Lima Satir dalam Satu Cerita
Satir Pertama
IA awalnya hanya butuh uang. Itu jelas klise. Belakangan lelaki itu beralasan menyukai andrenalin yang terpacu saat harus berlari dengan tubuh terbungkus rapat dalam jaket. Itu menyehatkan, katanya. Alasan sepele yang akhirnya membuat lelaki itu mahir melakukan pekerjaannya. Ia menyukai museum dan bir segar.
“Aku suka pekerjaanku,” jawab lelaki itu saat Katsu, si penadah barang curian, bertanya mengapa ia belum sekali pun tertangkap. “Mereka ingin sekali menangkapku. Tapi, aku menyukai kenyataan bahwa aku tak mungkin mempermudah tugas mereka.”
Lelaki itu harus mengalah pada mata lamur. “Malam yang paling kubenci adalah malam saat aku jatuh mencium trotoar,” tukasnya. Ia telah membuat seorang pejalan kaki terlempar ke dinding toko. “Kasihan. Semoga orang itu baik-baik saja,” harapnya. Ia percaya, Tuhan tak menolak doa seorang pencuri.
Lelaki itu buru-buru bangkit, memungut benda curiannya dan melanjutkan pelarian. Orang-orang meneriakinya. Seorang pejalan kaki gagal mencengkeram lengannya. “Aku lolos. Tapi aku tahu, itu adalah peringatan bagiku untuk pensiun. Aku sudah terlalu tua untuk pekerjaan ini,” katanya sedih.
Lelaki itu cukup puas dengan harta yang lelah ia kumpulkan selama ini dan itu bisa menghidupinya 30 tahun tanpa bekerja. Lelaki itu punya mimpi tentang sebuah bar kecil di satu sudut kota ini.
Satir Kedua
Penyedia layanan telepon seluler seharusnya mampu mengubur mimpi buruk pelanggan terhadap hantu blank-spot. Area misterius yang menyusahkan. Berulang-kali kau gagal menghubungi seorang lelaki yang sedang menunggumu. Tetapi, selalu saja, pertarungan antara pelanggan dan menyedia jasa, kerap membuat pelanggan tersungkur.
Hari ini cukup berat bagimu, Inagi. Tuan Kuro naik darah lagi. Lelaki tua itu menggajimu lebih sedikit dari sarapan dua Herder di teras belakang rumahnya, dan ia masih merasa perlu untuk memarahimu juga.
Lelaki yang menunggumu itu tak punya alasan lain untuk menjemput ke kantormu. Hanya enggan saja. Maka selepas jam kantor, kau harus naik kereta dan turun di Hachiko Exit di stasiun Shibuya. Hujan tadi sore membuat cuaca dingin dan menciptakan genangan air di bahu jalan. Toko-toko di sini mulai ramai pengunjung. Pedestrian di sepanjang jalan dan persimpangan Shibuya, ramai sekali.
Bagi orang-orang melankolis, hujan akan memberi banyak inspirasi. Katanya begitu. Tetapi hujan tadi sore sudah cukup membuktikan bahwa dugaanmu salah. Orang-orang lebih suka berkumpul di kafe, atau menghabiskan awal malam bersama kudapan di depan televisi yang menayangkan sinetron berdana rendah.
Arak beras tak lagi dijual dalam botol keramik. Sake dalam botol-botol kaca lebih disukai orang. Banyak pasangan sedang menikmatinya di sebuah kedai minum berkaca besar di sepanjang jalan ini. Pasangan yang pandai membunuh waktu seraya berusaha melahirkan cinta. Seperti burung api, yang lahir dari debu kematiannya. Pasangan yang akhirnya harus mengakhiri kepura-puraan dan pergi menuntaskan urusan mereka di motel kecil.
Entah kenapa kau harus menunggu lelaki itu, sedang dari stasiun Shibuya kau hanya butuh lima menit untuk tiba di Hiroshi. Seorang tolol tiba-tiba menikung tajam, mendecitkan bunyi yang ngilu, mencipratkan air ke arah orang-orang. Para pejalan kaki kuyup seketika. Amarahmu pecah di keramaian jalan utama di distrik Shibuya itu.
Tak perlu bau aneh di tubuhmu, agar kau percaya bahwa nasib buruk kadang pandai memilih.
Satir Ketiga
“Apa yang kita lakukan di sini?” Seorang lelaki bertanya dengan nada jengkel pada dua lelaki lainnya yang menggeleng pelan. Sepertinya mereka perlu memahami sebuah pelajaran penting lain: jangan menunggu seorang wanita di depan toko khusus sepatu wanita, sebelum memastikan posisinya di antara 201 toko sepatu sejenis di sepanjang jalan utama distrik Shibuya.
Sepatu high-heels—seanggun apapun tampaknya— tak pernah lebih mahal dari separuh harga tas jinjing berlogo perancang terkenal. Sepatu berhak tinggi sungguh ikonik; wanita menginginkannya karena ikut-ikutan. Kaki mereka cukup besar untuk benda yang seharusnya tampak feminim saat dikenakan.
“Ayo pergi.” Rutuk Akio seraya menyalakan mesin mobilnya. Eiji dan Jiro bergegas masuk ke dalam mobil. Mereka tak berhasil menemukan wanita yang mereka cari.
Jalan ini dua arah. Hiroshi berada di ujung jalur berlawanan dan segera merimpang ke arah Shin-Okubo. Mobil mereka harus menikung di sana untuk mengakses jalur yang searah menuju Hiroshi dengan resiko tertangkap mata polisi lalu-lintas.
Mobil itu menikung dengan berani, mendecitkan empat rodanya dan menghasilkan umpatan para pejalan kaki. Mobil mereka sukses menyibak air dari genangan di sisi bahu jalan.
Satir Keempat
“Diskon?” Aku angkat sekerat kecil daging sapi Kobe tinggi-tinggi. Pelayan toko mengangguk, “20 persen, Nona Kuni,” ujarnya tersenyum. Daging mewah yang kubayar murah. Pelayan toko membantu mengemasi belanjaanku, sebelum aku ke lokasi selanjutnya.
Selepas pintu toko, pedestrian distrik Shibuya yang ramai menyambutku. Entah dari mana, sesuatu berkelebat, menghantam sisi tubuhku, membawaku ke tembok toko. Kantong kertas di tanganku pecah.
Orang yang telah membuatku terjengkang, buru-buru melarikan diri. Kejadiannya cepat sekali. Sekujur tubuhku terasa remuk. Seorang wanita bergegas membantuku berdiri dan merapikan rokku yang tersingkap. “Kau tak apa-apa?” Wanita itu cemas.
Itu pertanyaan aneh untuk orang yang baru saja jatuh terbalik setelah menghantam dinding toko. Aku meringis, ngilu mendera pinggulku. Aku berusaha tersenyum padanya. “Terima kasih, Nyonya.”
Seseorang pegawai toko menghampiriku dengan kantong belanjaan yang koyak. Wajahnya kasihan padaku. Aku memeriksa. “Semuanya lengkap, kecuali harga diriku,” ujarku pelan.
Aku tinggalkan tempat itu, sebelum rasa malu bertambah.
Satir Kelima
Hiroshi belum ramai. Beberapa meja hanya terisi beberapa orang yang tampak serius membicarakan sesuatu. Sesekali mereka tertawa seperti orang gila, lalu melambai pada pelayan untuk memesan sesuatu. Keseriusan itu, bukan perkara apa yang kau bicarakan dan kau sedang berada di mana. Tetapi kau hanya perlu tahu untuk tak menghabiskan awal malammu dengan mabuk di suatu bar murahan, lalu menghabiskan sisa malammu dengan datang ke tempat ini.
Aku duduk sendiri di tempat yang telah aku pesan sebelumnya. Hiroshi bukan bar murahan. Tempat ini berselera eksklusif hanya karena penampilan para pengunjungnya yang tak biasa. Seorang lelaki melambai padaku dari arah pintu masuk. Di belakangnya ada dua lelaki lain yang tertawa-tawa. Aku mengenali ketiganya.
“Kota aneh,” gerutu Akio, “orang-orang lebih banyak di jalanan, dan hanya berada di jalanan saja.”
Dasar peniru, keluhku dalam hati saat Eiji dan Jiro membenarkan kata-kata Akio. Aku tersenyum pada tiga sahabatku yang baru datang ini, lalu berganti tertawa geli saat Eiji dan Jiro mencubit pipi dan mengelitiki perutku. Pada pelayan yang menghampiri, Akio memesan empat gelas bir.
“Siapa pemilik sedan merah di luar sana?!” Inagi berteriak saat masuk. Orang-orang berpaling padanya. Tapi ia tak peduli. Akio mengangkat dua tangannya. Inagi cemberut lalu berjalan menyisi di antara pengunjung lainnya. Ia sibak anak rambut di dahinya, sebelum melayangkan sebuah pukulan karate ke hidung Akio.
Akio merunduk memegangi hidung yang berdarah. Inagi meringis, buru-buru mendekap tangannya yang sakit. “Kau bodoh sekali, Akio!” Dengusnya.
Orang-orang tertawa dan memberi Inagi tepuk tangan.
Aku terkejut. Lekas kusodorkan tisu yang diterima Akio untuk menyeka darah dari hidungnya. Inagi merengut, melirik jengkel pada tiga sahabat lelakinya itu. Eiji dan Jiro buru-buru angkat tangan, menyerah pada wanita yang sedang marah itu seraya beringsut menjauh. Inagi membiarkanku membantunya menyeka sisa air dari rambut dan bajunya.
“Kenapa kau ini?” Tanyaku.
“Tanyalah dia, Kuni! Dia itu bodoh sekali!” Inagi menunjuk muka Akio. Ia ceritakan insiden di pedestrian Shibuya. Akio terbahak-bahak mengiringi cerita Inagi. Hidungnya nyaris patah dihantam sisi telapak tangan gadis itu. “Aku tak sengaja,” ujar Akio.
Aku mencairkan suasana dengan memesan bir untuk mereka semua. Kami mulai bertukar cerita tanpa perlu menunggu kehadiran Goro. Sesekali aku dan Inagi menyoraki Akio dan Jiro. “Maaf, aku terlambat lagi,” ujar Goro yang muncul tiba-tiba. Eiji segera memiting lehernya. “Kau sahabat yang payah. Terlambat terus,” tukas Eiji dan disambut tawa lepas Goro.
Berenam, kami berbagi cerita. Akio menyimak keluhan Inagi tentang pekerjaannya. Aku berencana mengunjungi ibuku di Aomori. Goro diam saja saat aku mengisahkan kesialanku di depan toko klontong pada Eiji dan Jiro. Goro asik menikmati bir pesanannya. Lelaki itu menyukai museum dan bir segar. (*)
Molenvliet, Februari 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar