Rabu, 29 Agustus 2012
Tubuh, Gender, dan Hak Perempuan atas Tubuhnya
Kita seakan di kepung oleh citraan-citraan, dan disergap berbagai iklan tentang tubuh yang ideal. Dimanapun kita berada, selalu ada visualisasi tentang tubuh. Pada baliho, billboard, spanduk, koran, majalah, media Televisi, internet, dan disegala tempat, dan tubuh pun menjelma menjadi bahasa komunikasi yang masif dan intensif, hingga iklan pemberantasan korupsi menggunakan tubuh untuk menyampaikannya, dengan parameter estetika iklan aktornya harus “ganteng” dan “cantik”, dan terbukti para aktor iklannya justru menjadi pelaku korupsi. Sungguh sebuah ironi.
Karena konstruksi yang dijejalkan oleh iklan telah menyergap begitu gegap gempita, tak heran jika tujuan olahraga pun sekarang bergeser, tidak untuk menjaga kebugaran dan kesehatan tubuh, tapi untuk menaklukan dan mengatur tubuh agar sesuai dengan citraan iklan.baik latihan fisik sampai tentang neurotik seperti fitness, aerobik, diet, bahkan menjadi anoreksia. Sehingga kadang justru tidak menjadikannya bugar dan sehat, tetapi menjadi terobsesi akan tubuh hingga menderita sakit secara fisik dan psikis. Dan dari titik tolak fenomena tubuh inilah menjadi menarik membicarakan Gender dan kesetaraan.
Istilah Gender bagi banyak orang digeneralisasikan sebagai jenis kelamin. Kesalahan secara substansi ini dapat kita maklumi karena jarang sekali ada penjelasan dan pemahaman yang diberikan oleh instansi-instansi resmi pemerintah, lembaga swasta, maupun media. Kalau kita baca di wikipedia, definisi gender adalah : gender merupakan kajian tentang tingkah laku perempuan dan hubungan sosial antara laki-laki dan perempuan. Gender berbeda dari seks atau jenis kelamin laki-laki dan perempuan yang bersifat biologis. Ini disebabkan yang dianggap maskulin dalam satu kebudayaan bisa dianggap feminin dalam budaya lain. Dengan kata lain ciri maskulin atau feminin itu tergantung dari konteks sosial budaya bukan semata-mata pada perbedaan jenis kelamin.
Jadi secara simplikasi bisa dikatakan gender adalah jenis kelamin sosial, budaya, politik, serta keagamaan yang didasarkan pada fisik perempuan dan laki-laki. Seperti dogma yang mengatakan pemimpin itu harus laki-laki, karena fisiknya kuat. Ini adalah salah satu contoh konstruksi sosial budaya yg berdasarkan perbedaan jenis kelamin untuk menjadi pemimpin dan bukan karena kapasitas leadershipnya. Atau bisa juga di katakan dalam kamus bahasa inggris “sex” adalah kelamin biologis, sedangkan “gender” adalah kelamin sosial.
Karena ada sex dan gender, tentunya ada juga orientasi sex. Dan kalau kita elaborasi secara mendalam ketiga hal tersebut mempunyai keterkaitan. Karena jika definisi dari orientasi sex adalah kecenderungan seseorang untuk melakukan pilihan seksualnya, maka untuk melakukannya tentunya dipengaruhi sex dan gender.artinya apabila seseorang yang memiliki kecenderungan seksual sebagai seorang gay, lesbi, atau heteroseks, itu didorong oleh sex dan gender. Karena itu hal yang mendasar dan penting adalah apa yang menjadi pendorong utama orientasi sex seseorang, hingga kita bisa beropini dengan argumentasi yang obyektif.
Apabila orientasi seks ini disebabkan oleh faktor-faktor yang bersifat biologis atau dikalangan feminis dengan istilah determinisme biologis seperti susunan hormonal dan sifat-sifat biologisnya, maka apakah seseorang itu menjadi homoseks, lesbian, atau lainnya itu bersifat kodrati sebagai perspektif kekuasaan Tuhan, dan itu diluar kekuasaan manusia. Namun apabila orientasi seks ini dimunculkan oleh faktor non biologis, misal karena faktor sosial, budaya, politik, ataupun yang lainnya maka hal itu sama dengan gender.
Dari paparan di atas, yang bisa memberikan benang merah dalam upaya perjuangan keadilan dan demokrasi adalah adanya kesetaraan. Seperti yang di katakan K.H. Abdurrahman wahid (Gus Dur), Kesetaraan, bersumber dari pandangan bahwa setiap manusia memiliki martabat yg sama di hadapan Tuhan. Kesetaraan meniscayakan perlakuan yang adil, ketiadaan perilaku diskriminatif dan juga ketiadaan subordinasi. Dengan demikian kesetaraan ini juga mencakup perlakuan yang adil terhadap semua manusia apapun jenis kelamin dan orientasi seksnya.
Tanpa membedakan laki-laki atau perempuan, harus ada kesetaraan perlakuan di hadapan Konstitusi, laki-laki dan perempuan punya hak yang sama atas tubuhnya sendiri. Jadi dalam sebuah ikatan pernikahan sekalipun, perempuan tetap punya hak atas tubuhnya, dan tubuhnya bukanlah milik suaminya, seperti dogma ataupun doktrin agama atas penafsiran teks kitab suci yang sempit, hingga mengakibatkan adanya eksploitasi yang bersifat patriarkhis. Juga maraknya perda-perda syariah yang secara politis punya tujuan terselubung untuk mendapatkan simpati konstituen islam garis kanan. Aturan-aturan yang dimunculkan adalah perspektif yang sangat patriarkhis, seperti misalnya pemerkosaan terjadi karena perempuan memakai rok mini dan keluar malam. Bukan karena laki-laki yang tidak kuat menahan syahwatnya. Sehingga ada semacam joke yang mengatakan : begitu susah menjadi perempuan di indonesia, sementara laki-lakinya bertindak begajulan.
Karena sering kita jumpai banyak orang berkeyakinan bahwa perbedaan biologis dipahami sebagai sumber dari perbedaan perilaku dan peran pada tingkat kehidupan budaya, sosial dan politik antara laki-laki dan perempuan. Ide ketidaksetaraan ini tidak hanya muncul di kalangan agamawan (ulama), tetapi juga berhembus dari kalangan pemimpin adat, atau politisi dengan berbagai motif dan interest pribadi yang terselubung. Bahkan yang lebih mengherankan banyak juga dari kalangan perempuan namun memiliki pemikiran yang patriarkhis.
Dukungan terhadap kesetaraan laki-laki dan perempuan sebenarnya sudah ada di konstitusi kita, yaitu Undang-Undang Dasar. Karena UUD kita memberikan hak dasar berupa kesetaraan ke seluruh warga negara tanpa memandang jenis kelamin, ras, agama, dan latar belakang lainnya. Di bawah UUD kita juga memiliki serangkaian peraturan yang mendukung kesetaraan. Seperti UU ratifikasi CEDAW ( convention on ellimination of all forms of discrimination against women) menjadi UU sejak tahun 1986, instruksi presiden no. 9 tahun 2000 mengenai pengarusutamaan gender. Kita juga memiliki UU PKDRT sejak tahun 2003.
Namun seperti yang selalu terjadi peraturan yang bagus tidak cukup untuk mengubah keadaan. Selalu terjadi kesenjangan antara kondisi yang seharusnya dan realitas yang terjadi. Mengutip apa yang di katakan GUS DUR: “ karena keadilan tidak sendirinya hadir di dalam realitas kemanusiaan maka harus diperjuangkan, begitu juga kesetaraan harus juga diperjuangkan. martabat manusia hanya bisa dipenuhi dengan adanya keseimbangan, kelayakan, dan kepantasan dalam masyarakat karena membela kelompok masyarakat yg diperlakukan tidak adil, karena ini merupakan tanggung jawab moral kemanusiaan.
Maka dalam kondisi adanya kesenjangan antara kesetaraan yang sudah seharusnya ada di negara ini, dan kenyataan yang terjadi, maka yang paling bisa mengambil peranan untuk memperjuangkan kesetaraan adalah kita semua, dengan melakukan pengawasan atau advokasi pada masyarakat, dimulai dari lingkup terkecil, lingkungan kita sendiri. Agar negara kita ini tetap bisa menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia dan “Bhinneka Tunggal Ika” tidak hanya menjadi slogan atau sekedar dipajang di ruang tamu kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar