perempuan Kretek | Padang Ekspres | Minggu, 02 Maret 2014
Perempuan Kretek
1/
SIANG ini, kudapati ibu sedang membanting cucian di
lantai sumur, di samping rumah. Tiga hari lalu, ibu bolos kerja, begitu
juga hari ini. Jika ditambah dua pekan sebelumnya, ibu terhitung sudah
delapan kali mangkir.“Tak ke pabrik, Bu?” Kusapa beliau dari ambang pintu samping. Ibu menoleh, lalu menggeleng pelan. “Ibu sakit, ya?” Tanyaku cemas, “senin kemarin, Ibu tak masuk kerja juga. Jangan-jangan, ibu memang sakit, ya?”
“Tidak. Ibu ingin di rumah saja.”
Kalau ibu sudah maunya begitu, ya biarkan saja. Aku sebenarnya tak suka ibu masih bekerja di pabrik, di saat ibu seharusnya tenang di rumah, di usia tuanya. Tetapi, ibu selalu bilang, bahwa ia masih tahan duduk seharian melinting tembakau yang baunya tajam itu pada kertas kretek. Bila tak biasa, pinggang memang bisa kram, serasa mau patah bila tegak berdiri tiba-tiba.
Tapi itulah maunya ibu. Tak pernah perempuan yang kusayangi itu membuang percuma waktunya. Saat tak ke pabrik pun, jika tak mencuci di sumur, ibu kadang sibuk di sepetak kebun kecil di belakang rumah kami.
“Bayaran kuliahmu makin dekat, ya Fi?”
Ibu ternyata sudah berdiri di belakangku saat aku hendak menyendok nasi. “Eh…iya, Bu. Dua minggu lagi kalau tak salah.”
“Tapi ibu belum terima gaji loh, Fi.”
“Bayarannya seminggu lagi kok, Bu,” aku tersenyum, “pasti keburu jika pabrik membayari gaji ibu pekan depan.”
Ibu mengangguk pelan. Tapi beliau tak bicara lagi. Ibu selalu mencemaskan kuliahku. Jika bukan soal bayaran, beliau akan bertanya soal diktat kuliah yang mungkin perlu kutebus. Ibu masuk kamar, lalu keluar lagi sesaat kemudian.
“Ini pegang saja, Fi.” Ibu menyorongkan sesuatu dari tangannya, “jaga-jaga saja buat bayaran kuliahmu nanti, andai gaji ibu belum ada sampai pekan depan.”
Eh, itu kan kalung emas peninggalan almarhum bapak. “Ibu kenapa sih!” Aku protes seraya menjauhkan tangan ibu, “simpan saja kalung ini. Kalau ibu butuh, biar ibu saja yang menjualnya dan memakai uangnya. Aku tak mau sepeser pun uang dari penjualan kalung kenang-kenangan bapak buat ibu. Dosa.”
Kalung itu, memang tak pernah keluar dari wadahnya, sebuah kotak dari kayu eboni berukir bunga melati. Bapak membelinya di Dubai, saat transit menuju Indonesia selepas mengakhiri kontraknya sebagai tenaga kerja Indonesia di Mekkah. Betapa gembira ibu saat menerima kalung itu dari bapak. Liontinnya bergambar bunga melati juga. Berat liontin berikut rantainya, 25 gram.
“Tapi, kuliahmu perlu bayaran toh?”
“Fiah nunggu gaji ibu dari pabrik saja. Kalau waktunya sampai pun, Fiah bisa kok minta penangguhan.”
“Apa kampusmu tak apa-apa jika telat membayar?”
Aku sentuh pundak ibu. “Telat sebulan tak apa-apa, Bu.”
Selama ini, ibu tak pernah berwajah murung di depan kami, kecuali di hari bapak wafat. Ibu selalu tenang, tak pernah mengeluh. Pabrik kretek tempat ibu bekerja tak jauh dari rumah kami. Butuh 15 menit bersepeda. Ibu mengayuh sendiri sepeda tua peninggalan bapak, bolak-balik dari rumah ke pabrik setiap hari. Urusan rumah jadi bagian kami, kedua anaknya.
2/
Aku tak paham cara kerja manajemen pabrik kretek tempat ibu bekerja.
Mereka belum juga membayarkan dua bulan gaji ibu. Apa pabrik itu sudah
mau bangkrut, sehingga harus menunda gaji buruhnya? Kasihan nasib ibu
dan para buruh lain jika gaji mereka sering ditunggak.Mbak Suti, teman ibu awalnya tak mau bicara soal kelakuan manajemen pabrik tempat mereka bekerja. “Gimana ya, Fi. Aku orangnya tak suka mengungkit masalah yang bukan urusanku. Apa ibumu belum cerita?” Tanyanya balik, saat kumintai keterangan soal gaji ibu yang belum terbayar.
“Ibu bilang gajinya belum dibayarkan dua bulan. Makanya ibu tak masuk kerja. Mandornya itu loh, si Pitono itu gimana?”
Suti tertunduk seraya memilin-milin ujung bajunya. “Eng…begini loh, Fi. Ibu itu terlalu tua untuk bekerja di pabrik. Jadi…”
“Jadi karena umur, mereka seenaknya menunggak hak ibu? Tidak boleh begitu!” Aku tidak terima alasan yang kuanggap sepele itu, “kasihan semua buruh di pabrik jika umur mereka dipersoalkan.”
“Ya, tak seperti juga, Fi. Ibu termasuk salah satu buruh yang paling senior di pabrik. Aku hanya tak paham apa pertimbangan manajemen pabrik.”
“Pertimbangan apa lagi? Ya, bayari saja gaji ibu.”
“Ibu itu loh, Fi…” Suti geragapan, “sudah ah, aku tak enak membicarakan yang aku tak mengerti.”
Gantian aku yang kini bingung dibuatnya. Suti bergegas pergi.
“Mbak Suti mau ke mana?”
“Aku ada urusan sedikit.” Pedar Suti seraya menggegaskan langkahnya.
3/
Kasihan ibu jika memang begitu ceritanya. Kenapa justru umur para
buruh senior yang mereka persoalkan? Ibu buruh yang tekun, puluhan tahun
bekerja pada mereka, sejak beliau masih berusia 15 tahun hingga setua
itu. Mereka tak menghitung 48 tahun pengabdian yang dihabiskan ibu
bekerja di pabrik kretek mereka.Bapak bertemu ibu di pabrik itu. Bapak ingin agar hidup kami berkecukupan, maka bapak pergi merantau ke Saudi Arabia, jadi TKI. Umur bapak tak panjang, tapi beliau tak meninggalkan beban pada ibu. Peninggalan bapak cukup buat kami.
Aku mematung di bibir jendela, memerhatikan jalanan yang ramai di luar pagar sana. Sudah kuniatkan, besok bakal ke pabrik menemui pihak menajemen dan bertanya soal laku diskriminatif mereka pada para buruh seniornya.
“Tak usah toh, Fi. Tak usah bikin urusan jadi kian ruwet. Ibu baik-baik saja.”
“Tapi mereka tak boleh begitu,” dengusku, “pengabdian ibu bertahun-tahun itu tak mereka hitung. Puluhan tahun ibu memburuh pada mereka, dan baru naik upah tiga kali, itu pun tak seberapa besar.”
“Ibu memang sudah uzur, Fi. Sudah cepat capek. Ibu suka kok di rumah saja.”
Kata-kata seperti inilah yang kadang segera menuntaskan obrolan kami.
“Tapi, ibu senang bekerja. Ibu menikmati hidup saat bekerja, juga sangat bersyukur dengan hasilnya. Fiah tak mau mereka renggut itu dari ibu begitu saja.”
“Kau ini mirip bapakmu. Bapakmu itu kalau bicara soal hak, suka berapi-api. Itulah mengapa rumah ini sering didatangi banyak orang minta bantuannya,” Ibu tersenyum, lalu sendu menggayuti matanya. “No, Tarno, umurmu kok ya pendek begitu to, No.”
Angin dingin berkesiur masuk rumah, menabrak wajahku. Kutarik daun jendela agar menutup, lalu duduk di sebrang ibu. Tomo kudengar sedang sibuk memasukkan ayam-ayam ke kandang persis di belakang rumah. “Kalau masih hidup, tentu bapak tak suka mendengar ulah para pemilik pabrik itu. Bapak pasti marah-marah jika mereka seenaknya begitu.”
“Elfiah…” Ibu menyebut namaku seraya memandang foto bapak di atas bufet, “dulu bapakmu juga kerap ibu larang. Tak baik, nanti ia dibenci orang. Ibu tak mau perangaimu ikut-ikutan galak macam bapakmu.”
“Galak macam ini baik maksudnya, Bu. Tak asal galak belaka. Apa pernah ibu lalai selama 48 tahun bekerja pada mereka? Tidak kan?” Aku terus meyakinkan beliau, “ibu berangkat ke pabrik paling pagi. Bahkan sebelum Tomo bangun, ibu sudah mengayuh sepeda menuju pabrik.”
“Entahlah, Fi. Katanya ini soal pro..pitas apa itu?”
“Produktifitas, Bu.”
“Ya, itu…” Ibu tersenyum, “mana ngerti ibu soal begituan.”
Aku membatin. Produktifitas apalagi yang mereka persoalkan pada buruh yang menghabiskan lebih dari separuh hidupnya bekerja dengan bayaran kecil. “Mereka cari-cari alasan, Bu!” Kubanting punggungku ke sandaran kursi.
4/
Aku meluangkan waktu selepas kuliah untuk singgah sebentar ke pabrik
tempat ibu bekerja. Hendak kutemui si Pitono, mandor ibu itu. Jika bisa,
sekalian bertemu dengan penanggung jawab pabrik. Hendak kutanyakan soal
keterlambatan dua bulan gaji ibu, juga soal umur ibu yang mereka
singgungkan itu.Walau lapar, tapi demi memberesi urusan ibu, sepiring nasi boleh menunggu. Cukup 30 menit, sampailah aku di halaman pabrik tempat ibu bekerja. Halamannya luas dan sering dipakai menjemur tembakau dan cengkeh untuk ramuan kretek. Harum cengkeh bahkan sudah kucium dari depan gerbang.
Suti memergokiku dari kaca jendela dan buru-buru mendatangiku. Ia bersama si Pitono itu. Bagus. Aku bisa langsung menyampaikan maksud kedatanganku ke mari.
“Fiah, ada apa singgah ke mari?” Suti menyapaku.
“Aku ada urusan sama Pitono ini, soal ibu.”
Pitono berusaha memaniskan senyumnya. “Biar kujelaskan. Ayo, ke kantor dulu.”
“Di sini saja,” aku menolak, “aku mau tanya, kenapa pabrik menunda gaji ibu.”
Pitono melirik Suti, lalu beralih padaku. “Begini, Fi. Ibumu itu…”
“Ibu kenapa? Aku ke sini hanya mau nanya itu. Dijawab saja.”
“Iya, ini hendak kusampaikan, bahwa ibumu itu bukan tak terima gaji lagi. Seharusnya beliau menerima pesangon enam bulan gaji.”
“Pesangon? Ibu dipecat, maksudmu?”
“Bukan begitu.” Pitono salah tingkah, “ibu sudah melampaui batas maksimal umur buruh di sini. Pabrik punya aturan baru soal produktifitas.”
“Kalian sudah sampaikan pada ibu tentang keputusan itu?”
Pitono tak menyahut, tapi Suti kulihat menggeleng kecil.
“Kenapa belum?” Aku mulai jengkel, “apa ibu pernah tak mencapai target kerja yang kalian tentukan? Atau, kalian sengaja pasang target tinggi hingga buruh senior tak mampu mencapainya?”
“Itu putusan pabrik loh, Fi. Saya hanya mandor, cuma menuruti.” Kilah Pitono.
“Hei, Tono. Justru karena kau mandor maka kau mestinya melindungi hak buruh senior macam ibu. Apa pabrik tak menghitung pengabdian ibu pada mereka?”
“Akan kupastikan hak ibumu diterima dengan utuh.”
Aduh, Tono, intinya bukan itu. Pantas saja pangkatmu tak pernah naik.
“Bukan soal utuhnya hak yang bakal diterima ibu. Ini soal bagaimana pabrik menghargai pengabdian para buruh kretek yang puluhan tahun bekerja hingga pabrik ini bisa bernafas sampai hari ini.” Aku nyaris tersedak amarahku sendiri. “Ibu sudah tua menurut kalian, tapi separuh hidup ibuku, habis di tempat ini.”
Rupanya ini rahasia ibu. Manajemen pabrik telah memecatnya.
“Seberapa banyak jumlah pesangon enam bulan gaji yang hanya tiga kali naik selama 48 tahun itu?” Desisku. “Beritahu aku, bagaimana cara menghilangkan aroma kretek dari telapak tangan ibuku?”
Pitono terdiam. Mata Suti berkaca-kaca. (*)
Molenvliet, Januari 2014.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar