wawuwalik79

>

Senin, 16 Februari 2015

SAJAK S L A "Kalentit"

by : BTF
Tampilkan posting dengan label puisi. Tampilkan semua posting




SAJAK S L A
Oleh :
W.S. Rendra
Murid-murid mengobel klentit ibu gurunya
Bagaimana itu mungkin ?
Itu mungkin.
Karena tidak ada patokan untuk apa saja.
Semua boleh. Semua tidak boleh.
Tergantung pada cuaca.
Tergantung pada amarah dan girangnya sang raja.
Tergantung pada kuku-kuku garuda dalam mengatur kata-kata.
Ibu guru perlu sepeda motor dari Jepang.
Ibu guru ingin hiburan dan cahaya.
Ibu guru ingin atap rumahnya tidak bocor.
Dan juga ingin jaminan pil penenang,
tonikum-tonikum dan obat perangsang yang dianjurkan oleh dokter.
Maka berkatalah ia
Kepada orang tua murid-muridnya :
“Kita bisa mengubah keadaan.
Anak-anak akan lulus ujian kelasnya,
terpandang di antara tetangga,
boleh dibanggakan pada kakak mereka.
Soalnya adalah kerjasama antara kita.
Jangan sampai kerjaku terganggu,
karna atap bocor.”
Dan papa-papa semua senang.
Di pegang-pegang tangan ibu guru,
dimasukan uang ke dalam genggaman,
serta sambil lalu,
di dalam suasana persahabatan,
teteknya disinggung dengan siku.
Demikianlah murid-murid mengintip semua ini.
Inilah ajaran tentang perundingan,
perdamaian, dan santainya kehidupan.
Ibu guru berkata :
“Kemajuan akan berjalan dengan lancar.
Kita harus menguasai mesin industri.
Kita harus maju seperti Jerman,
Jepang, Amerika.
Sekarang, keluarkanlah daftar logaritma.”
Murid-murid tertawa,
dan mengeluarkan rokok mereka.
“Karena mengingat kesopanan,
jangan kalian merokok.
Kelas adalah ruangbelajar.
Dan sekarang : daftar logaritma !”
Murid-murid tertawa dan berkata :
“Kami tidak suka daftar logaritma.
Tidak ada gunanya !”
“kalian tidak ingin maju ?”
“Kemajuan bukan soal logaritma.
Kemajuan adalah soal perundingan.”
“Jadi apa yang kaian inginkan ?”
“Kami tidak ingin apa-apa.
Kami sudah punya semuanya.”
“Kalian mengacau !”
“Kami tidak mengacau.
Kami tidak berpolitik.
Kami merokok dengan santai.
Sperti ayah-ayah kami di kantor mereka :
santai, tanpa politik
berunding dengan Cina
berunding dengan Jepang
menciptakan suasana girang.
Dan di saat ada pemilu,
kami membantu keamanan,
meredakan partai-partai.”
Murid-murid tertawa.
Mereka menguasai perundingan.
Ahli lobbying.
Faham akan gelagat.
Pandai mengikuti keadaan.
Mereka duduk di kantin,
minum sitrun,
menghindari ulangan sejarah.
Mereka tertidur di bangku kelas,
yang telah mereka bayar sama mahal
seperti sewa kamar di hotel.
Sekolah adalah pergaulan,
yang ditentukan oleh mode,
dijiwai oleh impian kemajuan menurut iklan.
Dan bila ibu guru berkata :
“Keluarkan daftar logaritma !”
Murid-murid tertawa.
Dan di dalam suasana persahabatan,
mereka mengobel ibu guru mereka.
Yogya, 22 Juni 1977. 
Potret Pembangunan dalam Puisi
Dalam Puisi diksi “kelentit” itu adalah hal yang wajar. Karena bisa menjadi ironi sekaligus perlambang dalam mengungkapkan gagasan atau ide. Mengobel kelentit menjadi ironi dalam system pendidikan kita. Sebagaimana karya W.S. Rendra yang lain, karya karya Rendra selalu melintasi ruang dan waktu, mangabadi, meskipun karya tersebut di ciptakan di tahun 70an.
Mengobel kelentit menjadi ironi akan tidak adanya patokan nilai nilai etika, semua tergantung amarah dan girangnya sang raja. Jadi bukan sesuatu yang tabu untuk menjadikannya diksi puisi. Justru bisa menjadi daya evokasi  (menguatkan makna) dari puisi tersebut.
WS. Rendra  mengekspresikan karya-karyanya dengan menulis apa yang dilihat, didengar, dan dihayati dari kondisi masyarakat sekitarnya. Penyair yang bisa mengidentifikasikan dirinya dengan mereka yang terluka, mereka yang dimiskinkan oleh kekuasaan, mereka yang disergap kesepian dan membuatnya terasing dalam derap laju pembangunan yang gegap gempita.
Pendidikan menjauhkan kita dari nilai nilai budaya menghormati, welas asih, saling berbagi, menolong teman, menjadikan kita selalu berhitung dengan matematika untung rugi. Rendra memberikan warning kepada kita semua agar menjadikan pendidikan kembali kepada khitahnya memanusiakan manusia.
Hal yang terpenting yang hendak disampaikan oleh Rendra adalah keteladanan adalah hal yang penting dalam Pendidikan, terutama apa yang dilakukan oleh Guru dan orang tua, juga pejabat Negara.
Puisi Puisi Rendra selalu actual, karena selaras dengan kehidupan sebagaimana pesannya :
“hanya dalam solidaritas dengan lingkungan alam, budaya dan kosmos, manusia dapat merasakan kedekatan dengan Tuhan hingga bisa manjing ing kahanan dan manunggaling kawula Gusti”
Dengan diksi diksinya yang bisa membuat kita melambung dan terhenyak, Sajak-sajak kritik social  WS. Rendra juga bisa berarti sebuah pemberontakan. Bukan sebagai pemberontak dengan orientasi politik dan kekuasaan, tetapi selalu memberontak akan keterbetasan-keterbatasan yang diciptakan karena dogma, doktrin politik, keadaan sosial yang timpang, kemiskinan, dan penindasan pada manusia. Dari sinilah pembaca akan menemukan sebuah benang merah yang terjalin dan selalu relevan dengan aktualitas negeri.
Arif Gumantia

Jumat, 18 April 2014

Di Sudut Pasar

malam baru saja melahirkan pagi
tapi telah menuliskan berbagai kisah di tempat ini
ketika aku duduk di warung kopi
bersama petani yang memulai hari
sebelum matahari dan hujan
melukiskan pematang pada tubuhnya

juga para pedagang kecil
sebelum tinggal pada lapak lapak
yang sempit untuk meruangkan takdirnya.

suara sumbang pengamen
peluit yang menyergap dari tukang parkir
membumbung ke angkasa seolah menyentuh langit
tak ada kisah asmara di sini
tertindas oleh suara tawar menawar yang penat

aku bangkit
dan menyeret langkahku
mall dan supermarket
telah memberiku kegelisahan
hingga aku sulit mengenali peta masa lalu
meski aku lahir dan hidup
dari mata airmu.



Pasar saradan,
12 april 2014
Arif Gumantia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar