Eksistensialis Tidak Sama dengan Atheis
Dalam debat dengan Bung Kevin.
Kevin memberi pemahaman penuh kepada peserta diskusi bahwa Atheisme sudah tumbuh dan berkembang sejak lama. Bahkan, eksistensialisme, mendukung pemikiran-pemikiran atheisme.
Saya sepenuhnya tidak sepakat ketika itu, maka lahirlah bantahan ini. Berikut.
Cogito ergo sum… ini ungkapan Descartes, seorang yang dianggap bapak eksistensialis. Cogito ergo sum… atau “aku berpikir maka aku ada” adalah angkapan yang dipetik oleh para etheis untuk menyatakan eksistensi mereka. Padahal, Descartes sendiri, tidak menyatakan hal ini untuk memberi para etheis sebuah jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tentang eksistensi mereka.
Maka Descartes pun menolak olok-olok para filsuf eropa pada dirinya; “Descartes adalah sosok ambigu, sebelah kakinya berdiri pada kami kaum filsuf, sebelah kakinya yang lain berdiri bersama kaum atheis.”
Descartes pun menulis penolakan keras bahwa eksistensialis bukanlah atheisme. Descartes menulis; Eksistensialis adalah jawaban keberadaan seseorang setelah penciptaan. Sebuah bentuk penegasan bahwa dia ada karena berpikir. Sederhananya, seseorang baru dapat dianggap ada (eksis) jika berpikir, menggunakan otaknya (berpikir = hidup), sedang para atheis bertolak belakang dengan asumsi ini.
Demikian, Descartes menjawab olok-olok terhadap dirinya. Para Atheis, menurutnya, tidak dapat mewakili maksud eksistensialis. Kaum atheis adalah kaum yang malas berfikir, sehingga bisa dianggap tidak eksis. Kaum yang selalu bertanya-tanya tentang keberadaannya, bertanya tentang keberadaan adanya faktor X dibalik keberadaannya, kaum yang selalu bertanya siapa mereka, kaum yang selau bertanya alasan apa dibalik penciptaan manusia. Bagaimana kaum ini bisa mewakili eksistensialisme, jika saat disodori hal-hal yang bersifat eksistensial, mereka mendebat dengan pertanyaan-pertanyaan dasar…
@kawan-kawan…(Khususnya Bung Kevin)
Bagaimana bisa seseorang yang mengaku PhD. (seperti Anda) menanyakan hal-hal dasar yang seharusnya telah dipecahkannya, difikirkannya. Seseorang yang seharusnya berpikir linear dengan jutaan referensi, tanpa menutup diri dari referensi-referensi dasar yang telah ada. Jika Descartes saja dengan lantang menolak upaya para Atheis bersembunyi dibalik pesan Eksistensialis, dengan menganggap para atheis tidak ada (alias tidak eksis) kenapa pula masih ada orang (diantara kita) yang mau mendengarkan pertanyaan-pertanyaan sesuatu yang tidak eksis. Bukankah orang yang “tidak berfikir” equal dengan “tidak eksis” equal dengan “mati”?
”Je pense donc je suis…” aku berpikir maka aku ada, kata Descartes.
“Tragedi terhebat dalam hidup ini adalah kematian di dalam diri seseorang yang sesungguhnya masih hidup.” quote by Donald Robert.
“Bila bertemu seorang atheis, dan dia mendebat keyakinanmu, ingatlah satu hal; bahwa di tempat lain ada banyak orang yang sudah bosan mendengar ocehannya.” quote by F.S.Shulda.
Kevin memberi pemahaman penuh kepada peserta diskusi bahwa Atheisme sudah tumbuh dan berkembang sejak lama. Bahkan, eksistensialisme, mendukung pemikiran-pemikiran atheisme.
Saya sepenuhnya tidak sepakat ketika itu, maka lahirlah bantahan ini. Berikut.
Cogito ergo sum… ini ungkapan Descartes, seorang yang dianggap bapak eksistensialis. Cogito ergo sum… atau “aku berpikir maka aku ada” adalah angkapan yang dipetik oleh para etheis untuk menyatakan eksistensi mereka. Padahal, Descartes sendiri, tidak menyatakan hal ini untuk memberi para etheis sebuah jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tentang eksistensi mereka.
Maka Descartes pun menolak olok-olok para filsuf eropa pada dirinya; “Descartes adalah sosok ambigu, sebelah kakinya berdiri pada kami kaum filsuf, sebelah kakinya yang lain berdiri bersama kaum atheis.”
Descartes pun menulis penolakan keras bahwa eksistensialis bukanlah atheisme. Descartes menulis; Eksistensialis adalah jawaban keberadaan seseorang setelah penciptaan. Sebuah bentuk penegasan bahwa dia ada karena berpikir. Sederhananya, seseorang baru dapat dianggap ada (eksis) jika berpikir, menggunakan otaknya (berpikir = hidup), sedang para atheis bertolak belakang dengan asumsi ini.
Demikian, Descartes menjawab olok-olok terhadap dirinya. Para Atheis, menurutnya, tidak dapat mewakili maksud eksistensialis. Kaum atheis adalah kaum yang malas berfikir, sehingga bisa dianggap tidak eksis. Kaum yang selalu bertanya-tanya tentang keberadaannya, bertanya tentang keberadaan adanya faktor X dibalik keberadaannya, kaum yang selalu bertanya siapa mereka, kaum yang selau bertanya alasan apa dibalik penciptaan manusia. Bagaimana kaum ini bisa mewakili eksistensialisme, jika saat disodori hal-hal yang bersifat eksistensial, mereka mendebat dengan pertanyaan-pertanyaan dasar…
@kawan-kawan…(Khususnya Bung Kevin)
Bagaimana bisa seseorang yang mengaku PhD. (seperti Anda) menanyakan hal-hal dasar yang seharusnya telah dipecahkannya, difikirkannya. Seseorang yang seharusnya berpikir linear dengan jutaan referensi, tanpa menutup diri dari referensi-referensi dasar yang telah ada. Jika Descartes saja dengan lantang menolak upaya para Atheis bersembunyi dibalik pesan Eksistensialis, dengan menganggap para atheis tidak ada (alias tidak eksis) kenapa pula masih ada orang (diantara kita) yang mau mendengarkan pertanyaan-pertanyaan sesuatu yang tidak eksis. Bukankah orang yang “tidak berfikir” equal dengan “tidak eksis” equal dengan “mati”?
”Je pense donc je suis…” aku berpikir maka aku ada, kata Descartes.
“Tragedi terhebat dalam hidup ini adalah kematian di dalam diri seseorang yang sesungguhnya masih hidup.” quote by Donald Robert.
“Bila bertemu seorang atheis, dan dia mendebat keyakinanmu, ingatlah satu hal; bahwa di tempat lain ada banyak orang yang sudah bosan mendengar ocehannya.” quote by F.S.Shulda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar